http://img412.imageshack.us/img412/4403/image15jc7.gif http://img100.imageshack.us/img100/4658/image12du2.gif

kisah kucing kecil


Sepasang suami istri, berjalan kaki bersama sambil tertawa dan bercanda ria. Dari kejauhan, mereka melihat ada dua ekor kucing tengah berjalan beriringan. Ibu kucing dan anaknya yang masih kecil. Si kucing kecil berjalan di belakang, mengikuti ibunya. Sangat lucu. “Wha, lihat mas.., ada kucing kecil lagi sama ibunya…” ujar sang istri dengan gembira sambil menunjuk dua ekor kucing yang terlihat dari kejauhan. Saat sudah dekat dengan kucing-kucing itu, mereka menyapa, “Hai…Puss…Puss….” Si kucing kecil terlihat berlari riang, dan bercanda dengan ibunya. Ia meloncat kian kemari dan hendak menyeberang jalan raya. Sebuah sepeda motor melintas melewati jalan itu. “Aduh….awas Puss!... nanti ketabrak lho..” ujar sang istri pada si kucing kecil. “Alhamdulillah tidak kena…” Seru mereka berdua. “Hati-hati Puss….,, jangan nyebrang-nyebrang lagi ya.” Mereka menyapa dengan melambai-lambaikan tangan pada si kucing kecil. Kucing kecil itu menatap pada dua manusia di hadapannya. “Alhamdulillah ya kucingnya tidak tertabrak…” ujar istri pada suaminya sambil tertawa senang. Mereka melanjutkan perjalanan. Si kucing kecil kembali ke pinggir jalan dan berjalan di belakang ibunya sambil sesekali mengajak bercanda sang ibu. Si kucing kecil berlari ke tengah jalan…Ah… kucing itu tidak akan tertabrak, bukankah dia kucing yang gesit, pikir sang istri. Dari kejauhan, sebuah motor melaju dengan kencang. Sambil tetap berjalan, ekor mata suami dan istri tersebut tetap memperhatikan gerak si kucing kecil. Tapi, perkiraan mereka salah. “Awas…” seru mereka dalam hati. “KREEKK!!” Kejadian itu begitu cepat. Sepeda motor itu tepat menabrak dan menggilas si kucing kecil yang tengah berlari menyebrang ke tengah jalan. “Kucingnya tertabrak!!!...” Kedua insane itu terperanjat. Badan si kucing kecil gemetar dan kepalanya yang semula tegak, terkulai perlahan ke aspal jalan raya. “Puss…!”

Kucing kecil yang beberapa detik lalu sangat riang, tiba-tiba kini terkulai tak bergera. Ah…., Puss… Dan ibu kucing kecil itu sendirian. Tak ada lagi anak yang menemani perjalanan. Senyum dan tawa suami istri itu hilang seketika. Terdiam. Menjadi teringat diri. Dunia menjadi kecil. Ingin segera bertaubat. Sujud. Bisa saja, saat sedang tertawa bercanda, ternyata sedetik algi diri ini dicabut nyawa oleh Malaikat Izrail. Persis seperti kucing itu. Begitu mudahnya Ia mencabut nyawa makhluk-Nya dan begitu indah serta halus cara Ia memberikan teguran, peringatan, kepada hamba-hamba-Nya. Melalui seekor kucing. Sambil terus menyusuri jalan, terngiang sabda Rasulullah SAW bersabda yang maksudnya, “Bahwa malaikat maut memperhatikan wajah manusia di muka bumi ini 70 kali dlaam sehari. Ketika Izrail datang melihat wajah seseorang, didapati orang itu ada yang masih tertawa. Maka berkata Izrail, “Alangkah herannya aku melihat orang ini sedangkan aku diutus oleh Allah Ta’ala untuk mencabut nyawanya tertapi dia masih bergelak tawa.”

Dan juga dalam hadist lainnya, Rasulullah SAW bersabda, “Jika kamu mengetahui apa yang aku ketahui, niscaya kamu akan sedikit tertawa dan pasti akan banyak menangis, pasti kamu tidak akan bersenang-senang dengan istri kamu diatas kasur dan pasti kamu akan keluar dari rumahmu menuju tanah lapang sambil menjerit-jerit karena takut kepada Allah.”

Lama…,aku bersimpuh di hadapan-Mu…

Begitu khusyu Tak tahan jua air mataku mengalir tanda penyesalanku

Kini aku sadari begitu banyak dosa mematri Akankah hamba layak dipuji

Sedangkan diri kecil tak berarti

Besar rahmat-Mu penuh dengan ampunan…

Namun kumalu karena hati telah lalai

Kekal azab-Mu penguasa seluruh alam

Tersujud aku memohon keridhoan


Allah…Ya Allah…

Kau Pengasih, Kau Penyayang

Allah… Ya Allah…

Kau Pelindung, Kau Pengampun

Pada-Mu Ya Allah kami serahkan

Segala ujian, karunia-Mu

Kuatkanlah iman dan kesabaran

Berikan ampunan dalam hidupku Ya

Allah….


dikutip dari : cahaya hikmah, edisi 24/2008

read more “kisah kucing kecil”

cermin yang terlupakan



Pada suatu ketika, sepasang suami, istri, katakanlah mereka Smith, mengadakan “garage sale” untuk menjual barang-barang bekas yang tidak mereka butuhkan lagi. Suami istri ini sudah setengah baya, dan anak-anak mereka telah meninggalkan rumah untuk hidup mandiri. Sekarang waktunya untuk membenahi rumah, dan menjual barang-barang yang tidak dibutuhkan lagi. Saat mengumpulkan barang-barang yang akan dijual, mereka menemukan benda-benda yang sudah sekian lama tersimpan di gudang. Salah satu diantaranya adalah sebuah cermin yang mereka dapatkan sebagai hadiah pernikahan mereka, dua puluh tahun yang lampau. Sejak pertama kali diperoleh, cermin itu sama sekali tidak pernah digunakan. Bingkainya yang berwarna biru aqua membuat cermin itu tampak buruk, dan tidak cocok untuk diletakkan di ruangan mana pun di rumah mereka. Namun karena tidak ingin menyakiti orang yang menghadiahkannya, cermin itu tidak mereka kembalikan. Demikianlah, cermin itu teronggok di loteng. Setelah dua puluh tahun berlalu, mereka berpikir orang yang memberikannya tentu sudah lupa dengan cermin itu. Maka mereka mengeluarkan dari gudang, dan meletakkannya bersama barang lain untuk dijual keesokan hari. Garage sale mereka ternyata mendapat banyak peminat. Halaman rumah mereka penuh oleh orang-orang yang datang untuk melihat barang bekas yang mereka jual. Satu per satu barang bekas itu mulai terjual. Perabot rumah tangga, buku-buku, pakaian, alat berkebun, mainan anak-anak, bahkan radio tua yang sudah tidak berfungsi pun masih ada yang membeli. Seorang lelaki menghampiri Mrs. Sminth. “Berapa harga cermin itu?” katanya sambil menunjuk cermin tak terpakai tadi. Mrs. Smith tercengang. “Wah, saya sendiri tidak berharap akan menjual cermin itu. Apakah anda sungguh ingin membelinya?” katanya. “Ya, tentu saja. Kondisinya masih sangat bagus.” Jawab pria itu. Mrs. Smith tidak tahu berapa harga yang pantas untuk cermin jelek itu. Meskipun sangat mulus, namun baginya cermin itu tetaplah jelek dna tidak berharga. Setelah dipikir sejenak, Mrs. Smith berkata, “Hmm… anda bisa membeli cermin itu untuk satu dolar.” Dengan wajah berseri-seri, pria tadi mengeluarkan dompetnya, menarik selembar uang satu dolar dan memberikannya kepada Mrs. Smith. “Terimakasih,” Kata Mrs. Smith, “Sekarang cermin itu jadi milik anda. Apakah perlu dibungkus?” “Oh, jika boleh, saya ingin memeriksanya sebelum saya bawa pulang.” Jawab si pembeli. Mrs. Smith memberikan ijinnya, dan pria itu bergegas mengambil cerminnya dan meletakkannya di atas meja di depan Mrs. Smith. Dia mulai mengupas pinggiran bingkai cermin itu. Dengan satu tarikan dia melepaskan lapisan pelindungnya dan muncullah warna keemasan dibaliknya. Bingkai cermin itu ternyata bercat emas yang snagat indah, dan warna biru aqua yang selama ini menutupinya hanyalah warna dari lapisan pelindung bingkai itu! “Ya, tepat seperti yang saya duga! Terima kasih!”sorak pria itu dengan gembira. Mrs. Smith tidak bisa berkata-kata menyaksikan cermin indah itu dibawa pergi oleh pemilik barunya, untuk mendapatkan tempat yang lebih pantas daripada loteng rumah yang sempit dan berdebu. Kisah ini menggambarkan bagaimana kita melihat hidup kita. Terkadang kita merasa hidup kita membosankan, tidak seindah yang kita inginkan. Kita melihat hidup kita berupa rangkaian rutinitas yang harus kita jalani. Bangun pagi, pergi bekerja, pulang sore, tidur Bangun pagi, pergi bekerja, pulang sore, tidur.itu saja yang kita jalani setiap hari. Sama halnya dengan Mr. dan Mrs. Smith yang hanya melihat plastik pelapis dari bingkai cermin mereka, sehingga mereka merasa cermin itu jelek dan tidak cocok digantung di dinding. Padahal di balik lapisan itu, ada warna emas yang indah. Padahal di balik rutinitas hidup kita, ada banayk hal yang dapat memperkaya hidup kita. Setiap saat yang kita lewati, hanya bisa kita alami satu kali seumur hidup kita. Setiap detik yang kita jalani, hanya berlaku satu kali dalam hidup kita. Setiap detik adalah pemberian baru dari Tuhan untuk kita. Akankah kita menyianyiakannya dengan terpaku pada rutinitas? Akankah kita membiarkan waktu berlalu dengan merasa hidup kita tidak seperti yang kita inginkan? Setelah dua puluh tahun, dan setelah terlambat, barulah Mrs. Smith menyadari nilai sesungguhnya dari nilai tersebut. Inginkah kita menyadari keindahan hidup kita setelah segalanya terlambat? Tentu tidak. Sebab itu, marilah kita mulai mengikis pandangan kita bahwa hidup hanaylah rutinitas belaka. Mari kita mulai mengelupas rutinitas tersebut dan menemukan nilai sesungguhnya dari hidup kita. Marilah kita mulai menjelajah hidup kita, menemukan hal-hal baru, belajar lebih banyak, mengaenal orang lebih baik. Mari kita melakukan sesuatu yang baru. Mari kita membuat perbedaan! Dengan sesuatu semangat baru untuk menjalani hidup lebih baik setiap hari.


dikutip dari :cahaya hikmah, edisi 28/ maret 2009
read more “cermin yang terlupakan”

cinta laki-laki biasa





Menjelang hari H, Nania masih saja sulit mengungkapkan alasan kenapa dia mau menikah dengan lelaki itu. Baru setelah menengok ke belakang, hari-hari yang dilalui, gadis cantik itu sadar, keheranan yang terjadi bukan semata miliknya, melainkan menjadi milik banyak orang; Papa dan Mama, kakak-kakak, tetangga, dan teman-teman Nania. Mereka ternyata sama herannya.

Kenapa? Tanya mereka di hari Nania mengantarkan surat undangan.

Saat itu teman-teman baik Nania sedang duduk di kantin menikmati hari-hari sidang yang baru saja berlalu. Suasana sore di kampus sepi.Berpasang-pasang mata tertuju pada gadis itu.

Tiba-tiba saja pipi Nania bersemu merah, lalu matanya berpijar bagaikan lampu neon limabelas watt. Hatinya sibuk merangkai kata-kata yg barangkali beterbangan di otak melebihi kapasitas. Mulut Nania terbuka. Semua menunggu. Tapi tak ada apapun yang keluar dari sana. Ia hanya menarik nafas, mencoba bicara dan? menyadari, dia tak punya kata-kata!

Dulu gadis berwajah indo itu mengira punya banyak jawaban, alasan detil dan spesifik, kenapa bersedia menikah dengan laki-laki itu. Tapi kejadian di kampus adalah kali kedua Nania yang pintar berbicara mendadak gagap.Yang pertama terjadi tiga bulan lalu saat Nania menyampaikan keinginan Rafli untuk melamarnya. Arisan keluarga Nania dianggap momen yang tepat karena semua berkumpul, bahkan hingga generasi ketiga, sebab kakak-kakaknya yang sudah berkeluarga membawa serta buntut mereka.

Kamu pasti bercanda!

Nania kaget. Tapi melihat senyum yang tersungging di wajah kakak tertua, disusul senyum serupa dari kakak nomor dua, tiga, dan terakhir dari Papa dan Mama membuat Nania menyimpulkan: mereka serius ketika mengira Nania bercanda.

Suasana sekonyong-konyong hening. Bahkan keponakan-keponakan Nania yang balita melongo dengan gigi-gigi mereka yang ompong. Semua menatap Nania!

Nania serius! tegasnya sambil menebak-nebak, apa lucunya jika Rafli memang melamarnya.

Tidak ada yang lucu, suara Papa tegas, Papa hanya tidak mengira Rafli berani melamar anak Papa yang paling cantik!

Nania tersenyum. Sedikit lega karena kalimat Papa barusan adalah pertanda baik. Perkiraan Nania tidak sepenuhnya benar sebab setelah itu berpasang-pasang mata kembali menghujaninya, seperti tatapan mata penuh selidik seisi ruang pengadilan pada tertuduh yang duduk layaknya pesakitan.

Tapi Nania tidak serius dengan Rafli, kan? Mama mengambil inisiatif bicara, masih seperti biasa dengan nada penuh wibawa, maksud Mama siapa saja boleh datang melamar siapapun, tapi jawabannya tidak harus iya, toh?

Nania terkesima.

Kenapa?

Sebab kamu gadis Papa yang paling cantik.

Sebab kamu paling berprestasi dibandingkan kami. Mulai dari ajang busana, sampai lomba beladiri. Kamu juga juara debat bahasa Inggris, juara baca puisi seprovinsi. Suaramu bagus!

Sebab masa depanmu cerah. Sebentar lagi kamu meraih gelar insinyur.Bakatmu yang lain pun luar biasa. Nania sayang, kamu bisa mendapatkan laki-laki manapun yang kamu mau!

Nania memandangi mereka, orang-orang yang amat dia kasihi, Papa, kakak-kakak, dan terakhir Mama. Takjub dengan rentetan panjang uraian mereka atau satu kata 'kenapa' yang barusan Nania lontarkan.

Nania Cuma mau Rafli, sahutnya pendek dengan airmata mengambang di kelopak.

Hari itu dia tahu, keluarganya bukan sekadar tidak suka, melainkan sangat tidak menyukai Rafli. Ketidaksukaan yang mencapai stadium empat. Parah.

Tapi kenapa?

Sebab Rafli cuma laki-laki biasa, dari keluarga biasa, dengan pendidikan biasa, berpenampilan biasa, dengan pekerjaan dan gaji yg amat sangat biasa.

Bergantian tiga saudara tua Nania mencoba membuka matanya.

Tak ada yang bisa dilihat pada dia, Nania!

Cukup!

Nania menjadi marah. Tidak pada tempatnya ukuran-ukuran duniawi menjadi parameter kebaikan seseorang menjadi manusia. Di mana iman, di mana tawakkal hingga begitu mudah menentukan masa depan seseorang dengan melihat pencapaiannya hari ini?

Sayangnya Nania lagi-lagi gagal membuka mulut dan membela Rafli. Barangkali karena Nania memang tidak tahu bagaimana harus membelanya. Gadis itu tak punya fakta dan data konkret yang bisa membuat Rafli tampak 'luar biasa'. Nania Cuma punya idealisme berdasarkan perasaan yang telah menuntun Nania menapaki hidup hingga umur duapuluh tiga. Dan nalurinya menerima Rafli. Di sampingnya Nania bahagia.

Mereka akhirnya menikah.

***

Setahun pernikahan.

Orang-orang masih sering menanyakan hal itu, masih sering berbisik-bisik di belakang Nania, apa sebenarnya yang dia lihat dari Rafli. Jeleknya, Nania masih belum mampu juga menjelaskan kelebihan-kelebihan Rafli agar tampak di mata mereka.

Nania hanya merasakan cinta begitu besar dari Rafli, begitu besar hingga Nania bisa merasakannya hanya dari sentuhan tangan, tatapan mata, atau cara dia meladeni Nania. Hal-hal sederhana yang membuat perempuan itu sangat bahagia.

Tidak ada lelaki yang bisa mencintai sebesar cinta Rafli pada Nania.

Nada suara Nania tegas, mantap, tanpa keraguan.

Ketiga saudara Nania hanya memandang lekat, mata mereka terlihat tak percaya.

Nia, siapapun akan mudah mencintai gadis secantikmu! Kamu adik kami yang tak hanya cantik, tapi juga pintar! Betul. Kamu adik kami yang cantik, pintar, dan punya kehidupan sukses!

Nania merasa lidahnya kelu. Hatinya siap memprotes. Dan kali ini dilakukannya sungguh-sungguh. Mereka tak boleh meremehkan Rafli.

Beberapa lama keempat adik dan kakak itu beradu argumen.

Tapi Rafli juga tidak jelek, Kak!
Betul. Tapi dia juga tidak ganteng kan?

Rafli juga pintar!
Tidak sepintarmu, Nania.

Rafli juga sukses, pekerjaannya lumayan.
Hanya lumayan, Nania. Bukan sukses. Tidak sepertimu.

Seolah tak ada apapun yang bisa meyakinkan kakak-kakaknya, bahwa adik mereka beruntung mendapatkan suami seperti Rafli. Lagi-lagi percuma.

Lihat hidupmu, Nania. Lalu lihat Rafli! Kamu sukses, mapan, kamu bahkan tidak perlu lelaki untuk menghidupimu.

Teganya kakak-kakak Nania mengatakan itu semua. Padahal adik mereka sudah menikah dan sebentar lagi punya anak.

Ketika lima tahun pernikahan berlalu, ocehan itu tak juga berhenti. Padahal Nania dan Rafli sudah memiliki dua orang anak, satu lelaki dan satu perempuan. Keduanya menggemaskan. Rafli bekerja lebih rajin setelah mereka memiliki anak-anak. Padahal itu tidak perlu sebab gaji Nania lebih dari cukup untuk hidup senang. Tak apa, kata lelaki itu, ketika Nania memintanya untuk tidak terlalu memforsir diri. Gaji Nania cukup, maksud Nania jika digabungkan dengan gaji Abang.

Nania tak bermaksud menyinggung hati lelaki itu. Tapi dia tak perlu khawatir sebab suaminya yang berjiwa besar selalu bisa menangkap hanya maksud baik..

Sebaiknya Nania tabungkan saja, untuk jaga-jaga. Ya? Lalu dia mengelus pipi Nania dan mendaratkan kecupan lembut. Saat itu sesuatu seperti kejutan listrik menyentakkan otak dan membuat pikiran Nania cerah.

Inilah hidup yang diimpikan banyak orang. Bahagia!

Pertanyaan kenapa dia menikahi laki-laki biasa, dari keluarga biasa, dengan pendidikan biasa, berpenampilan biasa, dengan pekerjaan dan gaji yang amat sangat biasa, tak lagi mengusik perasaan Nania. Sebab ketika bahagia, alasan-alasan menjadi tidak penting.

Menginjak tahun ketujuh pernikahan, posisi Nania di kantor semakin gemilang, uang mengalir begitu mudah, rumah Nania besar, anak-anak pintar dan lucu, dan Nania memiliki suami terbaik di dunia. Hidup perempuan itu berada di puncak!

Bisik-bisik masih terdengar, setiap Nania dan Rafli melintas dan bergandengan mesra. Bisik orang-orang di kantor, bisik tetangga kanan dan kiri, bisik saudara-saudara Nania, bisik Papa dan Mama.

Sungguh beruntung suaminya. Istrinya cantik.
Cantik ya? dan kaya!

Tak imbang!

Dulu bisik-bisik itu membuatnya frustrasi. Sekarang pun masih, tapi Nania belajar untuk bersikap cuek tidak peduli. Toh dia hidup dengan perasaan bahagia yang kian membukit dari hari ke hari.

Tahun kesepuluh pernikahan, hidup Nania masih belum bergeser dari puncak. Anak-anak semakin besar. Nania mengandung yang ketiga. Selama kurun waktu itu, tak sekalipun Rafli melukai hati Nania, atau membuat Nania menangis.

Bayi yang dikandung Nania tidak juga mau keluar. Sudah lewat dua minggu dari waktunya.

Plasenta kamu sudah berbintik-bintik. Sudah tua, Nania. Harus segera dikeluarkan!

Mula-mula dokter kandungan langganan Nania memasukkan sejenis obat ke dalam rahim Nania. Obat itu akan menimbulkan kontraksi hebat hingga perempuan itu merasakan sakit yang teramat sangat. Jika semuanya normal, hanya dalam hitungan jam, mereka akan segera melihat si kecil.

Rafli tidak beranjak dari sisi tempat tidur Nania di rumah sakit. Hanya waktu-waktu shalat lelaki itu meninggalkannya sebentar ke kamar mandi, dan menunaikan shalat di sisi tempat tidur. Sementara kakak-kakak serta orangtua Nania belum satu pun yang datang.

Anehnya, meski obat kedua sudah dimasukkan, delapan jam setelah obat pertama, Nania tak menunjukkan tanda-tanda akan melahirkan. Rasa sakit dan melilit sudah dirasakan Nania per lima menit, lalu tiga menit. Tapi pembukaan berjalan lambat sekali.

Baru pembukaan satu.
Belum ada perubahan, Bu.
Sudah bertambah sedikit, kata seorang suster empat jam kemudian menyemaikan harapan.

Sekarang pembukaan satu lebih sedikit. Nania dan Rafli berpandangan. Mereka sepakat suster terakhir yang memeriksa memiliki sense of humor yang tinggi.

Tigapuluh jam berlalu. Nania baru pembukaan dua. Ketika pembukaan pecah, didahului keluarnya darah, mereka terlonjak bahagia sebab dulu-dulu kelahiran akan mengikuti setelah ketuban pecah. Perkiraan mereka meleset.

Masih pembukaan dua, Pak!
Rafli tercengang. Cemas. Nania tak bisa menghibur karena rasa sakit yang sudah tak sanggup lagi ditanggungnya. Kondisi perempuan itu makin payah. Sejak pagi tak sesuap nasi pun bisa ditelannya.

Bang?
Rafli termangu. Iba hatinya melihat sang istri memperjuangkan dua kehidupan.

Dokter?

Kita operasi, Nia. Bayinya mungkin terlilit tali pusar.

Mungkin?
Rafli dan Nania berpandangan. Kenapa tidak dari tadi kalau begitu?
Bagaimana jika terlambat?

Mereka berpandangan, Nania berusaha mengusir kekhawatiran. Ia senang karena Rafli tidak melepaskan genggaman tangannya hingga ke pintu kamar operasi. Ia tak suka merasa sendiri lebih awal.

Pembiusan dilakukan, Nania digiring ke ruangan serba putih. Sebuah sekat ditaruh di perutnya hingga dia tidak bisa menyaksikan ketrampilan dokter-dokter itu. Sebuah lagu dimainkan. Nania merasa berada dalam perahu yang diguncang ombak. Berayun-ayun. Kesadarannya naik-turun. Terakhir, telinga perempuan itu sempat menangkap teriakan-teriakan di sekitarnya, dan langkah-langkah cepat yang bergerak, sebelum kemudian dia tak sadarkan diri.

Kepanikan ada di udara. Bahkan dari luar Rafli bisa menciumnya. Bibir lelaki itu tak berhenti melafalkan zikir.

Seorang dokter keluar, Rafli dan keluarga Nania mendekat.

Pendarahan hebat!

Rafli membayangkan sebuah sumber air yang meluap, berwarna merah. Ada varises di mulut rahim yang tidak terdeteksi dan entah bagaimana pecah! Bayi mereka selamat, tapi Nania dalam kondisi kritis.

Mama Nania yang baru tiba, menangis. Papa termangu lama sekali. Saudara-saudara Nania menyimpan isak, sambil menenangkan orangtua mereka.

Rafli seperti berada dalam atmosfer yang berbeda. Lelaki itu tercenung beberapa saat, ada rasa cemas yang mengalir di pembuluh-pembuluh darahnya dan tak bisa dihentikan, menyebar dan meluas cepat seperti kanker.

Setelah itu adalah hari-hari penuh doa bagi Nania.

Sudah seminggu lebih Nania koma. Selama itu Rafli bolak-balik dari kediamannya ke rumah sakit. Ia harus membagi perhatian bagi Nania dan juga anak-anak. Terutama anggota keluarganya yang baru, si kecil. Bayi itu sungguh menakjubkan, fisiknya sangat kuat, juga daya hisapnya. Tidak sampai empat hari, mereka sudah oleh membawanya pulang.

Mama, Papa, dan ketiga saudara Nania terkadang ikut menunggui Nania di rumah sakit, sesekali mereka ke rumah dan melihat perkembangan si kecil. Walau tak banyak, mulai terjadi percakapan antara pihak keluarga Nania dengan Rafli.

Lelaki itu sungguh luar biasa. Ia nyaris tak pernah meninggalkan rumah sakit, kecuali untuk melihat anak-anak di rumah. Syukurnya pihak perusahaan tempat Rafli bekerja mengerti dan memberikan izin penuh. Toh, dedikasi Rafli terhadap kantor tidak perlu diragukan.

Begitulah Rafli menjaga Nania siang dan malam. Dibawanya sebuah Quran kecil, dibacakannya dekat telinga Nania yang terbaring di ruang ICU. Kadang perawat dan pengunjung lain yang kebetulan menjenguk sanak famili mereka, melihat lelaki dengan penampilan sederhana itu bercakap-cakap dan bercanda mesra..

Rafli percaya meskipun tidak mendengar, Nania bisa merasakan kehadirannya.

Nania, bangun, Cinta?
Kata-kata itu dibisikkannya berulang-ulang sambil mencium tangan, pipi dan kening istrinya yang cantik.

Ketika sepuluh hari berlalu, dan pihak keluarga mulai pesimis dan berfikir untuk pasrah, Rafli masih berjuang. Datang setiap hari ke rumah sakit, mengaji dekat Nania sambil menggenggam tangan istrinya mesra. Kadang lelaki itu membawakan buku-buku kesukaan Nania ke rumah sakit dan membacanya dengan suara pelan. Memberikan tambahan di bagian ini dan itu. Sambil tak bosan-bosannya berbisik,

Nania, bangun, Cinta?
Malam-malam penantian dilewatkan Rafli dalam sujud dan permohonan. Asalkan Nania sadar, yang lain tak jadi soal. Asalkan dia bisa melihat lagi cahaya di mata kekasihnya, senyum di bibir Nania, semua yang menjadi sumber semangat bagi orang-orang di sekitarnya, bagi Rafli.

Rumah mereka tak sama tanpa kehadiran Nania. Anak-anak merindukan ibunya. Di luar itu Rafli tak memedulikan yang lain, tidak wajahnya yang lama tak bercukur, atau badannya yang semakin kurus akibat sering lupa makan.

Ia ingin melihat Nania lagi dan semua antusias perempuan itu di mata, gerak bibir, kernyitan kening, serta gerakan-gerakan kecil lain di wajahnya yang cantik. Nania sudah tidur terlalu lama.

Pada hari ketigapuluh tujuh doa Rafli terjawab. Nania sadar dan wajah penat Rafli adalah yang pertama ditangkap matanya.

Seakan telah begitu lama. Rafli menangis, menggenggam tangan Nania dan mendekapkannya ke dadanya, mengucapkan syukur berulang-ulang dengan airmata yang meleleh.

Asalkan Nania sadar, semua tak penting lagi.

Rafli membuktikan kata-kata yang diucapkannya beratus kali dalam doa. Lelaki biasa itu tak pernah lelah merawat Nania selama sebelas tahun terakhir. Memandikan dan menyuapi Nania, lalu mengantar anak-anak ke sekolah satu per satu. Setiap sore setelah pulang kantor, lelaki itu cepat-cepat menuju rumah dan menggendong Nania ke teras, melihat senja datang sambil memangku Nania seperti remaja belasan tahun yang sedang jatuh cinta.

Ketika malam Rafli mendandani Nania agar cantik sebelum tidur. Membersihkan wajah pucat perempuan cantik itu, memakaikannya gaun tidur. Ia ingin Nania selalu merasa cantik. Meski seringkali Nania mengatakan itu tak perlu. Bagaimana bisa merasa cantik dalam keadaan lumpuh?

Tapi Rafli dengan upayanya yang terus-menerus dan tak kenal lelah selalu meyakinkan Nania, membuatnya pelan-pelan percaya bahwa dialah perempuan paling cantik dan sempurna di dunia. Setidaknya di mata Rafli.

Setiap hari Minggu Rafli mengajak mereka sekeluarga jalan-jalan keluar. Selama itu pula dia selalu menyertakan Nania. Belanja, makan di restoran, nonton bioskop, rekreasi ke manapun Nania harus ikut. Anak-anak, seperti juga Rafli, melakukan hal yang sama, selalu melibatkan Nania. Begitu bertahun-tahun.

Awalnya tentu Nania sempat merasa risih dengan pandangan orang-orang di sekitarnya. Mereka semua yang menatapnya iba, lebih-lebih pada Rafli yang berkeringat mendorong kursi roda Nania ke sana kemari. Masih dengan senyum hangat di antara wajahnya yang bermanik keringat.

Lalu berangsur Nania menyadari, mereka, orang-orang yang ditemuinya di jalan, juga tetangga-tetangga, sahabat, dan teman-teman Nania tak puas hanya memberi pandangan iba, namun juga mengomentari, mengoceh, semua berbisik-bisik.

Baik banget suaminya!
Lelaki lain mungkin sudah cari perempuan kedua!

Nania beruntung!
Ya, memiliki seseorang yang menerima dia apa adanya.

Tidak, tidak cuma menerima apa adanya, kalian lihat bagaimana suaminya memandang penuh cinta. Sedikit pun tak pernah bermuka masam!

Bisik-bisik serupa juga lahir dari kakaknya yang tiga orang, Papa dan Mama.

Bisik-bisik yang serupa dengungan dan sempat membuat Nania makin frustrasi, merasa tak berani, merasa?

Tapi dia salah. Sangat salah. Nania menyadari itu kemudian. Orang-orang di luar mereka memang tetap berbisik-bisik, barangkali selamanya akan selalu begitu. Hanya saja, bukankah bisik-bisik itu kini berbeda bunyi?

Dari teras Nania menyaksikan anak-anaknya bermain basket dengan ayah mereka.. Sesekali perempuan itu ikut tergelak melihat kocak permainan.

Ya. Duapuluh dua tahun pernikahan. Nania menghitung-hitung semua, anak-anak yang beranjak dewasa, rumah besar yang mereka tempati, kehidupan yang lebih dari yang bisa dia syukuri. Meski tubuhnya tak berfungsi
sempurna. Meski kecantikannya tak lagi sama karena usia, meski karir telah direbut takdir dari tangannya.

Waktu telah membuktikan segalanya. Cinta luar biasa dari laki-laki biasa yang tak pernah berubah, untuk Nania.

Seperti yg diceritakan oleh seorang sahabat..


dikutip dari Cahaya hikmah Februari 2010
read more “cinta laki-laki biasa”

tabir takdir cinta


TABIR TAKDIR CINTA



Maya keluar dari kelas. Tapi tas yang digambloknya terasa berat. Dia menoleh,Neneng sudah nyengir d belakangnya,jilbabnya berantakan.
“Ada apa neng?”
“Hehe,,,jadi nggak may mau nemenin aku ke pesantren? Katanya kemaren mau ikut. Gmn?’’
Maya berpikir sejenak,kemudian tersnyum. Berlalulah mereka dari gerbang sekolah dengan Toyota yaris biru milik Maya. Di perjalanan,Neneng banyak bercerita dengan kehidupan pondok. Dia juga tidak tahu banyak,hanya sekedar sering denger cerita dari temannya yang mondok di situ. Maya hanya sedikit memerhatikan cerita Neneng,maklum,dia sibuk menerobos kumpulan kendaraan yang tak terhitung jumlahnya.
“ALMA’HAD ALISLAMIY ALMADANIY”
“Ini tempatnya neng?” Neneng mengangguk. Maya memarkirkan mobilnya di halaman seberang gerbang pesantren.
Ketika hampir sampai pesntren,Maya berhenti sejenak. Pusing itu datang lagi. Dari tadi pagi dia sudah merasakan badannya agak lemas.
“May,kamu nggak mau ikut masuk?” Tanya Neneng ketika sadar Maya jauh tertinggal di belakangnya. Melihat Maya diam,Neneng menghampirinya. “Ya ALLAH may,kamu pucat begini!!”
Maya tersadar,”Ah,nggak papa kok.”
“Beneran?”
Maya mengangguk. “Eh,enaknya aku masuk nggak? Aku kan nggak pake jilbab kayak kamu gini. Mana masih pake seragam sekolah lagi,emang boleh masuk gitu?”
Neneng tertawa kecil, “Emang mall,siswa berseragam nggak boleh masuk?!! Nggak papa kok,yuk!”
Akhirnya Maya mengikuti Neneng menuju gerbang pesantren. Neneng terlihat ngobrol sebentar dengan penjaganya,mungkin minta dipanggilkan temannya. Mereka disuruh masuk dan menunggu di ruang tamu. Tapi belum sampai di ruang tamu,Maya tidak sanggup lagi berjalan. Dia sudah tidak tahan menahan sakit dan lemas di badannya. Dia pun ambruk.
Neneng menoleh tersentak. Dia bingung mendapati temannya jatuh pingsan. Kebetulan di sekitar situ masih sepi,tidak ada orang yang lewat. “Aduh,gimana ini??” Neneng kebingungan. Dia menoleh kesana kemari,tapi nihil,sepi. Tidak lama,seorang lelaki berkopiah hitam keluar dari satu ruangan. Langsung Neneng meminta bantuan pada cowok itu.
“Mas,mas.” Cowok itu menoleh dan langsung buru2 menghampiri mereka. Neneng menjelaskan awal mula keadaan. Langsung lelaki itu menggendong Maya,membawanya ke ruang kesehatan.
Neneng dan lelaki itu masih menunggu di samping Maya. Sudah setengah jam,tapi Maya belum sadarkan diri. Dan mereka sengaja tidak membangunkan Maya,karena menurut Arga-lelaki yang menggendong Maya,yang tidak lain adalah ustad di pondok tersebut-Maya pingsan karena kecapekan. Tapi entah capek jasmani atau rohani. Yang pasti,Maya butuh istirahat.
“sampai kapan kak,kita nunggu dia bangun? Bener nih nggak usah dibangunin?” Neneng melas menatap sahabatnya yang begitu pucat berbaring.
“Kita tunggu lima belas menit lagi,kalau dia belum sadarkan diri juga…” belum selesai bicara,mereka melihat jari tangan Maya bergerak. Kelopak matanya juga menandakan kalau dia mau melek.
“Alhamdulillah dia sadar. Sebentar,saya ambilkan air dulu.”
Maya membuka matanya dengan sempurna. Dia juga sudah bisa melihat sekelilingnya lengkap. Neneng dengan jilbab abu2nya tepat di sampingnya. Selain Neneng,semua terasa asing untuk Maya.
“Aku di mana neng?” Neneng menceritakan kejadian ketika Maya jatuh pingsan dan bagaimana dia bisa terbaring di sini. Selesai cerita,Arga datang membawa segelas air putih. Maya sekilas menatapnya,tek! Maya merasakannya,sesuatu di hatinya ketika memandang Arga barusan.
“Mbak,saya sudah menghubungi bagian kesehatan putri. Insya ALLAH mereka akan memindahkan temen mbak ini k ruang kesehatan putri.” Arga menyerahkan gelas itu ke Neneng,memintanya supaya membantu Maya minum air.
“Mbak,namanya siapa?”
“Maya.” Suaranya masih terdengar lemah.
“oh,mbak Maya sebentar lagi..”
“Nggak,saya mau pulang!”
“Tapi May,mustahil. Siapa yang mau nganter kita? Kamu nggak mungkin nyetir dalam keadaan kayak gini!”
Maya masih kukuh mau pulang. sebenarnya dia sadar badannya masih sangat lemas,kepalanya juga masih sakit. Tapi dia benar2 nggak mau ada di sini,karena wajah Arga terlalu indah untuk dinikmati. Maya takut jatuh cinta dengan cowok itu.
Akhirnya Maya ngotot berdiri,melipat selimut yang tadi dipakainya. “Lihat,aku sudah sehat kan?!” lalu menggandeng Neneng yang masih bingung melihat Maya yang tiba2 bangkit dari kasur. “Terima kasih atas bantuannya.” Dengan jutek Maya pamit dengan Arga. Dan Arga,dengan lembutnya malah tersenyum dan mengikuti mereka,mengantar mereka sampai gerbang pesantren,memastikan kalau Maya akan baik-baik saja.
Maya berjalan kesal,tapi di hatinya dia merasa tak mau beranjak dari tempat itu. Dia teringat mimpinya ketika ia pingsan tadi. Di mimpi itu,dia digendong oleh seorang lelaki,begitu wangi,lembut,tapi wajahnya tertutupi. Dan wangi itu masih membekas. Maya membuka gerbang sedikit,tapi tangannya kembali gemetaran,pusingnya kembali bertambah,kakinya lemas,dia jatuh lagi!! Tapi kali ini tidak pingsan,dia masih sadar,tapi dia tidak sanggup berdiri.
Arga yang melihat itu,langsung berlari menghampiri mereka. “Kalau memang mbak Maya bener2 mau pulang,biar saya antarkan,kebetulan saya bisa nyetir kok.” Sebenarnya Maya sudah mau menolak,tapi Neneng dengan semangat mengiyakan.
Dan di sinilah mereka sekarang,di dalam mobil,terjebak kemacetan malam kota. Maya duduk lemas bersandar di pundak Neneng. Matanya dia pejamkan,sebenarnya dia juga ingin memisahkan ruh dari jasadnya,tujuannya hanya satu,supaya dia bisa tidak melihat dan mendengar suara Arga. Tapi tidak bisa,matanya memang terpejam,tapi dia msih benar2 ada di dalam mobil itu,mendengar percakapan antara Arga dan Neneng yang mulai ngarol ngidul.
Arga,lulusan S1 FK UI,lulusan terbaik. Tapi setelah lulus,dia malah ingin mengabdikan semuanya ke kiainya. Jadilah ia ustad juga pakar kesehatan di pondok almadaniy. Padahal,banyak sudah rumah sakit yang meliriknya dan menawarkannya beasiswa spesialis dan langsung bisa kerja di rumah sakit tersebut dengan gaji yang tidak sedikit. Tapi Arga menolak semua,bismillah,dia ingin memperbaiki agamanya. Sampai situ,Arga bercerita tentang dirinya.
Dan Neneng mulai cerita tentang kehidupannya di sekolah,juga teman2nya dan tidak lupa rohis kebanggaannya.
“Tapi,kok Maya nggak kamu ajak pake hijab juga? Bukannya apa,sayang saja,Maya itu masya ALLAH,jadi sayang kalau malah jadi santapan laki-laki nakal.” Sampai situ aku terkejut! Siapa dia? Soknya perhatian sampai bilang begitu. Kenal juga baru. Tapi kenapa dia,dari kata-nya barusan sebegitu inginnya Maya pake hijab sperti Neneng? Maya semakin lemas. Hatinya makin dipenuhi bunga2 cinta.

***
sebulan berlalu dari kejadian pesantren itu. Maya berusaha dengan sepenuh hatinya untuk melupaka Arga. Tapi sayang,Neneng tidak mendukung,di setiap waktu dia malah asyik berkata, “Iya,kata kak Arga…” semua makin mengingatkannya pada Arga,sosok lelaki yang baru membuka hatinya kembali. Maya tidak pernah cerita apapun perihal perasaan itu pada Neneng. Dia ingin menyimpannya sendiri,untuknya,tidak untuk yang lain.
Pertanyaan Arga malam itu,perihal dirinya yang tidak berhijab,kini terngiang begitu jelas di pikirannya. Malam ini,Maya tidak henti2nya mondar mandir di kamarnya. Padahal besok,ujian terakhir menantinya. Tapi pikirannya terus dipenuhi pertanyaan,mampukah dia menghijabi diri juga hatinya? Makin lama mondar mandir,Maya makin tidak menemukan jawaban itu. Akhirnya dia memutuskan minta pendapat Neneng.
Maya mengambil handphonenya dan langsung menekan nomor hp Neneng. Setelah suara Neneng terdengar,Maya langsung menceritakan semuanya dan kemudian meminta pendapat. Jelas Neneng terdengar bahagia. Karena memang sebulan ini,setelah Arga menyuruhnya kembali mengajak Maya pakai hijab,Neneng sangat getol mengajak Maya pakai hijab. Neneng banyak menceritakan manfaat dan kegunaan menutupi aurot kita. Kata Neneng,untuk menghindari fitnah.
“Alhamdulillah may!! Kalau aku sih ya ngedukung banget. Tapi semua kembali lagi ke kamu. Gimana kemantapan kamu,dan yang paling penting niat kamu. Aku nggak mau kamu buru2 pakai hijab,cuma karena aku,atau karena orang lain mungkin.” Dan ada nada menggoda di balik kata2 Neneng terakhir.
Maya agak tersinggung. Tapi sudahlah,kini tinggal bagaimana dia membenahi niatnya. Memang tadi sebelum menelpon Neneng,Maya ingin cepat-cepat pakai hijab karena ia ingin menjawab pertanyaan Arga,dia sekedar ingin menunjukkan ke Arga,ini lho Maya!! Aku juga bisa pakai hijab!! Tapi kini,selesai menlpon Neneng,Maya tersadar. Ya,yang penting itu niat. Maya mulai duduk khudlu’,menata hati,menghilangkan sejenak ego kemanusiaannya,kesombongan insaninya. Biar semua yang ingin dia lakukan,semua hanya untukNya,Sang Kholiq.

***
“Mabruuuk!!” senyum Neneng langsung menyambutnya. Menyambut Maya yang baru,yang lebih anggun dan lebih islamiy. Sosoknya kini sempurna sudah sebagai seorang muslimah sejati. Langkah awal untuk lebih menghijabi hatinya. Jalan untuk bisa lebih dekat dengan Rabbnya. Semua menyambutnya dengan senyum hangat. Apalagi ujian akhir mereka sudah terlewati,tinggal menunggu hasil ujian.
“May,terus abis lulus SMA kamu mau lanjut di mana? Aku denger2 kabar,katanya kamu ditawarin beasiswa di Australia ya?”
Maya tersenyum tipis,dengan hijabnya,kini ia bisa lebih kalem dan lebih feminine dalam berbicara,juga perilakunya. “Iya,kemaren pak bambang udah kasih aku dokumen buat aku isi. Tapi kayaknya aku tolak deh.”
Neneng tersentak kaget, “Kenapa may? Kesempatan nggak datang dua kali lho.”
“Kamu bener,makanya aku milih nolak,karena kesempatan mendapat hidayah itu aku takut nggak akan datang lagi.”
“Maksud kamu?” Barulah Maya menceritakan semuanya. Pertama tentang kegalauannya dan keinginannya yang begitu kuat untuk mondok. Hanya satu yang dia ingin,ingin lebih baik dari sekarang. Lebih menjiwai sosok muslimnya. Dia tidak ingin cuma sebatas islam KTP. Makanya tadi,dia sudah mengembalikan semua dokumen-dokumen ke pak Bambang. Dan minggu depan,tanpa nunggu hasil ujian,Maya siap memulai kehidupan santrinya.
“Doanya aja Neng…”
***
Maya berjalan terburu-buru. Kata mbak-mbak pengurus, dek Naili dari tadi nangis dan nggak ada yang bisa diemin. Katanya dia terus manggil-manggil nama Maya. Makanya setelah sekolah diniyah,Maya langsung disuruh cepat ke rumah kiai. Maya membuka pintu ndalem bawah. Baru kali ini-selama dua bulan dia tinggal di pondok AlMadaniy-dia masuk ndalem lewat pintu utama.
Maya kaget,sosok lelaki berdiri tepat di depannya,sepertinya dia ingin keluar. Mungkin ini yang kata mbak-mbak putranya abah yang paling ganteng,gumam Maya dalam hati.
“Kamu Maya?” Maya hanya mengangguk sambil terus tertunduk. “Cepetan ke kamar Naili,dari tadi dia ngamuk nyari-nyari kamu!!”
Maya mengangguk dan langsung bergegas naik,tapi di tengah-tengah tangga,ada rasa penasaran menyusup ke hatinya,mendorongnya untuk menoleh ke bawah,berharap semoga bisa melihat gus Abid,yang tadi terkesan galak.
Maya berhenti sejenak dan memberanikan diri menoleh. Tanpa dia sangka,ternyata gus Abid juga sedang asyik memandanginya. Jadilah mereka sama-sama malu,wajah putih Maya langsung memerah. Dia segera menundukkan wajahnya dan melanjutkan jalannya naik ke kamar dek Naili. Abid lebih salah tingkah lagi,gelagapan ia melengos,sambil berdehem,lalu keluar.

***
semenjak itu,pikiran Abid terus dipenuhi wajah putih Maya dengan jilbab merah mudanya. Apalagi ketika wajah putih itu memerah,subhaanallah,,,betapa Allah menunjukkan kuasaNya dalam menciptakan manusia dengan sebagus-bagusnya bentuk.
Fuuuuuuuuuh…Abid menghela nafas untuk kesekian kalinya. teman yang juga santrinya,bingung mendapatinya seperti sangat bingung akhir2 ini.
“Gus,aku perhatikan semingguan ini seperti ada seseorang yang mengganggu pikiranmu. Nggak mau cerita neeh??”
Abid baru tersadar dari lamunannya. “Hah? Nggak juga kok. Siapa?”
temannya tertawa keras. “Bid,udahlah,kalau untuk masalah itu,anggap aku temanmu,aku juga akan menghilangkan gelar gusmu. Kita sama2 manusia,wajar kalau bayangan itu menghinggapi kita. Ayo cerita! Siapa tahu aku bisa Bantu.”
Abid merasa benar dengan kata-kata temannya barusan. Langsung dia menceritakan tentang sosok santri yang begitu full memenuhi pikirannya. Dan dia rasa,kini dia benar-benar telah jatuh cinta dengannya. Apalagi setelah dia cari-cari informasi tentang cewek ini,dia tidak menemukan kecuali yang baik tentang dia. Itu semakin mantap membuatnya ingin meminang perempuan ini.
“Gitu too…emang kalau boleh tahu siapa sih santri putri yang sudah bikin temen plus gusku ini ketar ketir kayak gini?”
“Afwan bro,aku belum ingin terlalu mempublikasikan secara detail. Nanti kalau sudah aku lamar dan dia ok,baru aku ceritakan semua tentang dia!”

***
Maya benar-benar capek. Dia habis mengantarkan salah seorang santri ke rumah sakit. Belum habis rasa capeknya,mbak Nita,kepala kesehatan putri meminta tolong Maya untuk mengantar titipan obat ke ruang kesehatan putra. Akhirnya dengan badan lemas,terik matahari yang begitu menyengat,Maya mengangkat dua plastik isi obat-obatan yang baru tadi dia beli.
Akhirnya sampai juga! Maya langsung mengetuk pintu. “Assalamu’alaikum.” Jawaban terdngar di dalam,tidak lama pintu terbuka. Bruuuk!!! Dua plastik lepas dari genggaman Maya. Pandangannya masih lekat di wajah di hadapannya ini. Wajah yang setia menemani pikirannya. Begitu juga dengan sosok di hadapannya,dia tidak jadi berkata-kata. Terpana juga melihat siapa perempuan di hadapannya. Lama…seakan waktu berhenti berputar.
“Astaghfirullah..” lirihan kecil dari mulut Arga mengakhiri aksi terpanaan mereka berdua. “Kamu Maya kan?”
Maya salah tingkah langsung mengambil kembali dua plastik yang tadi terjatuh. Kemudian tersenyum tipis. Lalu Arga menyuruhnya masuk. Maya langsung mengutarakan maksud kedatangannya ke situ.
“Tadi mbak Nita nyuruh aku nganter ini. Katanya kesehatn putra lagi butuh banyak obat2an.” Arga langsung sibuk mengecek obat-obatan yang dibawa Maya. Dia menyuruh Maya untuk menunggu sejenak,karena ia harus mencatat semuany,kemudian menyalinnya dan meminta Maya untuk memberikannya ke nita.
Di tengah2 sibuk mencatat,Arga masih sempat mengajak Maya ngobrol. Tapi Maya hanya menjwab seadanya,dia lebih memilih diam. Dia takut perasaan itu terlhat. Tapi Arga tidak henti-hentinya bertanya. Kapan dia mulai pakai hijab? Kapan dia mulai jadi santri di sini? Apa yang bikin dia akhirnya mau mondok? Dan banyak lagi. Dan Maya dengan sabar menjawabi semua pertanyaan.
Pencatatan selesai. Arga langsung menyerahkan dokumen untuk nita. “Syukron udah sabar nunggu.” Lagi-lagi Maya hanya tersenyum lembut kemudian pamit keluar. Dan senyum itu,,,masih tertinggal di hati Arga. Mengembalikan bayangan senyumnya yang dulu.

***
“May,dipanggil ke ndalem.” Maya yang lagi asyik muthola’ah,langsung menaruh kitabnya dan membenarkan jilbabnya. ‘Tumben dek Naili jam segini manggil aku?’
Maya memasuki ndalem dari pintu belakang. Baru hendak menaiki tangga,ummi memanggilnya. “Maya,ke sini nak!”
“Iya ummi,ada apa? Katanya dek Naili manggil saya ya mi’?
“Bukan Naili yang panggil kamu,tapi umi.” Maya agak kaget. Tumben ummi ada perlu sama dirinya.
Setelah Maya duduk,ummi menceritakan sedikit tentang sosok Abid ke Maya. Maya agak bingung,ada apa ini,kok dipanggil hanya untuk cerita gus Abid dari kecil. Ada sedkit kecurigaan menyusup ke hati Maya. Sampai pada akhir cerita,ummi meminta sesuatu yang tidak enak bagi Maya untk menolak. “Kamu mau nak,kalau umi jodohin sama Abid?”
Kecurigaan Maya terjawab. Umi melanjutkan, “Baru kali ini Abid minta dilamarin seorang perempuan. Padahal umi dan abah sudah dari dulu ngasih dia pilihan permpuan-perempuan,tapi dia selalu bilang nggak sreg. Makanya ketika sekarang dia minta kamu,umi langsung mengiyakan. Karena umi tahu kamu juga anak baik. Gimana?”
Maya terdiam. Tidak mungkin juga dia langsung bilang iya,apalgi bilang tidak. Dan umi juga menangkap arti dari diamnya Maya. Umi juga tidak memaksa Maya menerima. Umi menyarankan Maya musyawarah dengan keluarganya dan tidak lupa istikhoroh,karena ini bukan untuk main-main.

***
Akad pernikahan sudah berlalu. Maya masih belum bisa menghilangkan sisa-sisa tangisnya. Kini rasa bercampur di hatinya. Sedih,sakit,juga senang,tapi hanya sedikit. Dia mengingat tadi ketika di masjid,setelah ijab qobul,semua asaatidz menghampiri Abid,mengucapkan selamat. Dan lelaki yang pernah dia cintai-pun sampai saat ini-orang yang paling lama berbincang dengan Abid. Sebenarnya Maya tidak berani menatapnya,tapi beberapa kali Maya meliriknya,Maya selalu mendapati kedua mata Arga sedang menatapnya dengan tatapan pilu. Dari situ Maya tahu,Arga juga merasakan seperti yang dia rasakan!!!
Tapi kenapa baru sekarang dia mendapati rasa itu? Kenapa malah di saat-saat seperti ini dia menyadari bahwa di hati mereka,ada cinta yang begitu kuat? Kenapa setelah dia sudh menjadi milik Abid,dia baru tahu Arga menyimpan rasa untuknya,sehingga menumbuhkan kembali rasa di hatinya? Allahummaghfirlii…

***
tiga bulan sudah Maya menjalani kehidupan barunya,menjadi istri seorang gus Abid. Gus idola para santri putri. Ada sedikit bangga juga bisa bersanding dengannya. Apalagi Abid yang sangat baiiik kepada permpuan. Dia begitu menjunjung hak-hak perempuan,tapi tanpa membuatnya lupa akan hakikatnya. Maya berhasil menghapus rasa yang sempat menyakitkannya ketika awal2 masa pernikahannya. Dia hampir menceritakan semua pada suaminya,dan memintanya untuk mengerti sehingga mau melepasnya dan merelakannya. Tapi alhamdulillah,berkat kesabaran Abid,semua berhasil dia lewati. Sampai saat itu…
“Yang,aku tuh bingung sama Arga. Sampai sekarang kok dia masih betah ngejomblo gitu ya?”
Maya tidak berani komentar apa-apa. Dia takut salah ngomong.
“Eh yang,gimana kalau kta jodohin aja sama Fitri? Dia kan sebentar lagi selsai mondoknya? Gimana menurut kamu?”
Maya serasa tidak percaya dengan apa yang barusan dia dengar. Memang,dia sekarang sudah berhasil melupakan Arga,tapi kalau nanti harus jadi saudara seipar,tinggal satu lingkungan,pasti rasa itu akan muncul lagi,malah mungkin akan semakin menjadi-jadi. Tidak rela melihatnya dengan orang lain. ‘astaghfirullah…aku ini sudah jadi istri orang.’
Baru tersadar dari naza’ pikirannya,Maya sudah mendapati kamarnya kosong. Sepertinya Abid langsung mau matur ke abah uminya untuk menawarkan Arga,sahabatnya.
***
semua berjalan begitu cepat. Abah umi yang langsung setuju dengan usulan Abid menjodohkan Fitri dengan Arga. Abid yang kemudian menawarkan Arga tentang usulannya. Dan Arga yang dengan lugas menjawab, “Sam’an wa tha’atan.”
Dan kini,Maya sibuk menyiapkan pakaian suaminya. Kebetulan Abid ada acara di beberapa tempat di jawa tngah. Sekalian dia ingin ke pesantren Fitri,memboyongkannya sekaligus mengabari perihal perjodohannya dengan Arga.
“Emang mas yakin Fitri bisa suka dnegan Arga?”
“Aku belum cerita ke kamu ya yang? Dulu itu Fitri sempet naksir lho sama Arga. Lagian cewek mana sih yang nggak akan terpincut sama Arga,dokter gagah nan ganteng gitu,ya kan?” kata2 itu langsung menembak dalam hati Maya. ‘ya…sampai akupun masih tertahan olehnya…’
semua barang sudah siap. Koper dimasukkan ke mobil. Maya tidak bisa ikut mengantar ke bandara. Badannya lemas. Mungkin terkuras pikirannya menyiapkan lahir bathin menerima Arga da Fitri.
“Yang,I love u.” Maya hanya tersenyum tipis. Setelah mencium kening istrinya,dengan senyum yang paling manis,Abid meninggalkan rumah.
***
Maya tidak bisa tidur. Bayangannya entah pergi ke mana?? Hatinya masih dipenuhi ketakutan. Bagaimana ini?? Dia merasa Argalah penyebab kegalauan ini. Maya mondar mandir,tidak tahu apa yang mau dia lakukan. Akhirnya ia memilih menulis surat untuk Arga. Mengungkapkan semua,,,tentang perasaannya,juga tentang kerelaannya kini…melepaskan dia bersama Fitri.
Surat sudah jadi. Baru selesai melipat,pintu diketok. Spontan Maya menyelipkan surat di tumpukan buku di atas meja. Maya membuka pintu. Didapatinya umi sudah berbalut jilbab. ‘ada apa ini,malam2 begini umi ke sini?’
“May,yang sabar ya may. Abid…suamimu…”
Maya setia menemani umi yang masih menangis dari tadi. Mereka menunggu jenazah Abid datang. Katanya sekarang sudah di perjalanan dari bandara ke rumah. Mungkin sebentar lagi sampai.
Abid meninggal tabrak lari di depan pesantren tempat Fitri mondok. Setelah memboyongkan Fitri dan megabarinya tentang perjodohan itu,ketika Abid hendak mnyebrang,sepeda motor kencang menabraknya. Seketika dia meninggal. Tapi sebelumnya,dua nama yang digumami Abid,’Maya…Arga…’
***

dua bulan setelah itu…
Semua sudah kembali beraktifitas. Hanya ndalem yang masih sedikit diselimuti duka. Maya masih agak shock kehilangan suaminya. Walaupun dia belum bisa mencintainya dengan sepenuh hati,tapi baginya,Abid sosok yang memukau. Smpurna sebagai seorang suami. Begitu juga dengan Fitri,ia merasa sangat kehilangan kakak tercintanya. Apalagi sebentar lagi dia akan menikah dengan sahabat almarhum kakaknya itu.
“Mbak,aku mau tidur di sini bentar nggak apa-apa kan?” siang itu tiba2 Fitri datang ke kamar Maya.
“Masuk aja fit. Tapi mbak mau ke bawah dulu yah,mau Bantu umi masak.” Fitri masuk,memandang sekeliling kamar itu. Kamar yang pernah ditempati almarhum kak Abid. Fitri msih mendapati aroma khas kak Abid. Diapun tidak jadi tidur,malah sibuk memerhatikan sudut ruangan. Dia duduk di meja baca kak abid. Membuka kitab2 dan buku di atasnya. Dan terjatuhlah selembar kertas…

***

“Fitri di kamarmu nak?” Tanya umi setelah selesai memasak.
“Iya mi’,katanya dia mau tidur sebentar. Oya mi,terus jadinya akad nikah Fitri di sini atau di mana?”
“Arga sih mintanya di sini,terus abah yang akadin. Tapi kalau nunggu abah punya waktu ya mungkin sekitar minggu depan.”
Maya mengangguk. Sebenarnya dia belum begitu bisa menerima. Tapi ya sudahlah,,mungkin ini memang sudah jalannya.

***



bismillahirrahmanirrahiim
kak Arga,yang mudah2an selalu dalam lindungan dan limpahan rahmatNya..amien

sebelumnya aku minta maaf atas kelancangan surat ini. aku juga sadar siapa aku,dan tidak sepantasnya untukku sekarang menulis surat untuk kak Arga,juga untuk lelaki manapun. Tapi,hati ini yang mendorong tangan untuk menulis,memaksa otak untuk berpikir merangkai kata2 untuk sang pujaan hati.
Kak Arga,surat ini,saksi bahwa dulu dan sampai sekarang ternyata aku mencintai kak Arga,dengan sepenuh hati,sejak pertama kak Arga membopongku. Sampai saat ini,wangi tubuh kak Arga seakan masih melekat di hidungku. Sampai saat ini,bayangan kak Arga msih terus menemaniku. Tapi aku sadar,kini aku sudah menjadi milik orang lain,tidak sepantasnya aku masih menyimpan rasa itu. Insya ALLAH,aku akan berusaha membuangnya,dan wallahi,aku rela melepas. Aku rela melihat kak Arga dengan perempuan lain…seperti relanya kak Arga ketika melihat aku di samping mas Abid.

Aku,yang berusaha berhenti mencintaimu
***
Maya terus membuka halaman demi halaman semua buku di atas meja. Tapi nihil,surat itu belum juga ketemu. Sebenarnya dari kemarin Maya sudah mau membakar surat itu,tapi Fitri seakan terus ingin di sampingnya. Setiap waktu Fitri selalu main di kamarnya. Sehingga membuat Maya lupa akan hal yang satu itu.
‘jangan sampai ada orang yang baca surat itu!! Di mana yaa?’ Maya menggumam sambil terus sibuk mencari.
Kreeek…pintu dibuka. Maya tersentak kaget. Dia langsung pura-pura sibuk beres-beres.
“Eh,kamu fit. Ada apa?”
“Cuma mau kasih kabar kak,lusa jam8 pagi akadnya.” Fitri tidak masuk. Hanya berdiri di pintu.
Maya langsung menghampiri mengucpkan selamat. Dia memeluk Fitri,kemudian menangis. Fitri membalas pelukannya,semakin erat memeluk. Mereka sama-sama menangis. “Kak,lusa,dandan yang cantik ya!!” Maya mengangguk kecil.
***
Maya menatap sekali lagi dandanannya di depan kaca. Sudah cukup. Dia tidak mau terlihat terlalu mewah atau heboh dandan. Tiba-tiba Fitri dan umi masuk. Maya kaget melihat Fitri yang dandanannya sangat sangat biasa.
“Lho fit,sebentar lagi kan acaranya? kok?”
“Nak,umi mau bicara. Duduk dulu yuk!” umi dan Maya duduk di kasur. Fitri ikut duduk di bawah kaki uminya.
Umi menyerahkan secarik kertas pada Maya. Maya kaget menerimanya. Surat itu…
“Fitri sudah baca semua mbak. Fitri terharu. Makanya Fitri langsung memutuskan untuk matur dan cerita semua ke abah umi. Fitri mau,mbak Maya sama kak Arga…”
Maya hampir tidak percaya dengan apa yang dikatakan Fitri. Maya menatap umi,mencari jawaban dari beliau.
“Umi dan abah juga sudah terserah Maya. Apalagi kata Fitri,dua nama terakhir yang disebut Abid itu,nama kamu sama Arga. Gimana nak?”
Maya menangis terharu. Dia langsung jatuh di pangkuan ummi. Umi menghelai lembut rambutnya. Semoga ini yang terakhir…

***
pesantren AlMadaniy kembali tersenyum. Bahagia kembali menghampiri. Semua seakan ikut merasakan aura cinta dua insan yang begitu besar. Cinta yang tersimpan,kini bisa bersatu dalam ikatan suci nan halal. Semua ikut menjadi saksi,pun ruh Abid,yang sudah tenang di alam sana,ikut merasakan kebahagiaan perempuan yang dicintainya.
“Ankahtuka wazawwajtuka Mezz Maya binti Abdullah bimahrin madzkuurin,haalan.”
“Qabiltu nikahaha wa tazwiijaha bimahrin madzkurin haalan…”


the end


dikutip dari : http://cerpen.net/Cerpen-islami/tabir-takdir-cinta.html
read more “tabir takdir cinta”

kisah kucing kecil


Sepasang suami istri, berjalan kaki bersama sambil tertawa dan bercanda ria. Dari kejauhan, mereka melihat ada dua ekor kucing tengah berjalan beriringan. Ibu kucing dan anaknya yang masih kecil. Si kucing kecil berjalan di belakang, mengikuti ibunya. Sangat lucu. “Wha, lihat mas.., ada kucing kecil lagi sama ibunya…” ujar sang istri dengan gembira sambil menunjuk dua ekor kucing yang terlihat dari kejauhan. Saat sudah dekat dengan kucing-kucing itu, mereka menyapa, “Hai…Puss…Puss….” Si kucing kecil terlihat berlari riang, dan bercanda dengan ibunya. Ia meloncat kian kemari dan hendak menyeberang jalan raya. Sebuah sepeda motor melintas melewati jalan itu. “Aduh….awas Puss!... nanti ketabrak lho..” ujar sang istri pada si kucing kecil. “Alhamdulillah tidak kena…” Seru mereka berdua. “Hati-hati Puss….,, jangan nyebrang-nyebrang lagi ya.” Mereka menyapa dengan melambai-lambaikan tangan pada si kucing kecil. Kucing kecil itu menatap pada dua manusia di hadapannya. “Alhamdulillah ya kucingnya tidak tertabrak…” ujar istri pada suaminya sambil tertawa senang. Mereka melanjutkan perjalanan. Si kucing kecil kembali ke pinggir jalan dan berjalan di belakang ibunya sambil sesekali mengajak bercanda sang ibu. Si kucing kecil berlari ke tengah jalan…Ah… kucing itu tidak akan tertabrak, bukankah dia kucing yang gesit, pikir sang istri. Dari kejauhan, sebuah motor melaju dengan kencang. Sambil tetap berjalan, ekor mata suami dan istri tersebut tetap memperhatikan gerak si kucing kecil. Tapi, perkiraan mereka salah. “Awas…” seru mereka dalam hati. “KREEKK!!” Kejadian itu begitu cepat. Sepeda motor itu tepat menabrak dan menggilas si kucing kecil yang tengah berlari menyebrang ke tengah jalan. “Kucingnya tertabrak!!!...” Kedua insane itu terperanjat. Badan si kucing kecil gemetar dan kepalanya yang semula tegak, terkulai perlahan ke aspal jalan raya. “Puss…!”

Kucing kecil yang beberapa detik lalu sangat riang, tiba-tiba kini terkulai tak bergera. Ah…., Puss… Dan ibu kucing kecil itu sendirian. Tak ada lagi anak yang menemani perjalanan. Senyum dan tawa suami istri itu hilang seketika. Terdiam. Menjadi teringat diri. Dunia menjadi kecil. Ingin segera bertaubat. Sujud. Bisa saja, saat sedang tertawa bercanda, ternyata sedetik algi diri ini dicabut nyawa oleh Malaikat Izrail. Persis seperti kucing itu. Begitu mudahnya Ia mencabut nyawa makhluk-Nya dan begitu indah serta halus cara Ia memberikan teguran, peringatan, kepada hamba-hamba-Nya. Melalui seekor kucing. Sambil terus menyusuri jalan, terngiang sabda Rasulullah SAW bersabda yang maksudnya, “Bahwa malaikat maut memperhatikan wajah manusia di muka bumi ini 70 kali dlaam sehari. Ketika Izrail datang melihat wajah seseorang, didapati orang itu ada yang masih tertawa. Maka berkata Izrail, “Alangkah herannya aku melihat orang ini sedangkan aku diutus oleh Allah Ta’ala untuk mencabut nyawanya tertapi dia masih bergelak tawa.”

Dan juga dalam hadist lainnya, Rasulullah SAW bersabda, “Jika kamu mengetahui apa yang aku ketahui, niscaya kamu akan sedikit tertawa dan pasti akan banyak menangis, pasti kamu tidak akan bersenang-senang dengan istri kamu diatas kasur dan pasti kamu akan keluar dari rumahmu menuju tanah lapang sambil menjerit-jerit karena takut kepada Allah.”

Lama…,aku bersimpuh di hadapan-Mu…

Begitu khusyu Tak tahan jua air mataku mengalir tanda penyesalanku

Kini aku sadari begitu banyak dosa mematri Akankah hamba layak dipuji

Sedangkan diri kecil tak berarti

Besar rahmat-Mu penuh dengan ampunan…

Namun kumalu karena hati telah lalai

Kekal azab-Mu penguasa seluruh alam

Tersujud aku memohon keridhoan


Allah…Ya Allah…

Kau Pengasih, Kau Penyayang

Allah… Ya Allah…

Kau Pelindung, Kau Pengampun

Pada-Mu Ya Allah kami serahkan

Segala ujian, karunia-Mu

Kuatkanlah iman dan kesabaran

Berikan ampunan dalam hidupku Ya

Allah….


dikutip dari : cahaya hikmah, edisi 24/2008

cermin yang terlupakan



Pada suatu ketika, sepasang suami, istri, katakanlah mereka Smith, mengadakan “garage sale” untuk menjual barang-barang bekas yang tidak mereka butuhkan lagi. Suami istri ini sudah setengah baya, dan anak-anak mereka telah meninggalkan rumah untuk hidup mandiri. Sekarang waktunya untuk membenahi rumah, dan menjual barang-barang yang tidak dibutuhkan lagi. Saat mengumpulkan barang-barang yang akan dijual, mereka menemukan benda-benda yang sudah sekian lama tersimpan di gudang. Salah satu diantaranya adalah sebuah cermin yang mereka dapatkan sebagai hadiah pernikahan mereka, dua puluh tahun yang lampau. Sejak pertama kali diperoleh, cermin itu sama sekali tidak pernah digunakan. Bingkainya yang berwarna biru aqua membuat cermin itu tampak buruk, dan tidak cocok untuk diletakkan di ruangan mana pun di rumah mereka. Namun karena tidak ingin menyakiti orang yang menghadiahkannya, cermin itu tidak mereka kembalikan. Demikianlah, cermin itu teronggok di loteng. Setelah dua puluh tahun berlalu, mereka berpikir orang yang memberikannya tentu sudah lupa dengan cermin itu. Maka mereka mengeluarkan dari gudang, dan meletakkannya bersama barang lain untuk dijual keesokan hari. Garage sale mereka ternyata mendapat banyak peminat. Halaman rumah mereka penuh oleh orang-orang yang datang untuk melihat barang bekas yang mereka jual. Satu per satu barang bekas itu mulai terjual. Perabot rumah tangga, buku-buku, pakaian, alat berkebun, mainan anak-anak, bahkan radio tua yang sudah tidak berfungsi pun masih ada yang membeli. Seorang lelaki menghampiri Mrs. Sminth. “Berapa harga cermin itu?” katanya sambil menunjuk cermin tak terpakai tadi. Mrs. Smith tercengang. “Wah, saya sendiri tidak berharap akan menjual cermin itu. Apakah anda sungguh ingin membelinya?” katanya. “Ya, tentu saja. Kondisinya masih sangat bagus.” Jawab pria itu. Mrs. Smith tidak tahu berapa harga yang pantas untuk cermin jelek itu. Meskipun sangat mulus, namun baginya cermin itu tetaplah jelek dna tidak berharga. Setelah dipikir sejenak, Mrs. Smith berkata, “Hmm… anda bisa membeli cermin itu untuk satu dolar.” Dengan wajah berseri-seri, pria tadi mengeluarkan dompetnya, menarik selembar uang satu dolar dan memberikannya kepada Mrs. Smith. “Terimakasih,” Kata Mrs. Smith, “Sekarang cermin itu jadi milik anda. Apakah perlu dibungkus?” “Oh, jika boleh, saya ingin memeriksanya sebelum saya bawa pulang.” Jawab si pembeli. Mrs. Smith memberikan ijinnya, dan pria itu bergegas mengambil cerminnya dan meletakkannya di atas meja di depan Mrs. Smith. Dia mulai mengupas pinggiran bingkai cermin itu. Dengan satu tarikan dia melepaskan lapisan pelindungnya dan muncullah warna keemasan dibaliknya. Bingkai cermin itu ternyata bercat emas yang snagat indah, dan warna biru aqua yang selama ini menutupinya hanyalah warna dari lapisan pelindung bingkai itu! “Ya, tepat seperti yang saya duga! Terima kasih!”sorak pria itu dengan gembira. Mrs. Smith tidak bisa berkata-kata menyaksikan cermin indah itu dibawa pergi oleh pemilik barunya, untuk mendapatkan tempat yang lebih pantas daripada loteng rumah yang sempit dan berdebu. Kisah ini menggambarkan bagaimana kita melihat hidup kita. Terkadang kita merasa hidup kita membosankan, tidak seindah yang kita inginkan. Kita melihat hidup kita berupa rangkaian rutinitas yang harus kita jalani. Bangun pagi, pergi bekerja, pulang sore, tidur Bangun pagi, pergi bekerja, pulang sore, tidur.itu saja yang kita jalani setiap hari. Sama halnya dengan Mr. dan Mrs. Smith yang hanya melihat plastik pelapis dari bingkai cermin mereka, sehingga mereka merasa cermin itu jelek dan tidak cocok digantung di dinding. Padahal di balik lapisan itu, ada warna emas yang indah. Padahal di balik rutinitas hidup kita, ada banayk hal yang dapat memperkaya hidup kita. Setiap saat yang kita lewati, hanya bisa kita alami satu kali seumur hidup kita. Setiap detik yang kita jalani, hanya berlaku satu kali dalam hidup kita. Setiap detik adalah pemberian baru dari Tuhan untuk kita. Akankah kita menyianyiakannya dengan terpaku pada rutinitas? Akankah kita membiarkan waktu berlalu dengan merasa hidup kita tidak seperti yang kita inginkan? Setelah dua puluh tahun, dan setelah terlambat, barulah Mrs. Smith menyadari nilai sesungguhnya dari nilai tersebut. Inginkah kita menyadari keindahan hidup kita setelah segalanya terlambat? Tentu tidak. Sebab itu, marilah kita mulai mengikis pandangan kita bahwa hidup hanaylah rutinitas belaka. Mari kita mulai mengelupas rutinitas tersebut dan menemukan nilai sesungguhnya dari hidup kita. Marilah kita mulai menjelajah hidup kita, menemukan hal-hal baru, belajar lebih banyak, mengaenal orang lebih baik. Mari kita melakukan sesuatu yang baru. Mari kita membuat perbedaan! Dengan sesuatu semangat baru untuk menjalani hidup lebih baik setiap hari.


dikutip dari :cahaya hikmah, edisi 28/ maret 2009

cinta laki-laki biasa





Menjelang hari H, Nania masih saja sulit mengungkapkan alasan kenapa dia mau menikah dengan lelaki itu. Baru setelah menengok ke belakang, hari-hari yang dilalui, gadis cantik itu sadar, keheranan yang terjadi bukan semata miliknya, melainkan menjadi milik banyak orang; Papa dan Mama, kakak-kakak, tetangga, dan teman-teman Nania. Mereka ternyata sama herannya.

Kenapa? Tanya mereka di hari Nania mengantarkan surat undangan.

Saat itu teman-teman baik Nania sedang duduk di kantin menikmati hari-hari sidang yang baru saja berlalu. Suasana sore di kampus sepi.Berpasang-pasang mata tertuju pada gadis itu.

Tiba-tiba saja pipi Nania bersemu merah, lalu matanya berpijar bagaikan lampu neon limabelas watt. Hatinya sibuk merangkai kata-kata yg barangkali beterbangan di otak melebihi kapasitas. Mulut Nania terbuka. Semua menunggu. Tapi tak ada apapun yang keluar dari sana. Ia hanya menarik nafas, mencoba bicara dan? menyadari, dia tak punya kata-kata!

Dulu gadis berwajah indo itu mengira punya banyak jawaban, alasan detil dan spesifik, kenapa bersedia menikah dengan laki-laki itu. Tapi kejadian di kampus adalah kali kedua Nania yang pintar berbicara mendadak gagap.Yang pertama terjadi tiga bulan lalu saat Nania menyampaikan keinginan Rafli untuk melamarnya. Arisan keluarga Nania dianggap momen yang tepat karena semua berkumpul, bahkan hingga generasi ketiga, sebab kakak-kakaknya yang sudah berkeluarga membawa serta buntut mereka.

Kamu pasti bercanda!

Nania kaget. Tapi melihat senyum yang tersungging di wajah kakak tertua, disusul senyum serupa dari kakak nomor dua, tiga, dan terakhir dari Papa dan Mama membuat Nania menyimpulkan: mereka serius ketika mengira Nania bercanda.

Suasana sekonyong-konyong hening. Bahkan keponakan-keponakan Nania yang balita melongo dengan gigi-gigi mereka yang ompong. Semua menatap Nania!

Nania serius! tegasnya sambil menebak-nebak, apa lucunya jika Rafli memang melamarnya.

Tidak ada yang lucu, suara Papa tegas, Papa hanya tidak mengira Rafli berani melamar anak Papa yang paling cantik!

Nania tersenyum. Sedikit lega karena kalimat Papa barusan adalah pertanda baik. Perkiraan Nania tidak sepenuhnya benar sebab setelah itu berpasang-pasang mata kembali menghujaninya, seperti tatapan mata penuh selidik seisi ruang pengadilan pada tertuduh yang duduk layaknya pesakitan.

Tapi Nania tidak serius dengan Rafli, kan? Mama mengambil inisiatif bicara, masih seperti biasa dengan nada penuh wibawa, maksud Mama siapa saja boleh datang melamar siapapun, tapi jawabannya tidak harus iya, toh?

Nania terkesima.

Kenapa?

Sebab kamu gadis Papa yang paling cantik.

Sebab kamu paling berprestasi dibandingkan kami. Mulai dari ajang busana, sampai lomba beladiri. Kamu juga juara debat bahasa Inggris, juara baca puisi seprovinsi. Suaramu bagus!

Sebab masa depanmu cerah. Sebentar lagi kamu meraih gelar insinyur.Bakatmu yang lain pun luar biasa. Nania sayang, kamu bisa mendapatkan laki-laki manapun yang kamu mau!

Nania memandangi mereka, orang-orang yang amat dia kasihi, Papa, kakak-kakak, dan terakhir Mama. Takjub dengan rentetan panjang uraian mereka atau satu kata 'kenapa' yang barusan Nania lontarkan.

Nania Cuma mau Rafli, sahutnya pendek dengan airmata mengambang di kelopak.

Hari itu dia tahu, keluarganya bukan sekadar tidak suka, melainkan sangat tidak menyukai Rafli. Ketidaksukaan yang mencapai stadium empat. Parah.

Tapi kenapa?

Sebab Rafli cuma laki-laki biasa, dari keluarga biasa, dengan pendidikan biasa, berpenampilan biasa, dengan pekerjaan dan gaji yg amat sangat biasa.

Bergantian tiga saudara tua Nania mencoba membuka matanya.

Tak ada yang bisa dilihat pada dia, Nania!

Cukup!

Nania menjadi marah. Tidak pada tempatnya ukuran-ukuran duniawi menjadi parameter kebaikan seseorang menjadi manusia. Di mana iman, di mana tawakkal hingga begitu mudah menentukan masa depan seseorang dengan melihat pencapaiannya hari ini?

Sayangnya Nania lagi-lagi gagal membuka mulut dan membela Rafli. Barangkali karena Nania memang tidak tahu bagaimana harus membelanya. Gadis itu tak punya fakta dan data konkret yang bisa membuat Rafli tampak 'luar biasa'. Nania Cuma punya idealisme berdasarkan perasaan yang telah menuntun Nania menapaki hidup hingga umur duapuluh tiga. Dan nalurinya menerima Rafli. Di sampingnya Nania bahagia.

Mereka akhirnya menikah.

***

Setahun pernikahan.

Orang-orang masih sering menanyakan hal itu, masih sering berbisik-bisik di belakang Nania, apa sebenarnya yang dia lihat dari Rafli. Jeleknya, Nania masih belum mampu juga menjelaskan kelebihan-kelebihan Rafli agar tampak di mata mereka.

Nania hanya merasakan cinta begitu besar dari Rafli, begitu besar hingga Nania bisa merasakannya hanya dari sentuhan tangan, tatapan mata, atau cara dia meladeni Nania. Hal-hal sederhana yang membuat perempuan itu sangat bahagia.

Tidak ada lelaki yang bisa mencintai sebesar cinta Rafli pada Nania.

Nada suara Nania tegas, mantap, tanpa keraguan.

Ketiga saudara Nania hanya memandang lekat, mata mereka terlihat tak percaya.

Nia, siapapun akan mudah mencintai gadis secantikmu! Kamu adik kami yang tak hanya cantik, tapi juga pintar! Betul. Kamu adik kami yang cantik, pintar, dan punya kehidupan sukses!

Nania merasa lidahnya kelu. Hatinya siap memprotes. Dan kali ini dilakukannya sungguh-sungguh. Mereka tak boleh meremehkan Rafli.

Beberapa lama keempat adik dan kakak itu beradu argumen.

Tapi Rafli juga tidak jelek, Kak!
Betul. Tapi dia juga tidak ganteng kan?

Rafli juga pintar!
Tidak sepintarmu, Nania.

Rafli juga sukses, pekerjaannya lumayan.
Hanya lumayan, Nania. Bukan sukses. Tidak sepertimu.

Seolah tak ada apapun yang bisa meyakinkan kakak-kakaknya, bahwa adik mereka beruntung mendapatkan suami seperti Rafli. Lagi-lagi percuma.

Lihat hidupmu, Nania. Lalu lihat Rafli! Kamu sukses, mapan, kamu bahkan tidak perlu lelaki untuk menghidupimu.

Teganya kakak-kakak Nania mengatakan itu semua. Padahal adik mereka sudah menikah dan sebentar lagi punya anak.

Ketika lima tahun pernikahan berlalu, ocehan itu tak juga berhenti. Padahal Nania dan Rafli sudah memiliki dua orang anak, satu lelaki dan satu perempuan. Keduanya menggemaskan. Rafli bekerja lebih rajin setelah mereka memiliki anak-anak. Padahal itu tidak perlu sebab gaji Nania lebih dari cukup untuk hidup senang. Tak apa, kata lelaki itu, ketika Nania memintanya untuk tidak terlalu memforsir diri. Gaji Nania cukup, maksud Nania jika digabungkan dengan gaji Abang.

Nania tak bermaksud menyinggung hati lelaki itu. Tapi dia tak perlu khawatir sebab suaminya yang berjiwa besar selalu bisa menangkap hanya maksud baik..

Sebaiknya Nania tabungkan saja, untuk jaga-jaga. Ya? Lalu dia mengelus pipi Nania dan mendaratkan kecupan lembut. Saat itu sesuatu seperti kejutan listrik menyentakkan otak dan membuat pikiran Nania cerah.

Inilah hidup yang diimpikan banyak orang. Bahagia!

Pertanyaan kenapa dia menikahi laki-laki biasa, dari keluarga biasa, dengan pendidikan biasa, berpenampilan biasa, dengan pekerjaan dan gaji yang amat sangat biasa, tak lagi mengusik perasaan Nania. Sebab ketika bahagia, alasan-alasan menjadi tidak penting.

Menginjak tahun ketujuh pernikahan, posisi Nania di kantor semakin gemilang, uang mengalir begitu mudah, rumah Nania besar, anak-anak pintar dan lucu, dan Nania memiliki suami terbaik di dunia. Hidup perempuan itu berada di puncak!

Bisik-bisik masih terdengar, setiap Nania dan Rafli melintas dan bergandengan mesra. Bisik orang-orang di kantor, bisik tetangga kanan dan kiri, bisik saudara-saudara Nania, bisik Papa dan Mama.

Sungguh beruntung suaminya. Istrinya cantik.
Cantik ya? dan kaya!

Tak imbang!

Dulu bisik-bisik itu membuatnya frustrasi. Sekarang pun masih, tapi Nania belajar untuk bersikap cuek tidak peduli. Toh dia hidup dengan perasaan bahagia yang kian membukit dari hari ke hari.

Tahun kesepuluh pernikahan, hidup Nania masih belum bergeser dari puncak. Anak-anak semakin besar. Nania mengandung yang ketiga. Selama kurun waktu itu, tak sekalipun Rafli melukai hati Nania, atau membuat Nania menangis.

Bayi yang dikandung Nania tidak juga mau keluar. Sudah lewat dua minggu dari waktunya.

Plasenta kamu sudah berbintik-bintik. Sudah tua, Nania. Harus segera dikeluarkan!

Mula-mula dokter kandungan langganan Nania memasukkan sejenis obat ke dalam rahim Nania. Obat itu akan menimbulkan kontraksi hebat hingga perempuan itu merasakan sakit yang teramat sangat. Jika semuanya normal, hanya dalam hitungan jam, mereka akan segera melihat si kecil.

Rafli tidak beranjak dari sisi tempat tidur Nania di rumah sakit. Hanya waktu-waktu shalat lelaki itu meninggalkannya sebentar ke kamar mandi, dan menunaikan shalat di sisi tempat tidur. Sementara kakak-kakak serta orangtua Nania belum satu pun yang datang.

Anehnya, meski obat kedua sudah dimasukkan, delapan jam setelah obat pertama, Nania tak menunjukkan tanda-tanda akan melahirkan. Rasa sakit dan melilit sudah dirasakan Nania per lima menit, lalu tiga menit. Tapi pembukaan berjalan lambat sekali.

Baru pembukaan satu.
Belum ada perubahan, Bu.
Sudah bertambah sedikit, kata seorang suster empat jam kemudian menyemaikan harapan.

Sekarang pembukaan satu lebih sedikit. Nania dan Rafli berpandangan. Mereka sepakat suster terakhir yang memeriksa memiliki sense of humor yang tinggi.

Tigapuluh jam berlalu. Nania baru pembukaan dua. Ketika pembukaan pecah, didahului keluarnya darah, mereka terlonjak bahagia sebab dulu-dulu kelahiran akan mengikuti setelah ketuban pecah. Perkiraan mereka meleset.

Masih pembukaan dua, Pak!
Rafli tercengang. Cemas. Nania tak bisa menghibur karena rasa sakit yang sudah tak sanggup lagi ditanggungnya. Kondisi perempuan itu makin payah. Sejak pagi tak sesuap nasi pun bisa ditelannya.

Bang?
Rafli termangu. Iba hatinya melihat sang istri memperjuangkan dua kehidupan.

Dokter?

Kita operasi, Nia. Bayinya mungkin terlilit tali pusar.

Mungkin?
Rafli dan Nania berpandangan. Kenapa tidak dari tadi kalau begitu?
Bagaimana jika terlambat?

Mereka berpandangan, Nania berusaha mengusir kekhawatiran. Ia senang karena Rafli tidak melepaskan genggaman tangannya hingga ke pintu kamar operasi. Ia tak suka merasa sendiri lebih awal.

Pembiusan dilakukan, Nania digiring ke ruangan serba putih. Sebuah sekat ditaruh di perutnya hingga dia tidak bisa menyaksikan ketrampilan dokter-dokter itu. Sebuah lagu dimainkan. Nania merasa berada dalam perahu yang diguncang ombak. Berayun-ayun. Kesadarannya naik-turun. Terakhir, telinga perempuan itu sempat menangkap teriakan-teriakan di sekitarnya, dan langkah-langkah cepat yang bergerak, sebelum kemudian dia tak sadarkan diri.

Kepanikan ada di udara. Bahkan dari luar Rafli bisa menciumnya. Bibir lelaki itu tak berhenti melafalkan zikir.

Seorang dokter keluar, Rafli dan keluarga Nania mendekat.

Pendarahan hebat!

Rafli membayangkan sebuah sumber air yang meluap, berwarna merah. Ada varises di mulut rahim yang tidak terdeteksi dan entah bagaimana pecah! Bayi mereka selamat, tapi Nania dalam kondisi kritis.

Mama Nania yang baru tiba, menangis. Papa termangu lama sekali. Saudara-saudara Nania menyimpan isak, sambil menenangkan orangtua mereka.

Rafli seperti berada dalam atmosfer yang berbeda. Lelaki itu tercenung beberapa saat, ada rasa cemas yang mengalir di pembuluh-pembuluh darahnya dan tak bisa dihentikan, menyebar dan meluas cepat seperti kanker.

Setelah itu adalah hari-hari penuh doa bagi Nania.

Sudah seminggu lebih Nania koma. Selama itu Rafli bolak-balik dari kediamannya ke rumah sakit. Ia harus membagi perhatian bagi Nania dan juga anak-anak. Terutama anggota keluarganya yang baru, si kecil. Bayi itu sungguh menakjubkan, fisiknya sangat kuat, juga daya hisapnya. Tidak sampai empat hari, mereka sudah oleh membawanya pulang.

Mama, Papa, dan ketiga saudara Nania terkadang ikut menunggui Nania di rumah sakit, sesekali mereka ke rumah dan melihat perkembangan si kecil. Walau tak banyak, mulai terjadi percakapan antara pihak keluarga Nania dengan Rafli.

Lelaki itu sungguh luar biasa. Ia nyaris tak pernah meninggalkan rumah sakit, kecuali untuk melihat anak-anak di rumah. Syukurnya pihak perusahaan tempat Rafli bekerja mengerti dan memberikan izin penuh. Toh, dedikasi Rafli terhadap kantor tidak perlu diragukan.

Begitulah Rafli menjaga Nania siang dan malam. Dibawanya sebuah Quran kecil, dibacakannya dekat telinga Nania yang terbaring di ruang ICU. Kadang perawat dan pengunjung lain yang kebetulan menjenguk sanak famili mereka, melihat lelaki dengan penampilan sederhana itu bercakap-cakap dan bercanda mesra..

Rafli percaya meskipun tidak mendengar, Nania bisa merasakan kehadirannya.

Nania, bangun, Cinta?
Kata-kata itu dibisikkannya berulang-ulang sambil mencium tangan, pipi dan kening istrinya yang cantik.

Ketika sepuluh hari berlalu, dan pihak keluarga mulai pesimis dan berfikir untuk pasrah, Rafli masih berjuang. Datang setiap hari ke rumah sakit, mengaji dekat Nania sambil menggenggam tangan istrinya mesra. Kadang lelaki itu membawakan buku-buku kesukaan Nania ke rumah sakit dan membacanya dengan suara pelan. Memberikan tambahan di bagian ini dan itu. Sambil tak bosan-bosannya berbisik,

Nania, bangun, Cinta?
Malam-malam penantian dilewatkan Rafli dalam sujud dan permohonan. Asalkan Nania sadar, yang lain tak jadi soal. Asalkan dia bisa melihat lagi cahaya di mata kekasihnya, senyum di bibir Nania, semua yang menjadi sumber semangat bagi orang-orang di sekitarnya, bagi Rafli.

Rumah mereka tak sama tanpa kehadiran Nania. Anak-anak merindukan ibunya. Di luar itu Rafli tak memedulikan yang lain, tidak wajahnya yang lama tak bercukur, atau badannya yang semakin kurus akibat sering lupa makan.

Ia ingin melihat Nania lagi dan semua antusias perempuan itu di mata, gerak bibir, kernyitan kening, serta gerakan-gerakan kecil lain di wajahnya yang cantik. Nania sudah tidur terlalu lama.

Pada hari ketigapuluh tujuh doa Rafli terjawab. Nania sadar dan wajah penat Rafli adalah yang pertama ditangkap matanya.

Seakan telah begitu lama. Rafli menangis, menggenggam tangan Nania dan mendekapkannya ke dadanya, mengucapkan syukur berulang-ulang dengan airmata yang meleleh.

Asalkan Nania sadar, semua tak penting lagi.

Rafli membuktikan kata-kata yang diucapkannya beratus kali dalam doa. Lelaki biasa itu tak pernah lelah merawat Nania selama sebelas tahun terakhir. Memandikan dan menyuapi Nania, lalu mengantar anak-anak ke sekolah satu per satu. Setiap sore setelah pulang kantor, lelaki itu cepat-cepat menuju rumah dan menggendong Nania ke teras, melihat senja datang sambil memangku Nania seperti remaja belasan tahun yang sedang jatuh cinta.

Ketika malam Rafli mendandani Nania agar cantik sebelum tidur. Membersihkan wajah pucat perempuan cantik itu, memakaikannya gaun tidur. Ia ingin Nania selalu merasa cantik. Meski seringkali Nania mengatakan itu tak perlu. Bagaimana bisa merasa cantik dalam keadaan lumpuh?

Tapi Rafli dengan upayanya yang terus-menerus dan tak kenal lelah selalu meyakinkan Nania, membuatnya pelan-pelan percaya bahwa dialah perempuan paling cantik dan sempurna di dunia. Setidaknya di mata Rafli.

Setiap hari Minggu Rafli mengajak mereka sekeluarga jalan-jalan keluar. Selama itu pula dia selalu menyertakan Nania. Belanja, makan di restoran, nonton bioskop, rekreasi ke manapun Nania harus ikut. Anak-anak, seperti juga Rafli, melakukan hal yang sama, selalu melibatkan Nania. Begitu bertahun-tahun.

Awalnya tentu Nania sempat merasa risih dengan pandangan orang-orang di sekitarnya. Mereka semua yang menatapnya iba, lebih-lebih pada Rafli yang berkeringat mendorong kursi roda Nania ke sana kemari. Masih dengan senyum hangat di antara wajahnya yang bermanik keringat.

Lalu berangsur Nania menyadari, mereka, orang-orang yang ditemuinya di jalan, juga tetangga-tetangga, sahabat, dan teman-teman Nania tak puas hanya memberi pandangan iba, namun juga mengomentari, mengoceh, semua berbisik-bisik.

Baik banget suaminya!
Lelaki lain mungkin sudah cari perempuan kedua!

Nania beruntung!
Ya, memiliki seseorang yang menerima dia apa adanya.

Tidak, tidak cuma menerima apa adanya, kalian lihat bagaimana suaminya memandang penuh cinta. Sedikit pun tak pernah bermuka masam!

Bisik-bisik serupa juga lahir dari kakaknya yang tiga orang, Papa dan Mama.

Bisik-bisik yang serupa dengungan dan sempat membuat Nania makin frustrasi, merasa tak berani, merasa?

Tapi dia salah. Sangat salah. Nania menyadari itu kemudian. Orang-orang di luar mereka memang tetap berbisik-bisik, barangkali selamanya akan selalu begitu. Hanya saja, bukankah bisik-bisik itu kini berbeda bunyi?

Dari teras Nania menyaksikan anak-anaknya bermain basket dengan ayah mereka.. Sesekali perempuan itu ikut tergelak melihat kocak permainan.

Ya. Duapuluh dua tahun pernikahan. Nania menghitung-hitung semua, anak-anak yang beranjak dewasa, rumah besar yang mereka tempati, kehidupan yang lebih dari yang bisa dia syukuri. Meski tubuhnya tak berfungsi
sempurna. Meski kecantikannya tak lagi sama karena usia, meski karir telah direbut takdir dari tangannya.

Waktu telah membuktikan segalanya. Cinta luar biasa dari laki-laki biasa yang tak pernah berubah, untuk Nania.

Seperti yg diceritakan oleh seorang sahabat..


dikutip dari Cahaya hikmah Februari 2010

tabir takdir cinta


TABIR TAKDIR CINTA



Maya keluar dari kelas. Tapi tas yang digambloknya terasa berat. Dia menoleh,Neneng sudah nyengir d belakangnya,jilbabnya berantakan.
“Ada apa neng?”
“Hehe,,,jadi nggak may mau nemenin aku ke pesantren? Katanya kemaren mau ikut. Gmn?’’
Maya berpikir sejenak,kemudian tersnyum. Berlalulah mereka dari gerbang sekolah dengan Toyota yaris biru milik Maya. Di perjalanan,Neneng banyak bercerita dengan kehidupan pondok. Dia juga tidak tahu banyak,hanya sekedar sering denger cerita dari temannya yang mondok di situ. Maya hanya sedikit memerhatikan cerita Neneng,maklum,dia sibuk menerobos kumpulan kendaraan yang tak terhitung jumlahnya.
“ALMA’HAD ALISLAMIY ALMADANIY”
“Ini tempatnya neng?” Neneng mengangguk. Maya memarkirkan mobilnya di halaman seberang gerbang pesantren.
Ketika hampir sampai pesntren,Maya berhenti sejenak. Pusing itu datang lagi. Dari tadi pagi dia sudah merasakan badannya agak lemas.
“May,kamu nggak mau ikut masuk?” Tanya Neneng ketika sadar Maya jauh tertinggal di belakangnya. Melihat Maya diam,Neneng menghampirinya. “Ya ALLAH may,kamu pucat begini!!”
Maya tersadar,”Ah,nggak papa kok.”
“Beneran?”
Maya mengangguk. “Eh,enaknya aku masuk nggak? Aku kan nggak pake jilbab kayak kamu gini. Mana masih pake seragam sekolah lagi,emang boleh masuk gitu?”
Neneng tertawa kecil, “Emang mall,siswa berseragam nggak boleh masuk?!! Nggak papa kok,yuk!”
Akhirnya Maya mengikuti Neneng menuju gerbang pesantren. Neneng terlihat ngobrol sebentar dengan penjaganya,mungkin minta dipanggilkan temannya. Mereka disuruh masuk dan menunggu di ruang tamu. Tapi belum sampai di ruang tamu,Maya tidak sanggup lagi berjalan. Dia sudah tidak tahan menahan sakit dan lemas di badannya. Dia pun ambruk.
Neneng menoleh tersentak. Dia bingung mendapati temannya jatuh pingsan. Kebetulan di sekitar situ masih sepi,tidak ada orang yang lewat. “Aduh,gimana ini??” Neneng kebingungan. Dia menoleh kesana kemari,tapi nihil,sepi. Tidak lama,seorang lelaki berkopiah hitam keluar dari satu ruangan. Langsung Neneng meminta bantuan pada cowok itu.
“Mas,mas.” Cowok itu menoleh dan langsung buru2 menghampiri mereka. Neneng menjelaskan awal mula keadaan. Langsung lelaki itu menggendong Maya,membawanya ke ruang kesehatan.
Neneng dan lelaki itu masih menunggu di samping Maya. Sudah setengah jam,tapi Maya belum sadarkan diri. Dan mereka sengaja tidak membangunkan Maya,karena menurut Arga-lelaki yang menggendong Maya,yang tidak lain adalah ustad di pondok tersebut-Maya pingsan karena kecapekan. Tapi entah capek jasmani atau rohani. Yang pasti,Maya butuh istirahat.
“sampai kapan kak,kita nunggu dia bangun? Bener nih nggak usah dibangunin?” Neneng melas menatap sahabatnya yang begitu pucat berbaring.
“Kita tunggu lima belas menit lagi,kalau dia belum sadarkan diri juga…” belum selesai bicara,mereka melihat jari tangan Maya bergerak. Kelopak matanya juga menandakan kalau dia mau melek.
“Alhamdulillah dia sadar. Sebentar,saya ambilkan air dulu.”
Maya membuka matanya dengan sempurna. Dia juga sudah bisa melihat sekelilingnya lengkap. Neneng dengan jilbab abu2nya tepat di sampingnya. Selain Neneng,semua terasa asing untuk Maya.
“Aku di mana neng?” Neneng menceritakan kejadian ketika Maya jatuh pingsan dan bagaimana dia bisa terbaring di sini. Selesai cerita,Arga datang membawa segelas air putih. Maya sekilas menatapnya,tek! Maya merasakannya,sesuatu di hatinya ketika memandang Arga barusan.
“Mbak,saya sudah menghubungi bagian kesehatan putri. Insya ALLAH mereka akan memindahkan temen mbak ini k ruang kesehatan putri.” Arga menyerahkan gelas itu ke Neneng,memintanya supaya membantu Maya minum air.
“Mbak,namanya siapa?”
“Maya.” Suaranya masih terdengar lemah.
“oh,mbak Maya sebentar lagi..”
“Nggak,saya mau pulang!”
“Tapi May,mustahil. Siapa yang mau nganter kita? Kamu nggak mungkin nyetir dalam keadaan kayak gini!”
Maya masih kukuh mau pulang. sebenarnya dia sadar badannya masih sangat lemas,kepalanya juga masih sakit. Tapi dia benar2 nggak mau ada di sini,karena wajah Arga terlalu indah untuk dinikmati. Maya takut jatuh cinta dengan cowok itu.
Akhirnya Maya ngotot berdiri,melipat selimut yang tadi dipakainya. “Lihat,aku sudah sehat kan?!” lalu menggandeng Neneng yang masih bingung melihat Maya yang tiba2 bangkit dari kasur. “Terima kasih atas bantuannya.” Dengan jutek Maya pamit dengan Arga. Dan Arga,dengan lembutnya malah tersenyum dan mengikuti mereka,mengantar mereka sampai gerbang pesantren,memastikan kalau Maya akan baik-baik saja.
Maya berjalan kesal,tapi di hatinya dia merasa tak mau beranjak dari tempat itu. Dia teringat mimpinya ketika ia pingsan tadi. Di mimpi itu,dia digendong oleh seorang lelaki,begitu wangi,lembut,tapi wajahnya tertutupi. Dan wangi itu masih membekas. Maya membuka gerbang sedikit,tapi tangannya kembali gemetaran,pusingnya kembali bertambah,kakinya lemas,dia jatuh lagi!! Tapi kali ini tidak pingsan,dia masih sadar,tapi dia tidak sanggup berdiri.
Arga yang melihat itu,langsung berlari menghampiri mereka. “Kalau memang mbak Maya bener2 mau pulang,biar saya antarkan,kebetulan saya bisa nyetir kok.” Sebenarnya Maya sudah mau menolak,tapi Neneng dengan semangat mengiyakan.
Dan di sinilah mereka sekarang,di dalam mobil,terjebak kemacetan malam kota. Maya duduk lemas bersandar di pundak Neneng. Matanya dia pejamkan,sebenarnya dia juga ingin memisahkan ruh dari jasadnya,tujuannya hanya satu,supaya dia bisa tidak melihat dan mendengar suara Arga. Tapi tidak bisa,matanya memang terpejam,tapi dia msih benar2 ada di dalam mobil itu,mendengar percakapan antara Arga dan Neneng yang mulai ngarol ngidul.
Arga,lulusan S1 FK UI,lulusan terbaik. Tapi setelah lulus,dia malah ingin mengabdikan semuanya ke kiainya. Jadilah ia ustad juga pakar kesehatan di pondok almadaniy. Padahal,banyak sudah rumah sakit yang meliriknya dan menawarkannya beasiswa spesialis dan langsung bisa kerja di rumah sakit tersebut dengan gaji yang tidak sedikit. Tapi Arga menolak semua,bismillah,dia ingin memperbaiki agamanya. Sampai situ,Arga bercerita tentang dirinya.
Dan Neneng mulai cerita tentang kehidupannya di sekolah,juga teman2nya dan tidak lupa rohis kebanggaannya.
“Tapi,kok Maya nggak kamu ajak pake hijab juga? Bukannya apa,sayang saja,Maya itu masya ALLAH,jadi sayang kalau malah jadi santapan laki-laki nakal.” Sampai situ aku terkejut! Siapa dia? Soknya perhatian sampai bilang begitu. Kenal juga baru. Tapi kenapa dia,dari kata-nya barusan sebegitu inginnya Maya pake hijab sperti Neneng? Maya semakin lemas. Hatinya makin dipenuhi bunga2 cinta.

***
sebulan berlalu dari kejadian pesantren itu. Maya berusaha dengan sepenuh hatinya untuk melupaka Arga. Tapi sayang,Neneng tidak mendukung,di setiap waktu dia malah asyik berkata, “Iya,kata kak Arga…” semua makin mengingatkannya pada Arga,sosok lelaki yang baru membuka hatinya kembali. Maya tidak pernah cerita apapun perihal perasaan itu pada Neneng. Dia ingin menyimpannya sendiri,untuknya,tidak untuk yang lain.
Pertanyaan Arga malam itu,perihal dirinya yang tidak berhijab,kini terngiang begitu jelas di pikirannya. Malam ini,Maya tidak henti2nya mondar mandir di kamarnya. Padahal besok,ujian terakhir menantinya. Tapi pikirannya terus dipenuhi pertanyaan,mampukah dia menghijabi diri juga hatinya? Makin lama mondar mandir,Maya makin tidak menemukan jawaban itu. Akhirnya dia memutuskan minta pendapat Neneng.
Maya mengambil handphonenya dan langsung menekan nomor hp Neneng. Setelah suara Neneng terdengar,Maya langsung menceritakan semuanya dan kemudian meminta pendapat. Jelas Neneng terdengar bahagia. Karena memang sebulan ini,setelah Arga menyuruhnya kembali mengajak Maya pakai hijab,Neneng sangat getol mengajak Maya pakai hijab. Neneng banyak menceritakan manfaat dan kegunaan menutupi aurot kita. Kata Neneng,untuk menghindari fitnah.
“Alhamdulillah may!! Kalau aku sih ya ngedukung banget. Tapi semua kembali lagi ke kamu. Gimana kemantapan kamu,dan yang paling penting niat kamu. Aku nggak mau kamu buru2 pakai hijab,cuma karena aku,atau karena orang lain mungkin.” Dan ada nada menggoda di balik kata2 Neneng terakhir.
Maya agak tersinggung. Tapi sudahlah,kini tinggal bagaimana dia membenahi niatnya. Memang tadi sebelum menelpon Neneng,Maya ingin cepat-cepat pakai hijab karena ia ingin menjawab pertanyaan Arga,dia sekedar ingin menunjukkan ke Arga,ini lho Maya!! Aku juga bisa pakai hijab!! Tapi kini,selesai menlpon Neneng,Maya tersadar. Ya,yang penting itu niat. Maya mulai duduk khudlu’,menata hati,menghilangkan sejenak ego kemanusiaannya,kesombongan insaninya. Biar semua yang ingin dia lakukan,semua hanya untukNya,Sang Kholiq.

***
“Mabruuuk!!” senyum Neneng langsung menyambutnya. Menyambut Maya yang baru,yang lebih anggun dan lebih islamiy. Sosoknya kini sempurna sudah sebagai seorang muslimah sejati. Langkah awal untuk lebih menghijabi hatinya. Jalan untuk bisa lebih dekat dengan Rabbnya. Semua menyambutnya dengan senyum hangat. Apalagi ujian akhir mereka sudah terlewati,tinggal menunggu hasil ujian.
“May,terus abis lulus SMA kamu mau lanjut di mana? Aku denger2 kabar,katanya kamu ditawarin beasiswa di Australia ya?”
Maya tersenyum tipis,dengan hijabnya,kini ia bisa lebih kalem dan lebih feminine dalam berbicara,juga perilakunya. “Iya,kemaren pak bambang udah kasih aku dokumen buat aku isi. Tapi kayaknya aku tolak deh.”
Neneng tersentak kaget, “Kenapa may? Kesempatan nggak datang dua kali lho.”
“Kamu bener,makanya aku milih nolak,karena kesempatan mendapat hidayah itu aku takut nggak akan datang lagi.”
“Maksud kamu?” Barulah Maya menceritakan semuanya. Pertama tentang kegalauannya dan keinginannya yang begitu kuat untuk mondok. Hanya satu yang dia ingin,ingin lebih baik dari sekarang. Lebih menjiwai sosok muslimnya. Dia tidak ingin cuma sebatas islam KTP. Makanya tadi,dia sudah mengembalikan semua dokumen-dokumen ke pak Bambang. Dan minggu depan,tanpa nunggu hasil ujian,Maya siap memulai kehidupan santrinya.
“Doanya aja Neng…”
***
Maya berjalan terburu-buru. Kata mbak-mbak pengurus, dek Naili dari tadi nangis dan nggak ada yang bisa diemin. Katanya dia terus manggil-manggil nama Maya. Makanya setelah sekolah diniyah,Maya langsung disuruh cepat ke rumah kiai. Maya membuka pintu ndalem bawah. Baru kali ini-selama dua bulan dia tinggal di pondok AlMadaniy-dia masuk ndalem lewat pintu utama.
Maya kaget,sosok lelaki berdiri tepat di depannya,sepertinya dia ingin keluar. Mungkin ini yang kata mbak-mbak putranya abah yang paling ganteng,gumam Maya dalam hati.
“Kamu Maya?” Maya hanya mengangguk sambil terus tertunduk. “Cepetan ke kamar Naili,dari tadi dia ngamuk nyari-nyari kamu!!”
Maya mengangguk dan langsung bergegas naik,tapi di tengah-tengah tangga,ada rasa penasaran menyusup ke hatinya,mendorongnya untuk menoleh ke bawah,berharap semoga bisa melihat gus Abid,yang tadi terkesan galak.
Maya berhenti sejenak dan memberanikan diri menoleh. Tanpa dia sangka,ternyata gus Abid juga sedang asyik memandanginya. Jadilah mereka sama-sama malu,wajah putih Maya langsung memerah. Dia segera menundukkan wajahnya dan melanjutkan jalannya naik ke kamar dek Naili. Abid lebih salah tingkah lagi,gelagapan ia melengos,sambil berdehem,lalu keluar.

***
semenjak itu,pikiran Abid terus dipenuhi wajah putih Maya dengan jilbab merah mudanya. Apalagi ketika wajah putih itu memerah,subhaanallah,,,betapa Allah menunjukkan kuasaNya dalam menciptakan manusia dengan sebagus-bagusnya bentuk.
Fuuuuuuuuuh…Abid menghela nafas untuk kesekian kalinya. teman yang juga santrinya,bingung mendapatinya seperti sangat bingung akhir2 ini.
“Gus,aku perhatikan semingguan ini seperti ada seseorang yang mengganggu pikiranmu. Nggak mau cerita neeh??”
Abid baru tersadar dari lamunannya. “Hah? Nggak juga kok. Siapa?”
temannya tertawa keras. “Bid,udahlah,kalau untuk masalah itu,anggap aku temanmu,aku juga akan menghilangkan gelar gusmu. Kita sama2 manusia,wajar kalau bayangan itu menghinggapi kita. Ayo cerita! Siapa tahu aku bisa Bantu.”
Abid merasa benar dengan kata-kata temannya barusan. Langsung dia menceritakan tentang sosok santri yang begitu full memenuhi pikirannya. Dan dia rasa,kini dia benar-benar telah jatuh cinta dengannya. Apalagi setelah dia cari-cari informasi tentang cewek ini,dia tidak menemukan kecuali yang baik tentang dia. Itu semakin mantap membuatnya ingin meminang perempuan ini.
“Gitu too…emang kalau boleh tahu siapa sih santri putri yang sudah bikin temen plus gusku ini ketar ketir kayak gini?”
“Afwan bro,aku belum ingin terlalu mempublikasikan secara detail. Nanti kalau sudah aku lamar dan dia ok,baru aku ceritakan semua tentang dia!”

***
Maya benar-benar capek. Dia habis mengantarkan salah seorang santri ke rumah sakit. Belum habis rasa capeknya,mbak Nita,kepala kesehatan putri meminta tolong Maya untuk mengantar titipan obat ke ruang kesehatan putra. Akhirnya dengan badan lemas,terik matahari yang begitu menyengat,Maya mengangkat dua plastik isi obat-obatan yang baru tadi dia beli.
Akhirnya sampai juga! Maya langsung mengetuk pintu. “Assalamu’alaikum.” Jawaban terdngar di dalam,tidak lama pintu terbuka. Bruuuk!!! Dua plastik lepas dari genggaman Maya. Pandangannya masih lekat di wajah di hadapannya ini. Wajah yang setia menemani pikirannya. Begitu juga dengan sosok di hadapannya,dia tidak jadi berkata-kata. Terpana juga melihat siapa perempuan di hadapannya. Lama…seakan waktu berhenti berputar.
“Astaghfirullah..” lirihan kecil dari mulut Arga mengakhiri aksi terpanaan mereka berdua. “Kamu Maya kan?”
Maya salah tingkah langsung mengambil kembali dua plastik yang tadi terjatuh. Kemudian tersenyum tipis. Lalu Arga menyuruhnya masuk. Maya langsung mengutarakan maksud kedatangannya ke situ.
“Tadi mbak Nita nyuruh aku nganter ini. Katanya kesehatn putra lagi butuh banyak obat2an.” Arga langsung sibuk mengecek obat-obatan yang dibawa Maya. Dia menyuruh Maya untuk menunggu sejenak,karena ia harus mencatat semuany,kemudian menyalinnya dan meminta Maya untuk memberikannya ke nita.
Di tengah2 sibuk mencatat,Arga masih sempat mengajak Maya ngobrol. Tapi Maya hanya menjwab seadanya,dia lebih memilih diam. Dia takut perasaan itu terlhat. Tapi Arga tidak henti-hentinya bertanya. Kapan dia mulai pakai hijab? Kapan dia mulai jadi santri di sini? Apa yang bikin dia akhirnya mau mondok? Dan banyak lagi. Dan Maya dengan sabar menjawabi semua pertanyaan.
Pencatatan selesai. Arga langsung menyerahkan dokumen untuk nita. “Syukron udah sabar nunggu.” Lagi-lagi Maya hanya tersenyum lembut kemudian pamit keluar. Dan senyum itu,,,masih tertinggal di hati Arga. Mengembalikan bayangan senyumnya yang dulu.

***
“May,dipanggil ke ndalem.” Maya yang lagi asyik muthola’ah,langsung menaruh kitabnya dan membenarkan jilbabnya. ‘Tumben dek Naili jam segini manggil aku?’
Maya memasuki ndalem dari pintu belakang. Baru hendak menaiki tangga,ummi memanggilnya. “Maya,ke sini nak!”
“Iya ummi,ada apa? Katanya dek Naili manggil saya ya mi’?
“Bukan Naili yang panggil kamu,tapi umi.” Maya agak kaget. Tumben ummi ada perlu sama dirinya.
Setelah Maya duduk,ummi menceritakan sedikit tentang sosok Abid ke Maya. Maya agak bingung,ada apa ini,kok dipanggil hanya untuk cerita gus Abid dari kecil. Ada sedkit kecurigaan menyusup ke hati Maya. Sampai pada akhir cerita,ummi meminta sesuatu yang tidak enak bagi Maya untk menolak. “Kamu mau nak,kalau umi jodohin sama Abid?”
Kecurigaan Maya terjawab. Umi melanjutkan, “Baru kali ini Abid minta dilamarin seorang perempuan. Padahal umi dan abah sudah dari dulu ngasih dia pilihan permpuan-perempuan,tapi dia selalu bilang nggak sreg. Makanya ketika sekarang dia minta kamu,umi langsung mengiyakan. Karena umi tahu kamu juga anak baik. Gimana?”
Maya terdiam. Tidak mungkin juga dia langsung bilang iya,apalgi bilang tidak. Dan umi juga menangkap arti dari diamnya Maya. Umi juga tidak memaksa Maya menerima. Umi menyarankan Maya musyawarah dengan keluarganya dan tidak lupa istikhoroh,karena ini bukan untuk main-main.

***
Akad pernikahan sudah berlalu. Maya masih belum bisa menghilangkan sisa-sisa tangisnya. Kini rasa bercampur di hatinya. Sedih,sakit,juga senang,tapi hanya sedikit. Dia mengingat tadi ketika di masjid,setelah ijab qobul,semua asaatidz menghampiri Abid,mengucapkan selamat. Dan lelaki yang pernah dia cintai-pun sampai saat ini-orang yang paling lama berbincang dengan Abid. Sebenarnya Maya tidak berani menatapnya,tapi beberapa kali Maya meliriknya,Maya selalu mendapati kedua mata Arga sedang menatapnya dengan tatapan pilu. Dari situ Maya tahu,Arga juga merasakan seperti yang dia rasakan!!!
Tapi kenapa baru sekarang dia mendapati rasa itu? Kenapa malah di saat-saat seperti ini dia menyadari bahwa di hati mereka,ada cinta yang begitu kuat? Kenapa setelah dia sudh menjadi milik Abid,dia baru tahu Arga menyimpan rasa untuknya,sehingga menumbuhkan kembali rasa di hatinya? Allahummaghfirlii…

***
tiga bulan sudah Maya menjalani kehidupan barunya,menjadi istri seorang gus Abid. Gus idola para santri putri. Ada sedikit bangga juga bisa bersanding dengannya. Apalagi Abid yang sangat baiiik kepada permpuan. Dia begitu menjunjung hak-hak perempuan,tapi tanpa membuatnya lupa akan hakikatnya. Maya berhasil menghapus rasa yang sempat menyakitkannya ketika awal2 masa pernikahannya. Dia hampir menceritakan semua pada suaminya,dan memintanya untuk mengerti sehingga mau melepasnya dan merelakannya. Tapi alhamdulillah,berkat kesabaran Abid,semua berhasil dia lewati. Sampai saat itu…
“Yang,aku tuh bingung sama Arga. Sampai sekarang kok dia masih betah ngejomblo gitu ya?”
Maya tidak berani komentar apa-apa. Dia takut salah ngomong.
“Eh yang,gimana kalau kta jodohin aja sama Fitri? Dia kan sebentar lagi selsai mondoknya? Gimana menurut kamu?”
Maya serasa tidak percaya dengan apa yang barusan dia dengar. Memang,dia sekarang sudah berhasil melupakan Arga,tapi kalau nanti harus jadi saudara seipar,tinggal satu lingkungan,pasti rasa itu akan muncul lagi,malah mungkin akan semakin menjadi-jadi. Tidak rela melihatnya dengan orang lain. ‘astaghfirullah…aku ini sudah jadi istri orang.’
Baru tersadar dari naza’ pikirannya,Maya sudah mendapati kamarnya kosong. Sepertinya Abid langsung mau matur ke abah uminya untuk menawarkan Arga,sahabatnya.
***
semua berjalan begitu cepat. Abah umi yang langsung setuju dengan usulan Abid menjodohkan Fitri dengan Arga. Abid yang kemudian menawarkan Arga tentang usulannya. Dan Arga yang dengan lugas menjawab, “Sam’an wa tha’atan.”
Dan kini,Maya sibuk menyiapkan pakaian suaminya. Kebetulan Abid ada acara di beberapa tempat di jawa tngah. Sekalian dia ingin ke pesantren Fitri,memboyongkannya sekaligus mengabari perihal perjodohannya dengan Arga.
“Emang mas yakin Fitri bisa suka dnegan Arga?”
“Aku belum cerita ke kamu ya yang? Dulu itu Fitri sempet naksir lho sama Arga. Lagian cewek mana sih yang nggak akan terpincut sama Arga,dokter gagah nan ganteng gitu,ya kan?” kata2 itu langsung menembak dalam hati Maya. ‘ya…sampai akupun masih tertahan olehnya…’
semua barang sudah siap. Koper dimasukkan ke mobil. Maya tidak bisa ikut mengantar ke bandara. Badannya lemas. Mungkin terkuras pikirannya menyiapkan lahir bathin menerima Arga da Fitri.
“Yang,I love u.” Maya hanya tersenyum tipis. Setelah mencium kening istrinya,dengan senyum yang paling manis,Abid meninggalkan rumah.
***
Maya tidak bisa tidur. Bayangannya entah pergi ke mana?? Hatinya masih dipenuhi ketakutan. Bagaimana ini?? Dia merasa Argalah penyebab kegalauan ini. Maya mondar mandir,tidak tahu apa yang mau dia lakukan. Akhirnya ia memilih menulis surat untuk Arga. Mengungkapkan semua,,,tentang perasaannya,juga tentang kerelaannya kini…melepaskan dia bersama Fitri.
Surat sudah jadi. Baru selesai melipat,pintu diketok. Spontan Maya menyelipkan surat di tumpukan buku di atas meja. Maya membuka pintu. Didapatinya umi sudah berbalut jilbab. ‘ada apa ini,malam2 begini umi ke sini?’
“May,yang sabar ya may. Abid…suamimu…”
Maya setia menemani umi yang masih menangis dari tadi. Mereka menunggu jenazah Abid datang. Katanya sekarang sudah di perjalanan dari bandara ke rumah. Mungkin sebentar lagi sampai.
Abid meninggal tabrak lari di depan pesantren tempat Fitri mondok. Setelah memboyongkan Fitri dan megabarinya tentang perjodohan itu,ketika Abid hendak mnyebrang,sepeda motor kencang menabraknya. Seketika dia meninggal. Tapi sebelumnya,dua nama yang digumami Abid,’Maya…Arga…’
***

dua bulan setelah itu…
Semua sudah kembali beraktifitas. Hanya ndalem yang masih sedikit diselimuti duka. Maya masih agak shock kehilangan suaminya. Walaupun dia belum bisa mencintainya dengan sepenuh hati,tapi baginya,Abid sosok yang memukau. Smpurna sebagai seorang suami. Begitu juga dengan Fitri,ia merasa sangat kehilangan kakak tercintanya. Apalagi sebentar lagi dia akan menikah dengan sahabat almarhum kakaknya itu.
“Mbak,aku mau tidur di sini bentar nggak apa-apa kan?” siang itu tiba2 Fitri datang ke kamar Maya.
“Masuk aja fit. Tapi mbak mau ke bawah dulu yah,mau Bantu umi masak.” Fitri masuk,memandang sekeliling kamar itu. Kamar yang pernah ditempati almarhum kak Abid. Fitri msih mendapati aroma khas kak Abid. Diapun tidak jadi tidur,malah sibuk memerhatikan sudut ruangan. Dia duduk di meja baca kak abid. Membuka kitab2 dan buku di atasnya. Dan terjatuhlah selembar kertas…

***

“Fitri di kamarmu nak?” Tanya umi setelah selesai memasak.
“Iya mi’,katanya dia mau tidur sebentar. Oya mi,terus jadinya akad nikah Fitri di sini atau di mana?”
“Arga sih mintanya di sini,terus abah yang akadin. Tapi kalau nunggu abah punya waktu ya mungkin sekitar minggu depan.”
Maya mengangguk. Sebenarnya dia belum begitu bisa menerima. Tapi ya sudahlah,,mungkin ini memang sudah jalannya.

***



bismillahirrahmanirrahiim
kak Arga,yang mudah2an selalu dalam lindungan dan limpahan rahmatNya..amien

sebelumnya aku minta maaf atas kelancangan surat ini. aku juga sadar siapa aku,dan tidak sepantasnya untukku sekarang menulis surat untuk kak Arga,juga untuk lelaki manapun. Tapi,hati ini yang mendorong tangan untuk menulis,memaksa otak untuk berpikir merangkai kata2 untuk sang pujaan hati.
Kak Arga,surat ini,saksi bahwa dulu dan sampai sekarang ternyata aku mencintai kak Arga,dengan sepenuh hati,sejak pertama kak Arga membopongku. Sampai saat ini,wangi tubuh kak Arga seakan masih melekat di hidungku. Sampai saat ini,bayangan kak Arga msih terus menemaniku. Tapi aku sadar,kini aku sudah menjadi milik orang lain,tidak sepantasnya aku masih menyimpan rasa itu. Insya ALLAH,aku akan berusaha membuangnya,dan wallahi,aku rela melepas. Aku rela melihat kak Arga dengan perempuan lain…seperti relanya kak Arga ketika melihat aku di samping mas Abid.

Aku,yang berusaha berhenti mencintaimu
***
Maya terus membuka halaman demi halaman semua buku di atas meja. Tapi nihil,surat itu belum juga ketemu. Sebenarnya dari kemarin Maya sudah mau membakar surat itu,tapi Fitri seakan terus ingin di sampingnya. Setiap waktu Fitri selalu main di kamarnya. Sehingga membuat Maya lupa akan hal yang satu itu.
‘jangan sampai ada orang yang baca surat itu!! Di mana yaa?’ Maya menggumam sambil terus sibuk mencari.
Kreeek…pintu dibuka. Maya tersentak kaget. Dia langsung pura-pura sibuk beres-beres.
“Eh,kamu fit. Ada apa?”
“Cuma mau kasih kabar kak,lusa jam8 pagi akadnya.” Fitri tidak masuk. Hanya berdiri di pintu.
Maya langsung menghampiri mengucpkan selamat. Dia memeluk Fitri,kemudian menangis. Fitri membalas pelukannya,semakin erat memeluk. Mereka sama-sama menangis. “Kak,lusa,dandan yang cantik ya!!” Maya mengangguk kecil.
***
Maya menatap sekali lagi dandanannya di depan kaca. Sudah cukup. Dia tidak mau terlihat terlalu mewah atau heboh dandan. Tiba-tiba Fitri dan umi masuk. Maya kaget melihat Fitri yang dandanannya sangat sangat biasa.
“Lho fit,sebentar lagi kan acaranya? kok?”
“Nak,umi mau bicara. Duduk dulu yuk!” umi dan Maya duduk di kasur. Fitri ikut duduk di bawah kaki uminya.
Umi menyerahkan secarik kertas pada Maya. Maya kaget menerimanya. Surat itu…
“Fitri sudah baca semua mbak. Fitri terharu. Makanya Fitri langsung memutuskan untuk matur dan cerita semua ke abah umi. Fitri mau,mbak Maya sama kak Arga…”
Maya hampir tidak percaya dengan apa yang dikatakan Fitri. Maya menatap umi,mencari jawaban dari beliau.
“Umi dan abah juga sudah terserah Maya. Apalagi kata Fitri,dua nama terakhir yang disebut Abid itu,nama kamu sama Arga. Gimana nak?”
Maya menangis terharu. Dia langsung jatuh di pangkuan ummi. Umi menghelai lembut rambutnya. Semoga ini yang terakhir…

***
pesantren AlMadaniy kembali tersenyum. Bahagia kembali menghampiri. Semua seakan ikut merasakan aura cinta dua insan yang begitu besar. Cinta yang tersimpan,kini bisa bersatu dalam ikatan suci nan halal. Semua ikut menjadi saksi,pun ruh Abid,yang sudah tenang di alam sana,ikut merasakan kebahagiaan perempuan yang dicintainya.
“Ankahtuka wazawwajtuka Mezz Maya binti Abdullah bimahrin madzkuurin,haalan.”
“Qabiltu nikahaha wa tazwiijaha bimahrin madzkurin haalan…”


the end


dikutip dari : http://cerpen.net/Cerpen-islami/tabir-takdir-cinta.html

[X]

comment here...


ShoutMix chat widget

chat room

About Me

My photo
Blitar, Jawa Timur, Indonesia
A HEART dies when it is not able to share its FEELINGS.., but a HEART Kills itself when another Heart doesnot Understand its Feelings...

Followers

Plurk