http://img412.imageshack.us/img412/4403/image15jc7.gif http://img100.imageshack.us/img100/4658/image12du2.gif

Bukan Dua Kaki


Bukan Dua Kaki

Shofa masih sibuk mengaduk-aduk masakan yang ada dalam panic. Tiba-tiba ia teringat, ini sudah jam 1 lewat. Segera ia menyalakan radio kecil yang berada di atas lemari makan dekat kompor. Shofa hampir tak pernah ketinggalan acara-acara yang diisi Ustadz Hanif. Setiap jam 5 pagi, sehabis Subuh, adalah acara rutin Shofa mendengarkan kuliah Subuh di Radio Al-Quds. Shofa bahkan hafal jam berapa dan acara apa saja yang diisi oleh Ustadz Hanif. Hal ini sudah berlangsung tiga tahun lebih.

Entah mengapa, Shofa merasa cocok sekali dengan ustadz yang satu ini. Kalau bicara tak pernah bertele-tele dan selalu mengena di hati. Apa saja yang dibahas pasti actual, sesuai dengan masalah yang terjadi di sekitar. Kalau bicara tentang aqidah, Ustadz Hanif selalu tegas, tidak bisa ditawar-tawar. Tapi kalau membahas masalah ibadah, dengan sabar Ustadz Hanif menjelaskan satu persatu pemecahan dari berbagai pendapat ulama. Biasanya ia merekomendasikan salah satu pemecahan yang punya dasar paling kuat. Walau begitu, ia tetap menyerahkan kepada pendengar, pendapat mana yang akan dipakai. Suatu penyelesaian yang cantik. Tidak fanatic terhadap satu pendapat tertentu.

“Shofa belum pulang?” sapa Bu Arif, pengurus TPA tempat Shofa mengajar. Shofamenoleh, “Belum Bu. Masih memeriksa pekerjaan anak-anak.” “Bisa mampir ke rumah? Bapak mau bicara. Katanya pentingtuh!”

“Sekarang Bu?”

“Ya, kalau Shofa sedang tidak repot.”

Shofa membereskan kertas-kertas yang berserakan di atas karpet masjid lalu berjalan mengikuti Bu Raif. Rumah Bu Arif tidak jauh dari masjid tempat Shofa dan beberapa orang temannya mengajar anak-anak TPA. Hanya beberapa puluh meter saja. Pak Arif dan Bu Arif adalah orang yang peduli dengan masalah keagamaan dikompleks itu. Mereka mempelopori dibukanya TPA. Pak Arif juga selalu menghimbau bapak-bapak di kompleks untuk shalat berjamaah.

“Assalamu’alaikum,” ucap Shofa dan Bu Arif berbarengan. “Wa’alaikum salam,” jawab Pak Arif dari dalam. “Silahkan masuk nak Shofa. Bagaimana nak Shofa, keadaan TPA sekarang?”

“Alhamdulillah Pak. Anak-anak semakin rajin. Jarang ada yang bolos. Mereka cepat menyerap apa yang saya ajarkan.” Jawab Shofa. “Bagus! Bagus! Alhamdulillah.” Kata Pak Arif. “Begini nak Shofa, Bapak ingin bicara dengan nak Shofa bukan mau membahas TPA. Ada hal yang lain”

Pak arif terdiam. “Begini nak Shofa……. Apakah nak Shofa sudah siap menikah?”

Shofa tersenyum. “Niat sudah ada. Usia saya sudah cukup Pak. Tapi…… belum ada jodohnya.” “Hmmmm…… Begitu ya,” Pak Arif berdehem sambil mengelus-elus jenggotnya. “Bapak punya teman baik. Dia sangat sholeh dan sedang mencari pendamping hidup. Bapak dan Ibu berasa nak Shofa cocok dengan dia.”

“Ah Pak Arif bisa saja. Bagaimana Bapak tahu saya cocok dengan dia?” Tanya Shofa tersipu.

“Lho…. Bapak dan Ibu kan sudah lama memperhatikan nak Shofa. Nak Shofa ini gadis yang shalehah dan pandai menjaga diri. Begitu pula dengan teman Bapak ini. Dia shaleh dan berakhlak baik. Nah…. Kalau begini, apa bukan cocok namanya? Iya tho Bu?” jelas Pak Arif.

“Iya…. Iya!” Bu Arif manggut-manggit menimpali suaminya.

“Kalau nak Shofa setuju, Bapak bisa ajak teman Bapak kesini untuk dipertemukan dengan Shofa,” Pak Arif melanjutkan. “Bagaimana nak Shofa?”

“Bapak ini kok langsung main Tanya. Bapak kan belum cerita yang mau dikenalkan ini siapa, bagaimana,”tukas Bu Arif

“Wah…….Dari tadi Bapak belum cerita ya? Teman Bapak ini masih muda. Lulusan S1 dan S2 dari Al-Azhar Kairo. Dia juga hafidz Al-Qur’an.”

“Hafidz Qur’an?” gumam Shofa dalam hati. Salah satu do’a yang ia panjatkan adalah mendapatkan pasangan hidup yang hafal Al-Qur’an, karena ia sendiri sedang berusaha menjadi Hafidzhah. “Sehari-harinya dia bekerja di Lembaga Pengembangan Dakwah, mengajar di beberapa tempat, sering mengisi ceramah. Dia mengisi acara di radio Al-Quds,” papar Pak Arif. “Radio Al-Quds? Saya pendengar setia Radio Al-Quds lho pak. Namanya siapa pak,mungkin saja saya pernah mendengar, :kata Shofa. “Namanya Hanif Ibrahim.”

Deg! Jantung Shofa serasa berhenti berdetak selama sepersekian detik. Nama itu demikian dikenalnya dalam tiga tahun terakhir ini. Nama itu adalah salah satu tempatdirinya menimba ilmu tentang ke-Islaman lewat radio. Tausiyah-tausiyah melalui radio itu pula yang membuat Shofa jadi banyak berpikir, lalu berhijrah dan memutuskan untuk menjadi muslimah yang kaffah.

Bu Arif menangkap adanya perubahan pada rona wajah Shofa. “Ada apa Shofa?” “Saya sering mendengarkan beliau ceramah di radio.”

“Nah…. Jadi sebetulnya sudah kenal tho, walaupun Cuma dari radio, “Pak Arif terkekeh. “Bagaimana, kapan nak Shofa siap bertemu Hanif?” “Kapan saja, terserah Bapak. Tapi saya harus cerita dulu kepada Ibu tentang masalah ini,” jawab Shofa. “Ohhh….. ibumu sudah tahu. Kami sudah cerita. Malah ibumu bilang, kami disuruh langsung tanya saja ke nak Shofa. Ibumu setuju kok,” ujar Pak Arif.

Sepulangnya dari rumah kedua orangtua yang sudah dianggapnya keluarga itu, Shofa bagai tak percaya apa yang baru saja terjadi. “Benarkah Ustadz Hanif jodohku?” tanyanya dalam hati. Walaupun belum pernah bertemu, tapi Shofa merasa telah sangat mengenal Hanif. Diam-diam sebentuk kekaguman telah bersemayam dalam hatinya. Tidak ada cara lain bagi Shofa selain mengadukan permasalahannya ini kepada Allah. Dihabiskannya malam-malam panjang di atas sajadah dengan bermunajat.

Dua bulan kemudian, tibalah saat pertemuan Shofa dengan Hanif. Hari itu Shofa tampak manis. Tubuhnya dibalut gamis biru dan jilbab lebar berwarna putih. Ia berjalan menuju rumah Pak Arif dengan penuh kemantapan hati, buah dari istikharahnya.

“Assalamu’alaikum,” Shofa mengucap salam di depan pintu. “Wa’alaikumussalam. Nak Shofa ayo masuk. Pak Arif belum datang. Sedang menjemput Hanif,” jawab Bu Arif. Sambil menunggu, Bu Arif memberikan wejangan bagaimana menjadi istri shalehah dengan mengutip beberapa ayat dan hadits. Shofa mendengarkan dengan takzim. Sesekali mengangguk.

Tiba-tiba, pintu ruang tamu terbuka lebar. Lalu muncul sesuatu yang tak disangka-sangka. Sebuah kursi roda yang berjalan tersendat karena terbentur pintu, sesosok tubuh dengan satu kaki yang duduk di atas kursi roda sambil tersenyum. Shofa terhenyak, memandang tak percaya. “Inilah Ustadz Hanif?” Berbagai gejolak rasa menyergap dengan cepat. Shofa berusaha menenangkan perasaannya. Suasana hening. Shofa bagai mampu mendengar suara detak jantungnya sendiri.

“Nak Shofa, ini Hanif yang Bapak ceritakan dulu,” kata Pak Arif memecah kesunyian.

“Assalamu’alaikum dik Shofa,” kata Hanif. “Wa’alaikumssalam,” jawab Shofa. Ah, suaranya tidak berbeda dengan di radio. Tetap berkharisma.

“Alhamdulillah, Allah mengijinkan kita untuk bertemu hari ini. Pak Arif mungkin sudah cerita, saya memang punya niat untuk melaksanakan sunnah Rasulullah yaitu menikah. Saya minta dicarikan calon oleh Pak Arif. Cuma….. memang keadaan saya seperti ini. Sebulan yang lalu saya kecelakaan.. mobil saya tabrakan dengan truk. Tangan kiri saya lumpuh dan kaki kiri harus diamputasi.

Apapun yang terjadi sudah kehendak Allah. Kaki saya memang tidak bisa kembali. Tapi tangan kiri saya sedang diterapi. Kata dokter kemungkinan besar bisa pulih. Insya Allah, saya pun ingin tidak terlalu lama bergantung pada kursi roda. Kalau sudah membaik, saya akan menggunakan kruk saja.” Kata-kata mengalir deras dari bibir Hanif.

Shofa mengangkat wajahnya sedikit dan melihat sekilas kea rah Hanif. “Subhanallah. Wajahnya tenang sekali. Bahkan berseri-seri. Ada keikhlasan yang terpancar dari wajahnya.” Bathin Shofa.

“Saya tidak heran jika dik Shofa tidak berkenan dengan keadaan saya. Inilah saya. Mungkin saya yang terlalu berani tetap berniat menikah dengan kekurangan fisik saya. Tapi, justru dengan kondisi ini saya sangat membutuhkan kehadiran seorang istri.”

Shofa diam tak bergeming. Di hadapannya sekarang, duduk seorang laki-laki yang memiliki kelebihan-kelebihan yang didambakannya selama ini. Sosok seorang suami yang sempurna. Ilmu agamanya bagus, shaleh, berakhalak muloia, dan seorang hafidzh. Cita-cita Shofa adalah memiliki anak-anak yang menjadi generasi penghafal dan pengamal Al-Qur’an. Bukanlah ustadz Hanif adalah sosok yang tepat? Kekurangannya hanya satu, fisiknya cacat tak sempurna.

“Hanif, mungkin nak Shofa belum bisa mengambil keputusan cepat-cepat. Dia tentunya perlu menimbang-nimbang. Kita beri saja waktu, mudah-mudahan nak Shofa bisa segera memberikan jawaban. Begitu ya nak Shofa?” Pak Arif berusaha menengahi suasana senyap di antara mereka.

Shofa masih saja diam tak menjawab. Sibuk berdialog dengan batinnya. Tiba-tiba saja Shofa mengangkat wajahnya. “Saya sudah shalat istikharah sejak pertama kali Pak Arif mau mengenalkan saya dengan ustadz Hanif.” “Silahkan dik Shofa, saya akan coba menjawab,” kata Hanif.

“Untuk dapat membawa istri dan anak-anaknya ke dalam surga, apakah seorang laki-laki harus mempunyai dua kaki?” Tanya Shofa. Hanif tersenyum. “Tentu saja tidak. Bukan butuh dua kaki. Yang dibutuhkan adalah landasan aqidah, ibadah, dan akhlak yang lurus dan kuat. Dan juga kemampuan untuk mendidik.” Shofa memandang bergantian ke arah Pak Arif, Bu Arif dan Hanif. Bibirnya membiaskan senyum yang lebar. “Saya udah mantap. Saya tidak membutuhkan suami dengan dua kaki.” “Alhamdulillah!” berbarengan Pak Arif, Bu Arif, dan Hanif berseru.

Resepsi pernikahan baru saja usai. Shofa mendorong kursi roda Hanif menuju kamar pengantin. Kedua pengantin itu berwajah cerah ceria. Hanif begitu tampan dan gagah dengan jas dan kopiah hitam. Shofa tampak cantik, bergaun putih dan jilbab yang diberi rangkaian melati.

Hanif meletakkan tangannya di atas kening istrinya, lalu membaca doa, “Dengan nama Allah, jauhkanlah kami dari godaan syetan dan dekatkanlah dengan apa yang Engkau rizkikan, anak-anak kepada kami.”

Shofa menggamit dan mencium tangan suaminya dengan takzim. “Kak Hanif, boleh Shofa mengutarakan sesuatu?” Tanya Shofa.

“Boleh. Apa itu?” Hanif tersenyum lebar. “Shofa cinta Kak Hanif karena Allah,” Shofa bicara sambil menunduk malu-malu.

“Kak Hanif juga cinta dik Shofa karena Allah.” Hanif menyentuh dagu Shofa, mengangkat wajahnya. Mereka bertatapan. Lekat. Ada debur yang menggelora di jiwa mereka berdua. “Lho kok nunduk. Kita sudah resmi suami istri. Pandang kak Hanif dong!” Hanif menggoda Shofa. Shofa memandang Hanif tersipu.

“Ayo kita shalat dulu,” kata Hanif. “Shofa Bantu kak Hanif wudhu ya,” Shofa langsung beranjak dari duduknya dan mendorong kursi roda kekasih jiwanya ke kamar mandi.

Bersama percikan air wudhu yang menetes, Allah tebarkan rahmat dan cinta di antara kedua makhluk kecintaanNya.

Terinspirasi dari Syekh Ahmad Yasin yang tetap berjihad dari kursi roda hingga syahidnya.

Cahaya Hikmah, edisi 22/2008

0 komentar:

Post a Comment

thanks for visiting my website...
leave a comment please.. ^_^

Bukan Dua Kaki

Posted by


Bukan Dua Kaki

Shofa masih sibuk mengaduk-aduk masakan yang ada dalam panic. Tiba-tiba ia teringat, ini sudah jam 1 lewat. Segera ia menyalakan radio kecil yang berada di atas lemari makan dekat kompor. Shofa hampir tak pernah ketinggalan acara-acara yang diisi Ustadz Hanif. Setiap jam 5 pagi, sehabis Subuh, adalah acara rutin Shofa mendengarkan kuliah Subuh di Radio Al-Quds. Shofa bahkan hafal jam berapa dan acara apa saja yang diisi oleh Ustadz Hanif. Hal ini sudah berlangsung tiga tahun lebih.

Entah mengapa, Shofa merasa cocok sekali dengan ustadz yang satu ini. Kalau bicara tak pernah bertele-tele dan selalu mengena di hati. Apa saja yang dibahas pasti actual, sesuai dengan masalah yang terjadi di sekitar. Kalau bicara tentang aqidah, Ustadz Hanif selalu tegas, tidak bisa ditawar-tawar. Tapi kalau membahas masalah ibadah, dengan sabar Ustadz Hanif menjelaskan satu persatu pemecahan dari berbagai pendapat ulama. Biasanya ia merekomendasikan salah satu pemecahan yang punya dasar paling kuat. Walau begitu, ia tetap menyerahkan kepada pendengar, pendapat mana yang akan dipakai. Suatu penyelesaian yang cantik. Tidak fanatic terhadap satu pendapat tertentu.

“Shofa belum pulang?” sapa Bu Arif, pengurus TPA tempat Shofa mengajar. Shofamenoleh, “Belum Bu. Masih memeriksa pekerjaan anak-anak.” “Bisa mampir ke rumah? Bapak mau bicara. Katanya pentingtuh!”

“Sekarang Bu?”

“Ya, kalau Shofa sedang tidak repot.”

Shofa membereskan kertas-kertas yang berserakan di atas karpet masjid lalu berjalan mengikuti Bu Raif. Rumah Bu Arif tidak jauh dari masjid tempat Shofa dan beberapa orang temannya mengajar anak-anak TPA. Hanya beberapa puluh meter saja. Pak Arif dan Bu Arif adalah orang yang peduli dengan masalah keagamaan dikompleks itu. Mereka mempelopori dibukanya TPA. Pak Arif juga selalu menghimbau bapak-bapak di kompleks untuk shalat berjamaah.

“Assalamu’alaikum,” ucap Shofa dan Bu Arif berbarengan. “Wa’alaikum salam,” jawab Pak Arif dari dalam. “Silahkan masuk nak Shofa. Bagaimana nak Shofa, keadaan TPA sekarang?”

“Alhamdulillah Pak. Anak-anak semakin rajin. Jarang ada yang bolos. Mereka cepat menyerap apa yang saya ajarkan.” Jawab Shofa. “Bagus! Bagus! Alhamdulillah.” Kata Pak Arif. “Begini nak Shofa, Bapak ingin bicara dengan nak Shofa bukan mau membahas TPA. Ada hal yang lain”

Pak arif terdiam. “Begini nak Shofa……. Apakah nak Shofa sudah siap menikah?”

Shofa tersenyum. “Niat sudah ada. Usia saya sudah cukup Pak. Tapi…… belum ada jodohnya.” “Hmmmm…… Begitu ya,” Pak Arif berdehem sambil mengelus-elus jenggotnya. “Bapak punya teman baik. Dia sangat sholeh dan sedang mencari pendamping hidup. Bapak dan Ibu berasa nak Shofa cocok dengan dia.”

“Ah Pak Arif bisa saja. Bagaimana Bapak tahu saya cocok dengan dia?” Tanya Shofa tersipu.

“Lho…. Bapak dan Ibu kan sudah lama memperhatikan nak Shofa. Nak Shofa ini gadis yang shalehah dan pandai menjaga diri. Begitu pula dengan teman Bapak ini. Dia shaleh dan berakhlak baik. Nah…. Kalau begini, apa bukan cocok namanya? Iya tho Bu?” jelas Pak Arif.

“Iya…. Iya!” Bu Arif manggut-manggit menimpali suaminya.

“Kalau nak Shofa setuju, Bapak bisa ajak teman Bapak kesini untuk dipertemukan dengan Shofa,” Pak Arif melanjutkan. “Bagaimana nak Shofa?”

“Bapak ini kok langsung main Tanya. Bapak kan belum cerita yang mau dikenalkan ini siapa, bagaimana,”tukas Bu Arif

“Wah…….Dari tadi Bapak belum cerita ya? Teman Bapak ini masih muda. Lulusan S1 dan S2 dari Al-Azhar Kairo. Dia juga hafidz Al-Qur’an.”

“Hafidz Qur’an?” gumam Shofa dalam hati. Salah satu do’a yang ia panjatkan adalah mendapatkan pasangan hidup yang hafal Al-Qur’an, karena ia sendiri sedang berusaha menjadi Hafidzhah. “Sehari-harinya dia bekerja di Lembaga Pengembangan Dakwah, mengajar di beberapa tempat, sering mengisi ceramah. Dia mengisi acara di radio Al-Quds,” papar Pak Arif. “Radio Al-Quds? Saya pendengar setia Radio Al-Quds lho pak. Namanya siapa pak,mungkin saja saya pernah mendengar, :kata Shofa. “Namanya Hanif Ibrahim.”

Deg! Jantung Shofa serasa berhenti berdetak selama sepersekian detik. Nama itu demikian dikenalnya dalam tiga tahun terakhir ini. Nama itu adalah salah satu tempatdirinya menimba ilmu tentang ke-Islaman lewat radio. Tausiyah-tausiyah melalui radio itu pula yang membuat Shofa jadi banyak berpikir, lalu berhijrah dan memutuskan untuk menjadi muslimah yang kaffah.

Bu Arif menangkap adanya perubahan pada rona wajah Shofa. “Ada apa Shofa?” “Saya sering mendengarkan beliau ceramah di radio.”

“Nah…. Jadi sebetulnya sudah kenal tho, walaupun Cuma dari radio, “Pak Arif terkekeh. “Bagaimana, kapan nak Shofa siap bertemu Hanif?” “Kapan saja, terserah Bapak. Tapi saya harus cerita dulu kepada Ibu tentang masalah ini,” jawab Shofa. “Ohhh….. ibumu sudah tahu. Kami sudah cerita. Malah ibumu bilang, kami disuruh langsung tanya saja ke nak Shofa. Ibumu setuju kok,” ujar Pak Arif.

Sepulangnya dari rumah kedua orangtua yang sudah dianggapnya keluarga itu, Shofa bagai tak percaya apa yang baru saja terjadi. “Benarkah Ustadz Hanif jodohku?” tanyanya dalam hati. Walaupun belum pernah bertemu, tapi Shofa merasa telah sangat mengenal Hanif. Diam-diam sebentuk kekaguman telah bersemayam dalam hatinya. Tidak ada cara lain bagi Shofa selain mengadukan permasalahannya ini kepada Allah. Dihabiskannya malam-malam panjang di atas sajadah dengan bermunajat.

Dua bulan kemudian, tibalah saat pertemuan Shofa dengan Hanif. Hari itu Shofa tampak manis. Tubuhnya dibalut gamis biru dan jilbab lebar berwarna putih. Ia berjalan menuju rumah Pak Arif dengan penuh kemantapan hati, buah dari istikharahnya.

“Assalamu’alaikum,” Shofa mengucap salam di depan pintu. “Wa’alaikumussalam. Nak Shofa ayo masuk. Pak Arif belum datang. Sedang menjemput Hanif,” jawab Bu Arif. Sambil menunggu, Bu Arif memberikan wejangan bagaimana menjadi istri shalehah dengan mengutip beberapa ayat dan hadits. Shofa mendengarkan dengan takzim. Sesekali mengangguk.

Tiba-tiba, pintu ruang tamu terbuka lebar. Lalu muncul sesuatu yang tak disangka-sangka. Sebuah kursi roda yang berjalan tersendat karena terbentur pintu, sesosok tubuh dengan satu kaki yang duduk di atas kursi roda sambil tersenyum. Shofa terhenyak, memandang tak percaya. “Inilah Ustadz Hanif?” Berbagai gejolak rasa menyergap dengan cepat. Shofa berusaha menenangkan perasaannya. Suasana hening. Shofa bagai mampu mendengar suara detak jantungnya sendiri.

“Nak Shofa, ini Hanif yang Bapak ceritakan dulu,” kata Pak Arif memecah kesunyian.

“Assalamu’alaikum dik Shofa,” kata Hanif. “Wa’alaikumssalam,” jawab Shofa. Ah, suaranya tidak berbeda dengan di radio. Tetap berkharisma.

“Alhamdulillah, Allah mengijinkan kita untuk bertemu hari ini. Pak Arif mungkin sudah cerita, saya memang punya niat untuk melaksanakan sunnah Rasulullah yaitu menikah. Saya minta dicarikan calon oleh Pak Arif. Cuma….. memang keadaan saya seperti ini. Sebulan yang lalu saya kecelakaan.. mobil saya tabrakan dengan truk. Tangan kiri saya lumpuh dan kaki kiri harus diamputasi.

Apapun yang terjadi sudah kehendak Allah. Kaki saya memang tidak bisa kembali. Tapi tangan kiri saya sedang diterapi. Kata dokter kemungkinan besar bisa pulih. Insya Allah, saya pun ingin tidak terlalu lama bergantung pada kursi roda. Kalau sudah membaik, saya akan menggunakan kruk saja.” Kata-kata mengalir deras dari bibir Hanif.

Shofa mengangkat wajahnya sedikit dan melihat sekilas kea rah Hanif. “Subhanallah. Wajahnya tenang sekali. Bahkan berseri-seri. Ada keikhlasan yang terpancar dari wajahnya.” Bathin Shofa.

“Saya tidak heran jika dik Shofa tidak berkenan dengan keadaan saya. Inilah saya. Mungkin saya yang terlalu berani tetap berniat menikah dengan kekurangan fisik saya. Tapi, justru dengan kondisi ini saya sangat membutuhkan kehadiran seorang istri.”

Shofa diam tak bergeming. Di hadapannya sekarang, duduk seorang laki-laki yang memiliki kelebihan-kelebihan yang didambakannya selama ini. Sosok seorang suami yang sempurna. Ilmu agamanya bagus, shaleh, berakhalak muloia, dan seorang hafidzh. Cita-cita Shofa adalah memiliki anak-anak yang menjadi generasi penghafal dan pengamal Al-Qur’an. Bukanlah ustadz Hanif adalah sosok yang tepat? Kekurangannya hanya satu, fisiknya cacat tak sempurna.

“Hanif, mungkin nak Shofa belum bisa mengambil keputusan cepat-cepat. Dia tentunya perlu menimbang-nimbang. Kita beri saja waktu, mudah-mudahan nak Shofa bisa segera memberikan jawaban. Begitu ya nak Shofa?” Pak Arif berusaha menengahi suasana senyap di antara mereka.

Shofa masih saja diam tak menjawab. Sibuk berdialog dengan batinnya. Tiba-tiba saja Shofa mengangkat wajahnya. “Saya sudah shalat istikharah sejak pertama kali Pak Arif mau mengenalkan saya dengan ustadz Hanif.” “Silahkan dik Shofa, saya akan coba menjawab,” kata Hanif.

“Untuk dapat membawa istri dan anak-anaknya ke dalam surga, apakah seorang laki-laki harus mempunyai dua kaki?” Tanya Shofa. Hanif tersenyum. “Tentu saja tidak. Bukan butuh dua kaki. Yang dibutuhkan adalah landasan aqidah, ibadah, dan akhlak yang lurus dan kuat. Dan juga kemampuan untuk mendidik.” Shofa memandang bergantian ke arah Pak Arif, Bu Arif dan Hanif. Bibirnya membiaskan senyum yang lebar. “Saya udah mantap. Saya tidak membutuhkan suami dengan dua kaki.” “Alhamdulillah!” berbarengan Pak Arif, Bu Arif, dan Hanif berseru.

Resepsi pernikahan baru saja usai. Shofa mendorong kursi roda Hanif menuju kamar pengantin. Kedua pengantin itu berwajah cerah ceria. Hanif begitu tampan dan gagah dengan jas dan kopiah hitam. Shofa tampak cantik, bergaun putih dan jilbab yang diberi rangkaian melati.

Hanif meletakkan tangannya di atas kening istrinya, lalu membaca doa, “Dengan nama Allah, jauhkanlah kami dari godaan syetan dan dekatkanlah dengan apa yang Engkau rizkikan, anak-anak kepada kami.”

Shofa menggamit dan mencium tangan suaminya dengan takzim. “Kak Hanif, boleh Shofa mengutarakan sesuatu?” Tanya Shofa.

“Boleh. Apa itu?” Hanif tersenyum lebar. “Shofa cinta Kak Hanif karena Allah,” Shofa bicara sambil menunduk malu-malu.

“Kak Hanif juga cinta dik Shofa karena Allah.” Hanif menyentuh dagu Shofa, mengangkat wajahnya. Mereka bertatapan. Lekat. Ada debur yang menggelora di jiwa mereka berdua. “Lho kok nunduk. Kita sudah resmi suami istri. Pandang kak Hanif dong!” Hanif menggoda Shofa. Shofa memandang Hanif tersipu.

“Ayo kita shalat dulu,” kata Hanif. “Shofa Bantu kak Hanif wudhu ya,” Shofa langsung beranjak dari duduknya dan mendorong kursi roda kekasih jiwanya ke kamar mandi.

Bersama percikan air wudhu yang menetes, Allah tebarkan rahmat dan cinta di antara kedua makhluk kecintaanNya.

Terinspirasi dari Syekh Ahmad Yasin yang tetap berjihad dari kursi roda hingga syahidnya.

Cahaya Hikmah, edisi 22/2008

|

0 komentar

Post a Comment

thanks for visiting my website...
leave a comment please.. ^_^

[X]

comment here...


ShoutMix chat widget

chat room

About Me

My photo
Blitar, Jawa Timur, Indonesia
A HEART dies when it is not able to share its FEELINGS.., but a HEART Kills itself when another Heart doesnot Understand its Feelings...

Followers

Plurk