http://img412.imageshack.us/img412/4403/image15jc7.gif http://img100.imageshack.us/img100/4658/image12du2.gif

DIARY HATI UNTUK RICKY

(kuasa Allah pada seorang muslim)

Duhai sayang...

Bekahan hati pujaan ibu seorang

Apa kabar dirimu saat ini, nak?

Anakku...

Inilah suara ahti ibu utnukmu

Tanda cinta tiada tepi, walau engkau telah jauh dari sisiku

Anakku sayang...

Izinkan aku bertutur tentang dirimu, nak. Kepada semua orang, kuingin bercerita tentang betapa namamu selalu menggoreskan berjuta kenangan. Engkau belahan jiwa yang pernah tak kuharapkan awal kehadirannya. Namun, ternyata dari dirimu jua aku dapat belajar tentang makna ikhlas dan sabar akan sebuah keniscayaan.

13 Desember 1996

Oee....oee... Ya Allah, amanahMu telah lahir utnuk menyapa dunia. Ini ibu, sayang. Kemarilah, agar dapat kau hirup air susu beraroma surga. Akan aku tawarkan pula cinta seorang ibunda. Lengking tangismu terdengar indah, nak, seperti bayi-bayi lainnya. Namun entahlah, gerakan reflek kedua bola mata itu sepertinya tak sama.

1997

Setahun telah berlalu. Engaku terlihat berbeda, tak seperti kedua kakak perempuanmu. Ada apa denganmu, nak? Kudekap dirimu, biar dapat aku alirkan kekuatan cinta seorang ibu. Bersabarlah saat begitu banyak alat-alat menyiksa tubuh kecilmu, nak. Jangan! Jangan kau tatap aku dengan osrot mata bertanya, mengapa? Kalaulah engkau tahu, aku pun tak tega melihat engkau diperlakukan seperti mitu.

Namun syukurlah... Engkau diperkirakan normal, walau harus mengalami beberpa kali pemeriksaan.

Tapi aku ibumu, dan dari rahim ini engkau ada di dunia. Batin ini tak dapat dibohongi, karena engkau dan aku disatukan oleh ikatan hati. Kubiarkan air mata ini terus beruah, ketika engkau yang masih kecil kembali lagi diperiksa. Syaraf, otak, juga pembuluh darah. Lagi, alat-alat canggih itu menyakitimu, nak.

Anakku sayang...engkau pasti sakit. Kalaulah boleh, biar saja ibu yang merasakan itu. Tapi bertahanlah, karena selalu ada ibi disisimu.

Mei 1998

Astaghfirullah...Jakarta resah, merah putih gelisah. Kerusuhan terjadi dimana-mana. Orang tuamu ini pun terkena damapaknya. Bapakmu yang bekerja dipabrik tekstil diberhentikan dari pekerjaannya. Tak lama kemudian, kita juga haurs pindah dari rumah kotrakan karena anak pemilik rumah ini mau menempatinya. Tak cukup hanya itu, sayang. Ternyata hasil pemeriksaan terbaru membawa kabar buruk, dirimu mengalami kelainan kromosom dengan translokasi Robertson.

Nak...Air mata ini rasanya taka kan pernah mengering. Tak kunjung usai cobaan yang datang menghampiri kita. Semoga ini tanda Allah sayang kepada hamba-hambaNya.

1999

Nak... dirimu mulai terlihat gagah. Lihatlah, engkau mulai belajar menapak meski dengan bantuan kettler, karena kedua tungkai kakimu membentuk X dan tak sama tingginya. Melangkahlah terus sayang, walau goyah. Ucapkan kata yang kau bisa, karena aku abhagia mendengarnya. Tataplah dunia, dengan juling bola mata dan tebalnya kacamata. Bukankah dengan itu pun dapat kau lihat keindahan alam semesta?

Tahun Ajaran 2000-2001

Alhamdulillah...syukur tak henti kuucapkan kepada Allah. Begitu banyak orang yang menyayangimu, nak. Sahabat dan saudara begitu berlimpah. Persahabatan memang indah, karena saat resah kita dapat berbagi duka. Biaya besar untuk pendidikan di sekolah terapi khusus untuk anak sepertimu, seperti menjadi begitu mudah. Kadang aku sering bertanya, mengapa mereka begitu memperhatikanmu, sayang. Tapi kutahu jawabannya, hanya cinta yang dapat mengikat hati-hati kita.

Juni 2003

Waktu terus bergulir lamban. Setiap saat, kutatap wajahmu ketika lelap. Perlahan, kucium engkau dengan mesra. Tak lupa aku bersyukur melihat engkau tumbuh dan berkembang, meski semakin jelas tampak berbeda. Dirimu semakin mengisi setiap sudut hatiku. Melahirkan kasih putih yang berlimpah ruah. Menciptakan rasa cinta yang begitu membuncah. Rasa itu semakin hari membuat aku jadi khawatir kehilanganmu, nak.

Namun....adakah seorang ibu yang tak takut kehilangan buah hatinya? Kepada Allah jua kumohonkan do’a, agar IA selalu menjaga dirimu, sayang.

Jum’at, 11 juli 2003

Hari ini, engkau mengeluh kepalamu pusing. Tak perlu khawatir, kata dokter yang memeriksamu dua hari setelah itu. Namun besoknya tubuhmu menggigil. Apakah engkau keracunan obat, nak? Reguk-lah, air kelapa hijau yang kuberikan pasamu. Ternayta dirimu terkena demam berdarah, ketika selasa menjelang maghrib kubawa engkau ke rumah sakit.

Ya Allah....Ternayta engkau harus rawat inap ICU, sayang. Cobalah untuk istirahat, pejamkan mata di ruangan serba putih itu.

Rabu, 16 Juli 2003 : Pukul 4-5

Aduh.... terdengar di dini hari ini engkau beteriak, sakit. Kejang! Tubuhmu bagai menggelepar. Sabar dan cobalah untuk tabah, sayang. Namun kurasakan aura sakratul maut itu perlahan mulai merenggut engkau dari aku.

Mari-lah kutuntun, nak. Ikuti apa kata ibu. Laa ilaha alla Allah... Ricky anak ibu, laa ilaha illa Allah...

Kemudian, matamu menatapku. Duhai, inikah tanda perpisahan itu?

Pukul 5.40

Akhirnya.... usai sudah perjalanan hidupmu di dunia fana. Pergilah dengan tenang. Biarkan jiwa sucimu melayang, didekap dengan selimut kasih sayang para malaikat. Ibu, bapak dan juga kakak-kakakmu ikhlas, nak.

Kelak, tak akan pernah engkau dengar teman-temanmu berteriak bahwa kau orang gila. Karena engkau sehat dan normal, sayang. Kalaulah dirimu terlihat berbeda dimata mereka, bukankah engkau pun tak pernah menginginkannya?

Anakku sayang.... suatu saat, pernah tak kuharapkan kehadiranmu di rahim ibu. Sering pula aku menangis karena kehendak-Nya menitipkan engkau padaku. Bila menurutkan kata hati ini, sekarang pun aku ingin menangisi kepergianmu, nak. Tapi aku malu kepada Allah, karena IA lebih tahu tentang makna cinta. Berapa juga besarnya yang ada pada manusia, tapi Allah-lah Sang Pemilik Cinta.

Selamat jalan, sayang....bermainlah di alammu sana, bercanda riang penuh tawa.

Semoga pula Allah mengampuni segala dosa yang pernah kulakukan. Percayalah, betapa sebenarnya ibu teramat sayang kapadamu. Tunggulah ibu, nak. Nanti akan kembali kupeluk engkau sepenuh hatiku.

Wallahu a’lamu bish-shawaab.

cahaya hikmah, edisi 07/2007
read more “ ”

Kisah Pohon Apel

Kisah Pohon Apel

Suatu ketika, hiduplah sebatang pohon apel besar dan anak lelaki yang senang bermain-main di abwah pohon apel itu setiap hari. Ia senang memanjatnya hingga ke pucuk pohon, memakan buahnya, tidu-tiduran di keteduhan rindang daun-daunnya. Anak lelaki itu sangat mencintai pohon apel itu. Demikian pula pohon apel sangat mencintai anak kecil itu.

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjGWndwpp8metVHYX_8Bqdj9czYqd53rJ7y0uBO2Zf38mMNd1hlzMXXcAXz58tGsSFbasi1XJ4SkXwzBqYjOAxz4DW9gHusqFBkc6NqAm0faKuRrDa739vfioxUhBG7sJZlXd6PMrww4ZiA/s320/apple_tree.gif

Waktu terus berlalu. Anak lelaki itu kini telah tumbuh besar dan tidak lagi bermain-main dengan pohon apel itu setiap harinya. Suatu hari ia mendatangi pohon apel. Wajahnya tampak sedih. “ayo kesini bermain-main lagi denganku,”pinta pohon apel itu. “aku bukan anak kecil ayang bermain-main dengan pohon lagi,” jawab lelaki itu. “aku ingin sekali memiliki mainan, tapi aku tak punya uang utnuk membelinya.” Pohon apel itu menyahut, “duh, maaf aku pun tak punya uang....tetapi kau boleh mengambil semua apelku dan menjualnya. Kau bisa mendapatkan uang untuk membeli maianan kegemaranmu.” Anak lelaki itu sangat senang. Ia lalu memtik semua buah apel yang ada di pohon dan pergi dengan sukacita. Namun, setelah itu anak lelaki tak pernah datang lagi. Pohon apel itu kembali sedih. Suatu hari anak lelaki itu datang lagi. Pohon apel sangat senang melihatnya datang. “ayo bermain-main denganku lagi,” kata pohin apel. “aku tak punya waktu ,” jawab anak lelaki itu. “aku ahrus bekerja untuk keluargaku. Kami mmebutuhkan rumah untuk tempat tinggal. Maukah kau menolongku?” “duh, maaf aku pun tak memiliki rumah. Tapi kau boleh menebang semua dahan rantingku untuk membangun rumahmu,” kata pohon apel. Kemudian anak lelaki itu menebang semua dahan dan ranting pohon apel itu dan pergi dengan gembira. Pohon apel itu juga merasa bahagia melihat anak lelaki itu senang, tapi anak lelaki itu tak pernah kembali lagi. Pohon apel itu merasa kesepian dan sedih. Pada suatu musin panas, anak lelaki itu datang lagi. Pohon apel merasa sangat bersukacita menyambutnya. “ayo bermain lagi denganku,” kata pohon apel. “aku sedih,” kata anak lelaki itu. “aku sudah tua dan ingin hidup tenang. Aku ingin pergi berlibur dan berlayar. Maukah kau memberi aku sebuah kapal untuk pesiar?” “duh, maaf aku tak punya kapal, tapi kau boleh memotong batang tubuhku dan menggunakannya untuk membuat kapal yang kau mau. Prgilah berlayar dan bersenang-senanglah.” Kemudian, anak lelaki itu memotong batang pohon apel dan membuat kapal yang diidamkannya. Ia lalu pergi berlayar dan tak pernah datang lagi menemui pohon apel itu. Akhirnya, anak lelaki itu datang lagi setelah bertahun-tahun kemudian. “maaf anakku,” kata pohon apel itu. “aku sudah tidak memiliki buah apel lagi untukmu.” “tak apa. Aku pun sudah tak memiliki gigi untuk menggigit buah apelmu,” jawab anak lelaki itu. “aku juga tak memiliki batang dan dahan ayng bisa kau panjat,” kata pohon apel. “sekarang aku sudah terlalu tua untuk itu,” jawab anak lelaki itu. “aku benar-benar tak memiliki apa-apa lagi yang bisa kuberikan padamu. Yang tersisa hanyalah akar-akarku yang sudah tua san sekarat ini,” kata pohon apel itu sambil menitikkan air mata. “aku tak memerlukan apa-apa lagi sekarang,” kata anak lelaki. “aku hanya membutuhkan tempat untuk beristirahat. Aku sangat lelah setelah sekian lama meninggalkanmu.” “oooh, bagus sekali. Tahukah kau, akar-akar pohon tua adalah tempat yang terbaik untuk berbaring dan beristirahat. Mari, marilah berbaring di pelukan akar-akar pohon. Pohon apel itu sangat gembira dan tersenyum sambil menitikkan airmatanya. Ini adalah cerita tentang kita semua. Pohon apel itu adalah orang tua kita. Ketika kita muda, kita senang bermain dengan ayah dan ibu kita. Ketika kita tumbuh besar kita meninggalkan mereka, dan hanya datang ketika kita memerlukan sesuatu atau dalam kesulitan. Tak peduli apapun, orang tua kita akan selalu ada di sana untuk memberikan apa yang bisa mereka berikan untuk membuat kita bahagia. Anda mungkin berpikir bahwa anak lelaki itu telah bertindak sangat kasar pada pohon itu, tetapi begitulah cara kita memperlakukan orang tua kita.

Mari kita mencintai orang tua kita seperti mereka dengan tulus dan setia menyayangi kita.

cahaya hikmah, edisi 03/2006cahaya hikmah, edisi 03/2006
read more “Kisah Pohon Apel”

kalung Anisa

[801867_knotted_165000.jpg]

"kalung Anisa"
ini cerita tentang Anisa, seorang gadis kecil yang ceria berusia lima tahun


Pada suatu sore, Anisa menemani ibunya berbelanja di suatu supermarket. ketika sedang menunggu giliran membayar, anisa melihat sebentuk kalung mutirara mungil berwarna putih berkilauan, tergantung dalam sebuah kotak berwarna pink yang sangat cantik. Kalung itu nampaknya sangat indah, sehingga anisa sangat ingin meilikinya. Tapi…. Dia tahu, pasti ibunya akan keberatan. Seperti biasanya, sebelum berangkat ke supermarket, dia sudah berjanji tidak akan meminta apapun selain yang sudah disetujui untuk dibeli.

Dan tadi ibunya sudah menyetujui untuk membelikannya kaos kaki ber-renda yang cantik.namun karena kalung itu sangat indah, diberanikannya bertanya. “Ibu, bolehkah anisa memiliki kalung ini? Ibu boleh kembalikan kaos kaki yang tadi…” sang buda segera mengambil kotak kalung dari tangan anisa. Dibaliknya tertera harga Rp. 15.000.

Dilihatnya mata anisa yang memandangnya dengan penuh harap dan cemas. Sebenarnya dia bisa saja membelikan kalung itu, namun ia tidak mau bersikap tidak konsisten…”oke…anisa, kamu boleh memiliki kalung ini. Tapi kembalikan kaki yang kau pilih tadi. Dan karena harga kalung ini lebih mahal dari kaos kaki itu, ibu akan potong uang tabunganmu untuk minggu depan. Setuju?” anisa mengangguk lega, dan segera berlari riang mengembalikan kaos kaki ke raknya. “terimakasih…, ibu” anisa sangat menyukai dan menyayangi kalung mutiaranya.menurutnya, kalung itu membvuatnya nampak cantik dan dewasa. Dia merasa secantik ibunya. Kalung itu tak pernah lepas dari lehernya, bahkan ketika tidur.

Kalung itu hanya dilepasnya jika dia mandi atau berenang. Sebab, kata ibunya, jika basah, kalung itu akan rusak, dan membuat lehernya menjadi hijau… Setiap malam sebelum tidur, ayah anisa membacakan cerita pengantar tidur. Pada suatu malam, ketika selesai membacakan sebuah cerita, ayah bertanya “anisa…, anisa saying enggak sama ayah?” “tentu dong…. Ayah pasti tahu aklau anisa saying ayah1” “kalau begitu, berikan kepada ayah kalung mutiaramu…” “yah…, jangan dong ayah ! ayah boleh ambil “si ratu” boneka kuda dari nenek…! Itu kesayanganku juga “ya sudahlah sayang,… ngga apa – apa!.” Ayah mencium pipi anisa sebelum keluar dari kamar anisa. Kira – kira seminggu berikutnya, setelah selesai membacakan cerita, ayah bertanya lagi, “anisa…, anisa sayang nggak sih, sama ayah ?” “ayah, ayah tahu bukan kalau anisa sayang sekali pada ayah ?”.

“kalau begitu, berikan pada ayah kalung mutiaramu”. “jangan ayah…tapi kalau ayah amu, ayah boleh ambil boneka Barbie ini..”kata anisa seraya menyerahkan boneka Barbie yang selalu menemaninya bermain.

Beberapa malam kemudian, ketika ayah masuk ke kam,arnya, anisa sedang duduk di atas tempat tidurnya. Ketika didekati, anisa rupanay sedang menangis diam – diam. Kedua tangannya tergenggam di atas pangkuan air mata membasahi pipinya…”ada apa anisa, kenapa anisa?” tanpa berucap sepatah pun, anisa membuka tangannya. Di dalamnya melingkar cantik kalung mutiara kesayangannya “kalau ayah mau… ambillah kalung anisa” ayah tersenyum mengerti, diambilnya kalung itu dari tangan mungil anisa. Kalung itu dimasukkan ke dalam kantong celana. Dan dari kantong yang satunya, dikeluarkan sebentuk kalung mutiara putih… sama cantiknya dengan kalung yang sangat disayangi anisa…”anisa… ini untuk anisa. Sama bukan? Memang begitu nampaknya, tapi kalung ini tidak akan membuat lehermu menjadi hijau”.

Ya…, ternyata ayah memberikan kalung mutiara asli untuk menggantikan kalung mutiara imitasi milik anisa.

Demikian pula halnya dengan Allah SWT. Terkadang Dia meminta sesuatu dari kita, karena Dia berkenan untuk menggantikannya dengan yang lebih baik. Namun, kadang – kadang kita seperti atau bahkan lebih naïf dari anisa : menggenggam erat sesuatu yang kita anggap amat berharga, dan oleh karenanya tidak ikhlas bila kehilangan. Untuk itulah perlunya sikap ikhlas, karena kita yakin tidak akan Allah mengambil sesuatu dari kita jika tidak akan menggantinya dengan yang lebih baik.


cahaya hikmah, edisi 03/2006

read more “kalung Anisa”

MAAFKANLAH AKU, KAWAN

a hikmah, edisi 04/2007MAAFKANLAH AKU, KAWAN

Dua orang sahabat karib sedang berjalan melintasi gurun pasir. Di tengah perjalanan, mereka bertengkar, dan salah seorang menampar temannya. Orang yang kena tampar merasa sakit hati, tapi dengan tanpa berkata-kata, dia menulis di atas pasir : HARI INI, SAHABAT TERBAIKKU MENAMPAR PIPIKU.

Mereka terus berjalan, sampai menemukan sebuah oasis, dimana mereka memutuskan untuk mandi. Orang yang pipinya kena tampar dan terluka hatinya, mencoba berenang namun nyaris tenggelam, dan berhasil diselamatkan oleh sahabatnya.

Ketika dia mulai siuman dan rasa takutnya sudah hilang, dia menulis di sebuah batu : HARI INI, SAHABAT TERBAIKKU MENYELAMATKAN NYAWAKU. Orang yang menolong dan menampar sahabatnya, bertanya, “kenapa setelah saya melukai hatimu, kau menulisnya diatas pasir, dan sekarang kamu menulis di batu?” temannya sambil tersenyum menjawab, “ketika seorang sahabat melukai kita, kita harus menulisnya di atas pasir agar angin maaf datang berhembus dan menghapus tulisan tersebut. Dan bila sesuatu yang luar biasa terjadi, kita harus memahatnya di atas batu hati kita, agar tidak bisa hilang tertiup angin.”

Cerita diatas, bagaimanapun tentu saja lebih mudah dibaca dibanding diterapkan. Begitu mudahnya kita memutuskan sebuah pertemanan “hanya” karena sakit hati atas sebuah perbuatan atau perkataan yang menurut kita keterlaluan hingga menyakiti hait kita. Sebauh sakit hati lebih perkasa utnuk merusak dibanding begitu banyak kebaikan untuk menjaga. Mungkin ini memang bagian dari sifat buruk kita.

Karena itu, seseorang pernah memberitahu saya apa yang harus saya lakukan ketika saya sakit hati. Beliau mengatakan ketika sakit hati yang paling penting adalah melihat apakah orang yang menyakiti hati kita itu tidak kita sakiti terlebih dahulu.

Bukankah sudah menjadi kewajaran sifat orang untuk membalas dendam? Maka sungguh sangat bisa jadi kita telah melukai hatinya terlebih dahulu dan dia menginginkan sakit yang sama seperti yang dia rasakan. Bisa jadi juga sakit hati kita karena kesalahan kita sendiri yang salah dalam menafsirkan perkataan atau perbuatan teman kita. Bisa jadi kita tersinggung oleh perkataan sahabat kita yang dimaksudkannya sebagai gurauan.

Namun demikian, orang yang bijak akan selalu mengajari muridnya utnuk memaafkan kesalahan-kesalahan sadaranya yang lain. Tapi ini akan sungguh sangat berat. Karena itu beliau mengajari kami untuk “menyerahkan” sakit itu kepada Allah –yang begitu jelas dan pasti mengetahui bagaimana sakit hati kita- dengan membaca do’a, “Ya Allah, balaslah kebaikan siapapun yang telah diberikannya kepada kami dengan balasan yang jauh dari yang mereka bayangkan. Ya Allah, ampuni kesalahan-kesalahan saudara-saudara kami yang pernah menyakiti hati kai.”

Bukankah Rasulullah pernah berkata, “Tiga hal diantara akhlak ahli surga adalah memaafkan orang yang telah menganiayamu, memberi kepada orang yang mengharamkanmu, dan berbuat baik kepada orang yang berbuat buruk kepadamu”.



Karena itu, saudara-saudaraku, mungkin aku pernah menyakiti hatimu dan kau tidak membalas, dan mungkin kau menyakiti hatiku karena aku pernah menyakitimu. Namun dengan ijin-Nya aku berusaha memaafkanmu. Tapi yang aku takutkan kalian tidak mau memaafkan. Sungguh, saudara-saudaraku, dosa-dosaku kepada Tuhanku telah menghimpit kedua sisi tulang rusukku hingga menyesakkan dada. Saudara-saudaraku, jika kalian tidak sanggup mendoakan aku agar aku “Ada” di hadapan-Nya, maka ikhlaskan segala kesalahan-kesalahanku. Tolong jangan kau tambahkan kehinaan pada diriku dengan mengadukan kepada Tuhan bahwa aku telah menyakiti hatimu.

cahaya hikmah, edisi 04/2007
read more “MAAFKANLAH AKU, KAWAN”

indahnya berprasangka baik

Indahnya

Berprasangka Baik

Dua laki-laki bersaudara bekerja disebuah pabrik kecap dan sama-sama belajar agama Islam untuk sama-sama mengamalkan ilmunya dalam kehidupan sehari-hari semaksimal mungkin. Mereka berjalan kaki mengaji kerumah gurunya yang jaraknya sekitar 10 KM dari rumah peninggalan orangtua mereka.


Suatu ketika sang kakak berdo’a memohon rezeki untuk membeli sebuah mobil supaya dapat dipergunakan untuk sarana angkutan dia dan adiknya bila pergi mengaji. Allah mengabulkannya, tak lama kemudian sebuah mobil dapat dia miliki dikarenakan mendapatkan bonus dari perusahaannya bekerja. Lalu sang kakak berdo’a memohon seorang istri sempurna, Allah mengabulkannya, tak lama kemudian sang kakak bersanding dengan seorang gadis yang cantik serta baik perangai. Kemudian berturut-turut sang kakak berdo’a memohon kepada Allah akan sebuah rumah yang nyaman, pekerjaan yang layak, dan lain-lain dengan itikad supaya lebih ringan dalam mendekatkan diri kepada Allah. Dan Allah selalu mengabulkan semua do’anya itu. Sementara itu sang adik tidak ada perubahan sama sekali, hidupnya tetap sederhana, tinggal di rumah peninggalan orang tuanya yang dulu ditempati bersama dengan kakaknya. Namun, karena kakaknya seringkali sibuk dengan pekerjaannya sehingga tidak dapat mengikuti pengajian, dan sang adik seringkali harus berjalan kaki untuk mengaji kerumah guru mereka. Suatu saat sang kakak merenungkan dan membandingkan perjalanan hidupnya dengan perjalanan hidup adiknya, dan dia teringat adiknya selalu membaca selembar kertas apabila dia berdo’a menandakan adiknya tidak pernah hafal bacaan untuk berdo’a. Lalu datanglah ia kepada adiknya untuk menasihati adiknya supaya selalu berdo’a kepada Allah dan berupaya untuk membersihkan hatinya, karena dia merasa adiknya masih berhati kotor sehingga do’a-do’anya tiada di kabulkan oleh Allah azza wa jalla. Sang adik terenyuh dan merasa sangat bersyukur sekali mempunyai kakak yang begitu menyayanginya, dan dia mengucapkan terimakasih atas nasehat itu. Suatu saat sang adik meninggal dunia, sang kakak merasa sedih karena samapi meninggalnya adiknyaitu tidak ada perubahan pada nasibnya sehingga dia merasa yakin kalau adiknya itu meninggal dalam keadaan kotor hatinya sehubungan do’anya tak pernah terkabul. Sang kakak membereskan rumah peninggalan orang tuanya sesuai dengan amanah adiknya untuk dijadikan sebuah mesjid. Tiba-tiba matanya tertuju pada selembar kertas yang terlipat dalam sajadah yang biasa di pakai oleh adiknya yang berisi tulisan do’a diantaranya Al-Fatihah, Shalawat, do’a untuk guru mereka, do’a selamat dan ada kalimah di akhir do’anya : “Yaa, Allah. Tiada sesuatupun yang luput dari pengetahuan Mu, Ampunilah aku dan kakak ku, kabulkanlah segala do’a kakak ku, bersihkanlah hati ku dan berikanlah kemudahan hidup untuk kakakku di dunia dan akhirat,” sang kakak berlinang air mata dan haru biru memenuhi dadanya, tak dinyata adiknya tak pernah satukali pun berdo’a untuk memenuhi nafsu duniawinya.



cahaya hikmah, edisi 06/2006
read more “indahnya berprasangka baik”

KEKAYAAN, KESUKSESAN, DAN KASIH SAYANG


KEKAYAAN, KESUKSESAN, DAN KASIH SAYANG

Suatu ketika, ada seorang wanita yang kembali pulang kerumah, dan ia melihat ada 3 orang pria berjanggut yang duduk di halaman depan. Wanita itu tidak mengenal mereka semua. Wanita itu berkata : “aku tidak mengenal anda, tapi aku yakin anda semua pasti sedang lapar. Mari amsuk kedalam, aku pasti punya sesuatu untuk mengganjal perut.” Pria berjanggut itu lalu balik bertanya, “apakah suamimu sudah pulang?” wanita itu menajwab, “belum, dia sedang keluar.” “oh, kalau begitu, kami tidak ingin masuk. Kami akan menunggu sampai suami mu kembali,” kata pria itu. Di waktu senja, saat keluarga itu berkumpul, sang isteri menceritakan semua kejadian tadi. Sang suami, awalnya bingung dengan kejadian ini, lalu ia berkata pada interinya, “sampaikan pada mereka, aku telah kembali, dan mereka semua boleh masuk untuk menikmati makan malam ini.” Wanita itu kemudian keluar dan mengundang mereka utnuk masuk ke dalam. “Maaf, kami semua tak bisa masuk bersama-sama,” kata pria itu hampir bersamaan. “Lho, kenapa? Tanya wanita itu karena merasa heran. Salah seorang pria itu berkata, “nama dia kekayaan,” katanya sambil menunjuk seorang pria berjanggut di sebelahnya, dan “sedangkan yang ini bernama kesuksesan, sambil memegang bahu pria berjanggut lainnya. Sedangkan aku sendiri bernama kasih sayang. Sekarang, coba tanya kepada suamimu, siapa diantara kami yang boleh masuk kerumahmu.” Wanita itu kembali masuk ke dalam, dan memberitahu pesan pria di luar. Suaminya pun merasa heran. “Ohho... menyenangkan sekali. Baiklah, kalau begitu, coba kamu ajak si kekayaan masuk kedalam. Aku ingin rumah ini penuh dengan kekayaan.” Isterinya tak setuju dengan pilihan itu. Ia bertanya, “sayangku, kenapa kita tak mengundang si kesuksesan saja? Sebab sepertinya kita perlu dia utnuk membantu keberhasilan panen ladang pertanian kita.” Ternyata anak mereka mendengarkan percakapan itu. Ia pun ikut mengusulkan siapa yang akan masuk ke dalam rumah. “bukankah lebih baik jika kita mengajak si kasih sayang yang masuk ke dalam ? rumah kita ini akan nyaman dan penuh dengan kehangatan kasih sayang.” Suami-istri itu setuju dengan pilihan buah hati mereka. “baiklah, ajak masuk si kasih sayang ini kedalam. Dan malam ini, si kasih sayang menjadi teman santap malam ktia.” Wanita itu kembali ke luar, dan bertanya kepada 3 pria itu. “siapa diantara anda yang bernama kasih sayang ? ayo, silakan masuk, anda menjadi tamu kita malam ini.” Si kasih sayang bangkit, dan berjalan menuju beranda rumah. Ohho.. ternyata, kedua pria berjanggut lainnya pun ikut serta. Karena merasa ganjil, wanita itu bertanya kepada si kekayaan dan si kesuksesan. “aku hanya mengundang si kasih sayang yang masuk ke dalam, tapi kenapa kamu ikut juga? Kedua pria yang ditanya itu menjawab bersamaan.


“kalau anda mengundang si kekayaan, atau si kesuksesan, maka yang lainnya akan tinggal di luar. Namun, karena anda mengundang si kasih sayang, makan, kemana pun kasih sayang pergi, kami akan ikut selalu bersamanya. Dimana ada kasih sayang, kami akan ikut selalu bersamanya. Dimana ada kasih sayang, maka kekayaan dan kesuksesan juga akan ikut serta. Sebab, ketahuilah, sebenarnya kami berdua ini buta, dan hanya kasih sayang yang bisa melihat. Hanya dia yang menunjukkan kita pada jalan kebaikan, kepada jalan yang lurus. Maka, kami butuh bimbingannya saat berjalan. Saat kami menjalani hidup ini.”

cahaya hikmah, edisi 04/2007cahaya hikmah, edisi 04/2007
read more “KEKAYAAN, KESUKSESAN, DAN KASIH SAYANG”

WANITA BISU, TULI, BUTA, DAN LUMPUH YANG ENGKAU CINTAI


WANITA BISU, TULI, BUTA, DAN LUMPUH YANG ENGKAU CINTAI

Seorang laki-laki yang saleh bernama Tsabit bin ibrahim sedang berjalan di pinggiran kota Kufah. Tiba-tiba dia melihat sebuah apel jatuh keluar pagar sebuah kebun buah-buahan. Melihat apel ayng merah ranum itu tergeletak di tanah terbitlah air liur tsabit, terlebih-lebih di ahri yang sangat panas dan di tengah rasa lapar dan ahus mendera. Maka tanpa berpikir panjang dipungut dan dimakannyalah buah apel yang terlihat sangat lezat itu. Akan tetapi baru setengahnya di makan ia teringat bahwa buah apel itu bukan miliknya dan dia belum mendapat ijin pemiliknya.

Maka ia segera pergi kedalam kebun buah-buahan itu dengan maksud hendak menemui pemiliknya agar menghalalkan buah apel yang terlanjur dimakannya. Di kebun itu ia bertemu dengan seorang lelaki. Maka langsung saja ia berkata, “aku sudah memakan setengah dari buah apel ini. Aku berharap anda menghalalkannya.” Orang itu menjawab, “aku bukan pemilik kebun ini. Aku hanya khadamnya yang ditugaskan merawat dan mengurusi kebunnya.” Dengan nada menyesal Tsabit bertanya lagi, “dimana rumah pemiliknya ? aku akan menemuinya dan minta agar dihalalkan apel yang telah kumakan ini.” Pengurus kebun itu memberitahukan, “apabila engkau ingin pergi kesana maka engakau harus menempuh perjalanan sehari semalam.”

Tsabit bin ibrahim betekad akan pergi menemui si pemilik kebun itu. Katanya kepada orang tua itu, “tidak mengapa. Aku akan tetap pergi menemuinya, meskipun rumahnya jauh. Aku telah memakan apel yang tidak halal bagiku karena tanpa seijin pemiliknya. Bukankah Rasulullah Saw sudah memperingatkan kita lewat sabdanya : “siapa yang tubuhnya tumbuh dari yang haram, maka ia lebih layak menjadi umpan api neraka.”

Tsabit pergi juga kerumah pemilik kebun itu, dan setibanya disana dia langsung mengetuk pintu. Setelah si pemilik rumah membukakan pintu, Tsabit langsung memberi salam dengan sopan, seraya berkata, “wahai tuan yang pemurah, saya sudah terlanjur makan setengah dari buah apel tuan yang jatuh ke luar kebun tuan. Karena itu sudikah tuan menghalalkan apa yang sudah kumakan itu ?” lelaki tua yang ada di hadapan Tsabit mengamatinya dengan cermat. Lalu dia berkata tiba-tiba, “tidak, aku tidak bisa menghalalkannya kecuali dengan satu syarat.” Tsabit merasa khawatir dengan syarat itu karena takut ia tidak bisa memenuhinya. Maka segera ia bertanya, “apa syarat itu tuan ?” orang itu menjawab, “engkau harus mengawini putriku !”

Tsabit bin ibrahim tidak meahami apa maksud dan tujuan lelaki itu, maka dia berkata, “apakah karena hanya aku makan setengah buah apelmu yang jatuh ke luar kebunmu, aku harus mengawini putrimu ?” tetapi pemilik kebun itu tidak menggubris pertanyaan Tsabit. Ia malah menambahkan, katanya, “sebelum pernikahan dimulai engkau harus tahu dulu kekurangan putriku itu. Dia seorang yang buta, bisu, dan tuli. Lebih dari itu ia juga seorang gadis yang lumpuh !”

Tsabit amat terkejut dengan keterangan si pemilik kebun. Dia berpikir dalam hatinya, apakah perempuan semacam itu patut ia persunting sebagai isteri gara-gara ia memakan setengah buah apel yang tidak dihalalkan kepadanya ? kemudian pemilik kebun itu menyatakan lagu, “selain syarat itu aku tidak bisa menghalalkan apa yang telah kau makan !”

Namun Tsabit kemudian menjawab dengan mantap, “aku akan menerima pinangannya dan perkawinannya. Aku telah bertekad akan mengadakan transaksi dengan Allah Rabbul ‘Alamin. Untuk itu aku akan memenuhi kewajiban-kewajiban dan hak-hakku kepadanya karena aku amat berharap Allah selalu meridhaiku dan mudah-mudahan aku dapat meningkatkan kebaikan-kebaikanku di sisi Allah Ta’ala.” Maka pernikahan pun dilaksanakan. Pemilik kebunitu menghadirkan dua saksi yang akan menyaksikan akad nikah mereka. Sesudah perkawinan usai, Tsabit dipersilakan masuk menemui isterinya. Sewaktu Tsabit hendak masuk kamar pengantin, dia berpikir akan tetap mengucapkan salam walaupun isterinya tuli dan bisu, karena bukankah malaikat Allah yang berkeliaran dalam rumahnya tentu tidak tuli dan bisu juga. Maka ia pun mengucapkan salam, “Assalamu’alaikum...”

Tak dinyana sama sekali wanita yang ada di hadapannya dan kini resmi menjadi isterinya itu menjawab salamnya dengan baik. Ketika Tsabit masuk hendak menghampiri wanita itu, dia mengulurkan tangan utnuk menyambut tangannya. Sekali lagi Tsabit terkejut karena wanita yang kini menjadi isterinya itu menyambut uluran tangannya.

Tsabit sempat terhentak menyaksikan kenyataan ini. “kata ayahnya dia wanita tuli dan bisu tetapi ternayta dia menyambut salamnya dengan baik. Jika demikan berarti wanita yang ada di hadapanku ini dapat mendengar dan tidak bisu. Ayahnya juga mengatakan bahwa dia lumpuh tetapi ternyata dia menyambut kedatanganku dengan ramah dan mengulurkan tangan dengan mesra pula,” kata Tsabit dalam hatinya. Tsabit berpikir mengapa ayahnya menyampaikan berita-berita yang bertentangan dengan kenyataan yang sebenarnya?

Setelah Tsabit duduk disamping isterinya, dia bertanya, “ayahmu mengatakan kepadaku bahwa engkau buta. Mengapa ?” wanita itu kemudian berkata, “ayahku benar, karena aku tidak pernah melihat apa-apa yang diharamkan Allah.” Tsabit bertanay lagi, “ayahmu juga mengatakan bahwa engkau tuli. Mengapa?” wanita itu menajwab, “ayahku benar, karena aku tidak pernah amu mendengar berita dan cerita orang yang tidak membuat ridha Allah. Ayahku juga mengatakan kepadamu bahwa aku bisu dan lumpuh, bukan?” tanya wanita itu kepada Tsabit yang kini sah menjadi suaminya. Tsabit mengagguk perlahan mengiyakan pertanyaan isterinya. Selanjutnya wanita itu berkata, “ aku dikatakan bisu karena dalam banyak hal aku hanya menggunakan lidahku utnuk menyebut asma Allah Ta’ala saja. Aku juga dikatakan lumpuh karena kakiku tidak pernah pergi ke tempat-tempat yang bisa menimbulkan kegusaran Allah Ta’ala.”

Tsabit amat bahagia mendapatkan istri yang ternyata amat saleh dan wanita yang akan memelihara dirinya dan melindungi hak-haknya sebagai suami suami dengan baik. Dengan bangga ia brkata tentang istrinya, “ketika kulihat wajahnya........ Subhanallah, dia bagaikan bulan purnama di malam yang gelap.”

Tsabit dan isterinya yang salihah dan cantik rupawan itu hidup rukun dan berbahagia. Tidak lama kemudian mereka dikaruniai seorang putra yang ilmunya memancarkan hikmah ke penjuru dunia. Itulah Al Imam Abu Hanifah An Nu’man bin Tsabit.



cahaya hikmah, edisi 04/2007
read more “WANITA BISU, TULI, BUTA, DAN LUMPUH YANG ENGKAU CINTAI”

KISAH 3 PEMUDA DI DALAM GUA

KISAH 3 PEMUDA DI DALAM GUA


Ketika tiga orang pemuda sedang berpergian, mereka tertahan oleh hujan dan berlindung di dalam gua di sebuah gunung. Sebongkah besar batu jatuh dari gunung melewati mulut gua tersebut dan menutupinya. Mereka berkata satu sama lain,
Pikirkanlah perbuatan baik yang pernah engkau lakukan di jalan allah, dan berdo’alah kepada Allah dengan menyertakan perbuatan-perbuatan itu sehingga Allah akan membebaskanmu dari kesulitan yang kau hadapi.


Salah satu di antara mereka berkata, Ya Allah! Aku memiliki kedua orangtua yang telah tua renta, dan aku memiliki anak-anak yang masih kecil yang aku telah memberikan susu yang aku miliki kepada kedua orang tuaku terlebih dahulu sebelum memberikannya kepada anak-anakku. Suatu hari, aku pergi jauh untuk mencari tempat merumput ( bagi domba-dombaku ), dan tidak kembali kerumah hingga larut malam dan menemukan kedua orang tuaku sedang tidur. Aku mengisi persediaan makanan dengan susu seperti biasanya dan membawa bejana susu tersebut serta meletakkannya di atas kepala mereka, dan aku pun tidak ingin membangunkan mereka dari ridurnya, dan aku pun tidak ingin memberikan susu tersebut kepada anak-anakku sebelum orang tuaku, walaupun anak-anakku sedang menangis (kelaparan) di bawah kakiku.

Maka keaadanku dan mereka tersebut berlanjut sampai dini hari. (Ya Allah!) Apabila engkau menganggapnya sebagai perbuatan yang kulakukan semata-mata hanya karena Engkau, maka tolonglah bukakan sebuah lubang agar kami dapat melihat langit. Maka Allah membukakan untuk mereka sebuah lubang yang dengannya mereka dapat melihat langit.

Kemudian pemuda yang kedua berkata, Ya Allah! Aku memiliki seorang saudara sepupu yang aku cintai seperti halnya gairah pria mencintai seorang wanita. Aku telah mencoba merayunya tetapi ia menolak hingga aku membayarnya hingga seratus dinar. Maka aku pun bekerja keras sampai dapat mengumpulkan seratus dinar dan aku pergi menemuinya dengan uang itu. Namun ketika aku duduk diantara kedua kakinya, ia berkata : Wahai hamba Allah! Takutlah kepada Allah! Jangan merusakku kecuali dengan cara yang sah (dengan perkawinan)! Maka aku pun meninggalkannya. Ya Allah! Apabila engkau menganggapnya sebagai perbuatan yang kulakukan demi engkau semata, maka biarkanlah batu tersebut bergerak sedikit lagi untuk mendapatkan lubang yang lebih besar. Maka Allah menggeser batu tersebut untuk menjadi lubang yang lebih besar.

Dan pemuda yang terakhir (ketiga) berkata, Ya Allah! Aku mempekerjakan seorang budak dengan upah sebanding dengan satu Faraq beras, dan ketika ia telah selesai dengan tugasnya, ia meminta upah, tetapi ketika aku memberikan upah kepadanya, ia menyerah dan menolak untuk menerimanya. Kemudian aku tetap memberikan beras tersebut kepadanya (beberapa kali) hingga aku dapat membeli dengan harga produksi, beberapa ekor sapi, dan gembalanya. Setelah itu, budak tersebut datang kepadaku dan berkata : (Wahai hamba Allah!) takutlah kepada Allah, dan jangan berbuat tidak adil kepadaku dan berikanlah upahku. Aku berkata (padanya): Pergilah dan ambillah sapi-sapi itu beserta gembalanya. Maka ia pun mengambilnya dan pergi. (Maka, Ya Allah!) Apabila engkau menganggapnya sebagai perbuatan yang kulakukan semata-mata demi Engkau, maka geserlah bagian yang tersisa dari abtu tersebut.

Maka kemudian Allah membebaskan mereka (dari kesulitannya) dan seluruhnya dari mulut gua tersebut.

Cahaya hikmah, edisi 07/2007

read more “KISAH 3 PEMUDA DI DALAM GUA”

ORANG BAIK DAN ORANG DENGKI

ORANG BAIK DAN ORANG DENGKI

Ada seorang lelaki yang setiap hari mengunjungi raja. Setelah bertemu raja, ia selalu berkata, ”orang yang berbuat baik akan mendapat balasan, dan orang yang berbuat buruk, cukup keburukan itu sebagai balasannya.”


Ada seseorang yang dengki melihat keakraban lelaki itu dengan raja. ”Lelaki itu memiliki kedudukan yang dekat dengan raja, setiap hari ia bertemu raja,” pikir si pendengki dengan perasaan kurang senang. Si pendengki kemudian menemui raja dan berkata, ”Lelaki yang setiap hari menemuimu, jika keluar dari sini selalu berbicara buruk tantang kamu. Ia juga berkata bahwa bau mulutmu busuk.” Raja terdiam.

Sekeluarnya dari kerajaan, pendengki duduk di tepi jalan yang biasa dilalui oleh lelaki yang akrab dengan raja. Ketika si lelaki itu lewat dalam perjalanannya menemui raja. Ia menghadangnya, ”Kemarilah, singgahlah kerumahku.”

Setelah temannya singgah kerumahnya, si pendengki menawarkan bawang merah dan bawang putih, dan memaksanya agar ia memakannya. Karena dipaksa, ia akhirnya mau juga memakannya untuk melegakan hati orang itu. Bau bawang merah dan bawang putih itu tentu tidak mudah hilang.

Selesai berkunjung ke tempat si pendengki, lelaki itu sebagaimana biasa mengunjungi raja. Sewaktu berjabatan dengan raja, ia menutup mulutnya agar raja tidak mencium bau mulutnya. ”Rupanya benar perkataan orang itu, ia benar-benar menganggqap mulutku bau,” pikir raja. Sang raja kemudian memikirkan suatu rencana jahat. Lelaki itu kemudian duduk dan berkata sebagaimana biasa, ”Orang yang berbuat baik akan mendapat balasan, dan orang yang berbuat buruk, cukup keburukan itu sebagai balasannya.”

Setelah merasa waktu berkunjungnya cukup, ia kemudian pamit kepada raja. Raja berkata, ”Bawalah surat ini dan serahkanlah pada fulan.” Surat itu berisi, ”Jika sampai kepadamu pembawa surat ini, maka sembelih dan kulitilah dia, kemudian isilah tubuhnya dengan jerami.”

Lelaki tadi keluar membawa surat raja. Di tengah jalan ia dihadang oleh si pendengki.

”Apa yang kamu bawa?” tanyanya. ”Surat raja untuk fulan. Surat ini beliau tulis dengan tangannya sendiri. Biasanya beliau tidak pernah menulis surat sendiri, kecuali dalam urusan pembagian hadiah.” ”Berikanlah surat itu kepadaku, aku ini sedang butuh uang,” pintanya.

Ia kemudian menceritakan kesulitan hidupnya. Karena kasiha, surat itu kemudian di serahkan kepada si pendengki. Si pendengki menerimanya dengan senag hati. Setelah sampai di tempat tujuan, ia menyerahkan surat itu kepada teman raja. ”Masuklah kesini, raja menyuruhku membunuhmu,” kata teman raja. ”Yang dimaksudkan bukan aku, coba tunggulah sebentar biar kujelaskan,” katanya ketakutan. ”Perintah raja tak bisa ditunda,” kata teman raja. Ia lalu membunuh, menguliti dan mengisi tubuh si pendengki dengan jerami.

Keesokan harinya, lelaki itu datang sebagaimana biasa dan berkata, ”Orang yang berbuat baik akan mendapat balasan, dan orang yang berbuat buruk, cukup keburukan itu sebagai balasannya.” Raja heran melihatnya masih hidup. Setelah diselidiki, terbongkarlah keburukan si pendengki.

”Tidak ada sesuatu yang terjadi antara aku dengannya, hanya saja kemarin ia mengundangku kerumahnya dan memaksaku makan bawang merah dan putih. Waktu aku menemuimu kututup mulutku agar kamu tidak mencium bau tidak sedap dari mulutku. Sekeluarnya dari sini, ia menemuiku dan menanyakan titipanmu,” kemudian lelaki itu menceritakan semua yang terjadi.

Mendengar jalannya cerita, tahulah raja bahwa orang itu dengki kepada sahabatnay. ”Benar ucapanmu, orang yang berbuat baik akan mendapat balasan, dan orang yang berbuat buruk, cukup keburukan iru sebagai balasannya.”

Kedengkian di hati orang itu telah membunuh dirinya sendiri. Dengki itu merusak amal Dengki memakan kebaikan seperti api memusnahkan kayu bakar. (HR Ibnu Majah)

Kedengkian seseorang hanya akan berakinat buruk bagi orang itu sendiri.

Cahaya hikmah, edisi 07/2007

read more “ORANG BAIK DAN ORANG DENGKI”

Bukan Dua Kaki


Bukan Dua Kaki

Shofa masih sibuk mengaduk-aduk masakan yang ada dalam panic. Tiba-tiba ia teringat, ini sudah jam 1 lewat. Segera ia menyalakan radio kecil yang berada di atas lemari makan dekat kompor. Shofa hampir tak pernah ketinggalan acara-acara yang diisi Ustadz Hanif. Setiap jam 5 pagi, sehabis Subuh, adalah acara rutin Shofa mendengarkan kuliah Subuh di Radio Al-Quds. Shofa bahkan hafal jam berapa dan acara apa saja yang diisi oleh Ustadz Hanif. Hal ini sudah berlangsung tiga tahun lebih.

Entah mengapa, Shofa merasa cocok sekali dengan ustadz yang satu ini. Kalau bicara tak pernah bertele-tele dan selalu mengena di hati. Apa saja yang dibahas pasti actual, sesuai dengan masalah yang terjadi di sekitar. Kalau bicara tentang aqidah, Ustadz Hanif selalu tegas, tidak bisa ditawar-tawar. Tapi kalau membahas masalah ibadah, dengan sabar Ustadz Hanif menjelaskan satu persatu pemecahan dari berbagai pendapat ulama. Biasanya ia merekomendasikan salah satu pemecahan yang punya dasar paling kuat. Walau begitu, ia tetap menyerahkan kepada pendengar, pendapat mana yang akan dipakai. Suatu penyelesaian yang cantik. Tidak fanatic terhadap satu pendapat tertentu.

“Shofa belum pulang?” sapa Bu Arif, pengurus TPA tempat Shofa mengajar. Shofamenoleh, “Belum Bu. Masih memeriksa pekerjaan anak-anak.” “Bisa mampir ke rumah? Bapak mau bicara. Katanya pentingtuh!”

“Sekarang Bu?”

“Ya, kalau Shofa sedang tidak repot.”

Shofa membereskan kertas-kertas yang berserakan di atas karpet masjid lalu berjalan mengikuti Bu Raif. Rumah Bu Arif tidak jauh dari masjid tempat Shofa dan beberapa orang temannya mengajar anak-anak TPA. Hanya beberapa puluh meter saja. Pak Arif dan Bu Arif adalah orang yang peduli dengan masalah keagamaan dikompleks itu. Mereka mempelopori dibukanya TPA. Pak Arif juga selalu menghimbau bapak-bapak di kompleks untuk shalat berjamaah.

“Assalamu’alaikum,” ucap Shofa dan Bu Arif berbarengan. “Wa’alaikum salam,” jawab Pak Arif dari dalam. “Silahkan masuk nak Shofa. Bagaimana nak Shofa, keadaan TPA sekarang?”

“Alhamdulillah Pak. Anak-anak semakin rajin. Jarang ada yang bolos. Mereka cepat menyerap apa yang saya ajarkan.” Jawab Shofa. “Bagus! Bagus! Alhamdulillah.” Kata Pak Arif. “Begini nak Shofa, Bapak ingin bicara dengan nak Shofa bukan mau membahas TPA. Ada hal yang lain”

Pak arif terdiam. “Begini nak Shofa……. Apakah nak Shofa sudah siap menikah?”

Shofa tersenyum. “Niat sudah ada. Usia saya sudah cukup Pak. Tapi…… belum ada jodohnya.” “Hmmmm…… Begitu ya,” Pak Arif berdehem sambil mengelus-elus jenggotnya. “Bapak punya teman baik. Dia sangat sholeh dan sedang mencari pendamping hidup. Bapak dan Ibu berasa nak Shofa cocok dengan dia.”

“Ah Pak Arif bisa saja. Bagaimana Bapak tahu saya cocok dengan dia?” Tanya Shofa tersipu.

“Lho…. Bapak dan Ibu kan sudah lama memperhatikan nak Shofa. Nak Shofa ini gadis yang shalehah dan pandai menjaga diri. Begitu pula dengan teman Bapak ini. Dia shaleh dan berakhlak baik. Nah…. Kalau begini, apa bukan cocok namanya? Iya tho Bu?” jelas Pak Arif.

“Iya…. Iya!” Bu Arif manggut-manggit menimpali suaminya.

“Kalau nak Shofa setuju, Bapak bisa ajak teman Bapak kesini untuk dipertemukan dengan Shofa,” Pak Arif melanjutkan. “Bagaimana nak Shofa?”

“Bapak ini kok langsung main Tanya. Bapak kan belum cerita yang mau dikenalkan ini siapa, bagaimana,”tukas Bu Arif

“Wah…….Dari tadi Bapak belum cerita ya? Teman Bapak ini masih muda. Lulusan S1 dan S2 dari Al-Azhar Kairo. Dia juga hafidz Al-Qur’an.”

“Hafidz Qur’an?” gumam Shofa dalam hati. Salah satu do’a yang ia panjatkan adalah mendapatkan pasangan hidup yang hafal Al-Qur’an, karena ia sendiri sedang berusaha menjadi Hafidzhah. “Sehari-harinya dia bekerja di Lembaga Pengembangan Dakwah, mengajar di beberapa tempat, sering mengisi ceramah. Dia mengisi acara di radio Al-Quds,” papar Pak Arif. “Radio Al-Quds? Saya pendengar setia Radio Al-Quds lho pak. Namanya siapa pak,mungkin saja saya pernah mendengar, :kata Shofa. “Namanya Hanif Ibrahim.”

Deg! Jantung Shofa serasa berhenti berdetak selama sepersekian detik. Nama itu demikian dikenalnya dalam tiga tahun terakhir ini. Nama itu adalah salah satu tempatdirinya menimba ilmu tentang ke-Islaman lewat radio. Tausiyah-tausiyah melalui radio itu pula yang membuat Shofa jadi banyak berpikir, lalu berhijrah dan memutuskan untuk menjadi muslimah yang kaffah.

Bu Arif menangkap adanya perubahan pada rona wajah Shofa. “Ada apa Shofa?” “Saya sering mendengarkan beliau ceramah di radio.”

“Nah…. Jadi sebetulnya sudah kenal tho, walaupun Cuma dari radio, “Pak Arif terkekeh. “Bagaimana, kapan nak Shofa siap bertemu Hanif?” “Kapan saja, terserah Bapak. Tapi saya harus cerita dulu kepada Ibu tentang masalah ini,” jawab Shofa. “Ohhh….. ibumu sudah tahu. Kami sudah cerita. Malah ibumu bilang, kami disuruh langsung tanya saja ke nak Shofa. Ibumu setuju kok,” ujar Pak Arif.

Sepulangnya dari rumah kedua orangtua yang sudah dianggapnya keluarga itu, Shofa bagai tak percaya apa yang baru saja terjadi. “Benarkah Ustadz Hanif jodohku?” tanyanya dalam hati. Walaupun belum pernah bertemu, tapi Shofa merasa telah sangat mengenal Hanif. Diam-diam sebentuk kekaguman telah bersemayam dalam hatinya. Tidak ada cara lain bagi Shofa selain mengadukan permasalahannya ini kepada Allah. Dihabiskannya malam-malam panjang di atas sajadah dengan bermunajat.

Dua bulan kemudian, tibalah saat pertemuan Shofa dengan Hanif. Hari itu Shofa tampak manis. Tubuhnya dibalut gamis biru dan jilbab lebar berwarna putih. Ia berjalan menuju rumah Pak Arif dengan penuh kemantapan hati, buah dari istikharahnya.

“Assalamu’alaikum,” Shofa mengucap salam di depan pintu. “Wa’alaikumussalam. Nak Shofa ayo masuk. Pak Arif belum datang. Sedang menjemput Hanif,” jawab Bu Arif. Sambil menunggu, Bu Arif memberikan wejangan bagaimana menjadi istri shalehah dengan mengutip beberapa ayat dan hadits. Shofa mendengarkan dengan takzim. Sesekali mengangguk.

Tiba-tiba, pintu ruang tamu terbuka lebar. Lalu muncul sesuatu yang tak disangka-sangka. Sebuah kursi roda yang berjalan tersendat karena terbentur pintu, sesosok tubuh dengan satu kaki yang duduk di atas kursi roda sambil tersenyum. Shofa terhenyak, memandang tak percaya. “Inilah Ustadz Hanif?” Berbagai gejolak rasa menyergap dengan cepat. Shofa berusaha menenangkan perasaannya. Suasana hening. Shofa bagai mampu mendengar suara detak jantungnya sendiri.

“Nak Shofa, ini Hanif yang Bapak ceritakan dulu,” kata Pak Arif memecah kesunyian.

“Assalamu’alaikum dik Shofa,” kata Hanif. “Wa’alaikumssalam,” jawab Shofa. Ah, suaranya tidak berbeda dengan di radio. Tetap berkharisma.

“Alhamdulillah, Allah mengijinkan kita untuk bertemu hari ini. Pak Arif mungkin sudah cerita, saya memang punya niat untuk melaksanakan sunnah Rasulullah yaitu menikah. Saya minta dicarikan calon oleh Pak Arif. Cuma….. memang keadaan saya seperti ini. Sebulan yang lalu saya kecelakaan.. mobil saya tabrakan dengan truk. Tangan kiri saya lumpuh dan kaki kiri harus diamputasi.

Apapun yang terjadi sudah kehendak Allah. Kaki saya memang tidak bisa kembali. Tapi tangan kiri saya sedang diterapi. Kata dokter kemungkinan besar bisa pulih. Insya Allah, saya pun ingin tidak terlalu lama bergantung pada kursi roda. Kalau sudah membaik, saya akan menggunakan kruk saja.” Kata-kata mengalir deras dari bibir Hanif.

Shofa mengangkat wajahnya sedikit dan melihat sekilas kea rah Hanif. “Subhanallah. Wajahnya tenang sekali. Bahkan berseri-seri. Ada keikhlasan yang terpancar dari wajahnya.” Bathin Shofa.

“Saya tidak heran jika dik Shofa tidak berkenan dengan keadaan saya. Inilah saya. Mungkin saya yang terlalu berani tetap berniat menikah dengan kekurangan fisik saya. Tapi, justru dengan kondisi ini saya sangat membutuhkan kehadiran seorang istri.”

Shofa diam tak bergeming. Di hadapannya sekarang, duduk seorang laki-laki yang memiliki kelebihan-kelebihan yang didambakannya selama ini. Sosok seorang suami yang sempurna. Ilmu agamanya bagus, shaleh, berakhalak muloia, dan seorang hafidzh. Cita-cita Shofa adalah memiliki anak-anak yang menjadi generasi penghafal dan pengamal Al-Qur’an. Bukanlah ustadz Hanif adalah sosok yang tepat? Kekurangannya hanya satu, fisiknya cacat tak sempurna.

“Hanif, mungkin nak Shofa belum bisa mengambil keputusan cepat-cepat. Dia tentunya perlu menimbang-nimbang. Kita beri saja waktu, mudah-mudahan nak Shofa bisa segera memberikan jawaban. Begitu ya nak Shofa?” Pak Arif berusaha menengahi suasana senyap di antara mereka.

Shofa masih saja diam tak menjawab. Sibuk berdialog dengan batinnya. Tiba-tiba saja Shofa mengangkat wajahnya. “Saya sudah shalat istikharah sejak pertama kali Pak Arif mau mengenalkan saya dengan ustadz Hanif.” “Silahkan dik Shofa, saya akan coba menjawab,” kata Hanif.

“Untuk dapat membawa istri dan anak-anaknya ke dalam surga, apakah seorang laki-laki harus mempunyai dua kaki?” Tanya Shofa. Hanif tersenyum. “Tentu saja tidak. Bukan butuh dua kaki. Yang dibutuhkan adalah landasan aqidah, ibadah, dan akhlak yang lurus dan kuat. Dan juga kemampuan untuk mendidik.” Shofa memandang bergantian ke arah Pak Arif, Bu Arif dan Hanif. Bibirnya membiaskan senyum yang lebar. “Saya udah mantap. Saya tidak membutuhkan suami dengan dua kaki.” “Alhamdulillah!” berbarengan Pak Arif, Bu Arif, dan Hanif berseru.

Resepsi pernikahan baru saja usai. Shofa mendorong kursi roda Hanif menuju kamar pengantin. Kedua pengantin itu berwajah cerah ceria. Hanif begitu tampan dan gagah dengan jas dan kopiah hitam. Shofa tampak cantik, bergaun putih dan jilbab yang diberi rangkaian melati.

Hanif meletakkan tangannya di atas kening istrinya, lalu membaca doa, “Dengan nama Allah, jauhkanlah kami dari godaan syetan dan dekatkanlah dengan apa yang Engkau rizkikan, anak-anak kepada kami.”

Shofa menggamit dan mencium tangan suaminya dengan takzim. “Kak Hanif, boleh Shofa mengutarakan sesuatu?” Tanya Shofa.

“Boleh. Apa itu?” Hanif tersenyum lebar. “Shofa cinta Kak Hanif karena Allah,” Shofa bicara sambil menunduk malu-malu.

“Kak Hanif juga cinta dik Shofa karena Allah.” Hanif menyentuh dagu Shofa, mengangkat wajahnya. Mereka bertatapan. Lekat. Ada debur yang menggelora di jiwa mereka berdua. “Lho kok nunduk. Kita sudah resmi suami istri. Pandang kak Hanif dong!” Hanif menggoda Shofa. Shofa memandang Hanif tersipu.

“Ayo kita shalat dulu,” kata Hanif. “Shofa Bantu kak Hanif wudhu ya,” Shofa langsung beranjak dari duduknya dan mendorong kursi roda kekasih jiwanya ke kamar mandi.

Bersama percikan air wudhu yang menetes, Allah tebarkan rahmat dan cinta di antara kedua makhluk kecintaanNya.

Terinspirasi dari Syekh Ahmad Yasin yang tetap berjihad dari kursi roda hingga syahidnya.

Cahaya Hikmah, edisi 22/2008

read more “Bukan Dua Kaki”

INDAHNYA MENAHAN MARAH


INDAHNYA MENAHAN MARAH

“Siapa yang menahan marah, padahal ia dapat memuaskan pelampiasannya, maka kelak pada hari kiamat, Allah akan memanggilnya di depan sekalian makhluk. Kemudian, disuruhnya memilih bidadari sekehendaknya.”

(HR. Abu Dawud At-Tirmidzi)

Tingkat keteguhan seseorang dalam menghadapi kesulitan hidup memang berbeda-beda. Ada yang mampu menghadapi persoalan yang sedemikian sulit dengan perasaan tenang. Namun, ada pula orang yang menghadapi persoalan kecil saja ditanggapinya dengan begitu berat. Semuanya bergantung pada kekuatan mana’wiyah (keimanan) seseorang.

Pada dasarnya, tabiat manusia yang beragam: keras dan tenang, cepat dan lambat, bersih dan kotor, berhubungan erat dengan keteguhan dan kesabarannya saat berinteraksi dengan orang lain. Orang yang memiliki keteguhan dan kesabarannya saat berinteraksi dengan orang lain. Orang yang memiliki keteguhan iman akan menyelusuri lorong-lorong hati orang lain dengan respon pemaaf, tenang, dan lapang dada. Adakalanya, kita bisa merasa begitu marah dengan seseorang yang menghina diri kita. Kemarahan kita begitu memuncak seolah jiwa kita terlempar dari kesadaran. Kita begitu merasa tidak mampu menerima penghinaan itu. Kecuali, dengan marah atau bahkan dengan cara menumpahkan darah. Na’udzubillah.

Menurut riwayat, ada seorang Badwi datang menghadap Nabi SAW. Dengan maksud ingin meminta sesuatu pada beliau. Beliau memberinya, lalu bersabda, “Aku berbuat baik padamu. “Badwi itu berkata, “Pemberianmu tidak bagus.” Para sahabat merasa tersinggung lalu ngerumuninya dengan kemarahan. Namun, Nabi memberi isyarat agar mereka bersabar. Kemudian, Nabi SAW. Pulang ke rumah. Nabi kembali dengan membawa barang tambahan untuk diberikan ke Badwi. Nabi bersabda pada Badwi itu, “Aku berbuat baik padamu?” Badwi berkata, “Ya, semoga Allah membalas kebaikan Tuan, keluarga dan kerabat.”

Keesokan harinya, Rasulullah SAW. Bersabda kepada para sahabat, “Nah, kalau pada waktu Badwi itu berkata yang sekasar engkau dengar, kemudian engkau tidak bersabar lalu membunuhnya. Maka, ia pasti masuk neraka. Namun, karena saya bina dengan baik, maka ia selamat.”

Beberapa hari setelah itu, si Badwi mau diperintah untuk melaksnakan tugas penting yang berat sekalipun. Dia juga turut dalam medan jihad dan melaksanakan tugasnya dengan taat dan ridha. Rasulullah SAW memberikan contoh kepada kita tentang berlapang dada. Ia tidak panic menghadapi kekasaran seorang Badwi yang memang demikianlah karakternya. Kalau pun saat itu, dilakukan hukuman terhadap si Badwi, tentu hal it bukan kezhaliman. Namun, Rasulullah SAW. Tidak berbuat demikian. Beliau tetap sabar menghadapinya dan memberikan sikap yang ramah dan lemah lembut. Pada saat itulah, beliau SAW. Ingin menunjukkan pada kita bahwa kesabaran dan lapang dada lebih tinggi nilainya daripada harta benda apapun. Harta, saat itu, ibarat sampah yang bertumpuk yang dipakai untuk suguhan unta yang ngmuk. Tentu saja, unta yang telah mendapatkan kebutuhannya akan dengan mudah dapat dijinakkan dan bisa digunakan untuk menempuh prjalanan jauh.

Adakalanya, Rasulullah SAW. Juga marah. Namun, marahnya tidak melampaui batas kemuliaan. Itu pun ia lakukan bukan karena masalah pribadi melainkan karena kehormatan agama Allah. Rasulullah SAW. Bersabda, “Memaki-maki orang muslim adalah fasik (dosa), dan memeranginya adalah kufur (keluar dari islam).” (HR. Bukhari) Sabdanya pula, “Bukanlah seorang mukmin yang suka mencela, pengutuk, kata-katanya keji dan kotor.” (HR. Turmudzi)

Seorang yang mampu mengendalikan nafsu ketika marahnya berontak, dan mampu menahan diri di kala mendapat ejekan, maka orang seperti inilah yang diharapkan menghasilkan kebaikan bagi dirinya maupun masyarakatnya.

Seorang Hakim yang tidak mampu menahan marahnya, tidak akan mampu memutuskan perkara dengan adil. Dan, seorang pemimpin yang mudah tersulut nafsu marahnya, tidak akan mampu memberikan jalan keluar bagi rakyatnya. Justru, ia akan senantiasa memunculkan permusuhan di masyarakatnya. Begitu pun pasangan suami-isteri yang tidak memiliki ketenangan jiwa. Ia tidak akan mampu melayarkan laju bahtera hidupnya. Karena, masing-masing tidak mampu memejamkan mata atas kesalahan kecil pasangannya.

Bagi orang yan gimannya telah tumbuh dengan suburnya dalam dadanya. Maka, tumbuh pula rasa kesadarannya dan kemurahan hatinya. Kesabarannya pun bertambah besar dalam menghadapi sesuatu masalah. Tidak mudah memarahi seseorang yang bersalah dengan begitu saja, sekalipun telah menjadi haknya.

Orang yang demikian, akan mampu menguasai dirinya, menahan amarahnya, mengekang lidahnya dari pembicaraan yang tidak patut. Wajib baginya, melatih diri dengan cara membersihkan dirinya dari penyakit-penyakit hati. Seperti, ujub dan takabur, riya, sum’ah, dusta, pengadu domba dan lain sebagainya. Dan menyertainya dengan amalan-amalan ibadah dan ketaatan kepada Allah, demi meningkatkan derajat yang tinggi di sisi Allah SWT.

Dari Abdullah bin Shamit, Rasulullah SAW. Bersabda, “Apakah tiada lebih baik saya beritahukan tentang sesuatu yang dengannya Allah meninggikan gedung-gedung dan mengangkat derajat seseorang?”

Para sahabat menjawab, “Baik, ya Rasulullah SAW bersabda, “Berlapang dadalah kamu terhadap orang yang membodohi kamu. Engkau suka memberi maaf kepada orang yang telah menganiaya kamu. Engkau suka memberi kepada orang yang tidak pernah memberikan sesuatu kepadamu. Dan, engkau mau bersilaturahim kepada orang yang telah memutuskan hubungan dengan engkau.” (HR. Thabrani)

Sabdanya pula, “Bahwasanya seorang hamba apabila mengutuk kepada sesuatu, naiklah kutukan itu ke langit. Lalu, dikunci pintu langit-langit itu buatnya. Kemudian, turunlah kutukan itu ke bumi, lalu dikunci pula pintu-pintu bumi itu baginya. Kemudian, berkeliaranlah ia kekanan dan kekiri. Maka, apabila tidak mendapat tempat baru, ia pergi kepada yang dilaknat. Bila layak dilaknat (artinya kalau benar ia berhak mendapat laknat), tetapi apabila tidak layak, maka kembali kepada orang yang mengutuk (kembali ke alamat si pengutuk).” (HR. abu Dawud)

Cahaya hikmah, edisi 22/2008

read more “INDAHNYA MENAHAN MARAH”

DIARY HATI UNTUK RICKY

(kuasa Allah pada seorang muslim)

Duhai sayang...

Bekahan hati pujaan ibu seorang

Apa kabar dirimu saat ini, nak?

Anakku...

Inilah suara ahti ibu utnukmu

Tanda cinta tiada tepi, walau engkau telah jauh dari sisiku

Anakku sayang...

Izinkan aku bertutur tentang dirimu, nak. Kepada semua orang, kuingin bercerita tentang betapa namamu selalu menggoreskan berjuta kenangan. Engkau belahan jiwa yang pernah tak kuharapkan awal kehadirannya. Namun, ternyata dari dirimu jua aku dapat belajar tentang makna ikhlas dan sabar akan sebuah keniscayaan.

13 Desember 1996

Oee....oee... Ya Allah, amanahMu telah lahir utnuk menyapa dunia. Ini ibu, sayang. Kemarilah, agar dapat kau hirup air susu beraroma surga. Akan aku tawarkan pula cinta seorang ibunda. Lengking tangismu terdengar indah, nak, seperti bayi-bayi lainnya. Namun entahlah, gerakan reflek kedua bola mata itu sepertinya tak sama.

1997

Setahun telah berlalu. Engaku terlihat berbeda, tak seperti kedua kakak perempuanmu. Ada apa denganmu, nak? Kudekap dirimu, biar dapat aku alirkan kekuatan cinta seorang ibu. Bersabarlah saat begitu banyak alat-alat menyiksa tubuh kecilmu, nak. Jangan! Jangan kau tatap aku dengan osrot mata bertanya, mengapa? Kalaulah engkau tahu, aku pun tak tega melihat engkau diperlakukan seperti mitu.

Namun syukurlah... Engkau diperkirakan normal, walau harus mengalami beberpa kali pemeriksaan.

Tapi aku ibumu, dan dari rahim ini engkau ada di dunia. Batin ini tak dapat dibohongi, karena engkau dan aku disatukan oleh ikatan hati. Kubiarkan air mata ini terus beruah, ketika engkau yang masih kecil kembali lagi diperiksa. Syaraf, otak, juga pembuluh darah. Lagi, alat-alat canggih itu menyakitimu, nak.

Anakku sayang...engkau pasti sakit. Kalaulah boleh, biar saja ibu yang merasakan itu. Tapi bertahanlah, karena selalu ada ibi disisimu.

Mei 1998

Astaghfirullah...Jakarta resah, merah putih gelisah. Kerusuhan terjadi dimana-mana. Orang tuamu ini pun terkena damapaknya. Bapakmu yang bekerja dipabrik tekstil diberhentikan dari pekerjaannya. Tak lama kemudian, kita juga haurs pindah dari rumah kotrakan karena anak pemilik rumah ini mau menempatinya. Tak cukup hanya itu, sayang. Ternyata hasil pemeriksaan terbaru membawa kabar buruk, dirimu mengalami kelainan kromosom dengan translokasi Robertson.

Nak...Air mata ini rasanya taka kan pernah mengering. Tak kunjung usai cobaan yang datang menghampiri kita. Semoga ini tanda Allah sayang kepada hamba-hambaNya.

1999

Nak... dirimu mulai terlihat gagah. Lihatlah, engkau mulai belajar menapak meski dengan bantuan kettler, karena kedua tungkai kakimu membentuk X dan tak sama tingginya. Melangkahlah terus sayang, walau goyah. Ucapkan kata yang kau bisa, karena aku abhagia mendengarnya. Tataplah dunia, dengan juling bola mata dan tebalnya kacamata. Bukankah dengan itu pun dapat kau lihat keindahan alam semesta?

Tahun Ajaran 2000-2001

Alhamdulillah...syukur tak henti kuucapkan kepada Allah. Begitu banyak orang yang menyayangimu, nak. Sahabat dan saudara begitu berlimpah. Persahabatan memang indah, karena saat resah kita dapat berbagi duka. Biaya besar untuk pendidikan di sekolah terapi khusus untuk anak sepertimu, seperti menjadi begitu mudah. Kadang aku sering bertanya, mengapa mereka begitu memperhatikanmu, sayang. Tapi kutahu jawabannya, hanya cinta yang dapat mengikat hati-hati kita.

Juni 2003

Waktu terus bergulir lamban. Setiap saat, kutatap wajahmu ketika lelap. Perlahan, kucium engkau dengan mesra. Tak lupa aku bersyukur melihat engkau tumbuh dan berkembang, meski semakin jelas tampak berbeda. Dirimu semakin mengisi setiap sudut hatiku. Melahirkan kasih putih yang berlimpah ruah. Menciptakan rasa cinta yang begitu membuncah. Rasa itu semakin hari membuat aku jadi khawatir kehilanganmu, nak.

Namun....adakah seorang ibu yang tak takut kehilangan buah hatinya? Kepada Allah jua kumohonkan do’a, agar IA selalu menjaga dirimu, sayang.

Jum’at, 11 juli 2003

Hari ini, engkau mengeluh kepalamu pusing. Tak perlu khawatir, kata dokter yang memeriksamu dua hari setelah itu. Namun besoknya tubuhmu menggigil. Apakah engkau keracunan obat, nak? Reguk-lah, air kelapa hijau yang kuberikan pasamu. Ternayta dirimu terkena demam berdarah, ketika selasa menjelang maghrib kubawa engkau ke rumah sakit.

Ya Allah....Ternayta engkau harus rawat inap ICU, sayang. Cobalah untuk istirahat, pejamkan mata di ruangan serba putih itu.

Rabu, 16 Juli 2003 : Pukul 4-5

Aduh.... terdengar di dini hari ini engkau beteriak, sakit. Kejang! Tubuhmu bagai menggelepar. Sabar dan cobalah untuk tabah, sayang. Namun kurasakan aura sakratul maut itu perlahan mulai merenggut engkau dari aku.

Mari-lah kutuntun, nak. Ikuti apa kata ibu. Laa ilaha alla Allah... Ricky anak ibu, laa ilaha illa Allah...

Kemudian, matamu menatapku. Duhai, inikah tanda perpisahan itu?

Pukul 5.40

Akhirnya.... usai sudah perjalanan hidupmu di dunia fana. Pergilah dengan tenang. Biarkan jiwa sucimu melayang, didekap dengan selimut kasih sayang para malaikat. Ibu, bapak dan juga kakak-kakakmu ikhlas, nak.

Kelak, tak akan pernah engkau dengar teman-temanmu berteriak bahwa kau orang gila. Karena engkau sehat dan normal, sayang. Kalaulah dirimu terlihat berbeda dimata mereka, bukankah engkau pun tak pernah menginginkannya?

Anakku sayang.... suatu saat, pernah tak kuharapkan kehadiranmu di rahim ibu. Sering pula aku menangis karena kehendak-Nya menitipkan engkau padaku. Bila menurutkan kata hati ini, sekarang pun aku ingin menangisi kepergianmu, nak. Tapi aku malu kepada Allah, karena IA lebih tahu tentang makna cinta. Berapa juga besarnya yang ada pada manusia, tapi Allah-lah Sang Pemilik Cinta.

Selamat jalan, sayang....bermainlah di alammu sana, bercanda riang penuh tawa.

Semoga pula Allah mengampuni segala dosa yang pernah kulakukan. Percayalah, betapa sebenarnya ibu teramat sayang kapadamu. Tunggulah ibu, nak. Nanti akan kembali kupeluk engkau sepenuh hatiku.

Wallahu a’lamu bish-shawaab.

cahaya hikmah, edisi 07/2007

Kisah Pohon Apel

Kisah Pohon Apel

Suatu ketika, hiduplah sebatang pohon apel besar dan anak lelaki yang senang bermain-main di abwah pohon apel itu setiap hari. Ia senang memanjatnya hingga ke pucuk pohon, memakan buahnya, tidu-tiduran di keteduhan rindang daun-daunnya. Anak lelaki itu sangat mencintai pohon apel itu. Demikian pula pohon apel sangat mencintai anak kecil itu.

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjGWndwpp8metVHYX_8Bqdj9czYqd53rJ7y0uBO2Zf38mMNd1hlzMXXcAXz58tGsSFbasi1XJ4SkXwzBqYjOAxz4DW9gHusqFBkc6NqAm0faKuRrDa739vfioxUhBG7sJZlXd6PMrww4ZiA/s320/apple_tree.gif

Waktu terus berlalu. Anak lelaki itu kini telah tumbuh besar dan tidak lagi bermain-main dengan pohon apel itu setiap harinya. Suatu hari ia mendatangi pohon apel. Wajahnya tampak sedih. “ayo kesini bermain-main lagi denganku,”pinta pohon apel itu. “aku bukan anak kecil ayang bermain-main dengan pohon lagi,” jawab lelaki itu. “aku ingin sekali memiliki mainan, tapi aku tak punya uang utnuk membelinya.” Pohon apel itu menyahut, “duh, maaf aku pun tak punya uang....tetapi kau boleh mengambil semua apelku dan menjualnya. Kau bisa mendapatkan uang untuk membeli maianan kegemaranmu.” Anak lelaki itu sangat senang. Ia lalu memtik semua buah apel yang ada di pohon dan pergi dengan sukacita. Namun, setelah itu anak lelaki tak pernah datang lagi. Pohon apel itu kembali sedih. Suatu hari anak lelaki itu datang lagi. Pohon apel sangat senang melihatnya datang. “ayo bermain-main denganku lagi,” kata pohin apel. “aku tak punya waktu ,” jawab anak lelaki itu. “aku ahrus bekerja untuk keluargaku. Kami mmebutuhkan rumah untuk tempat tinggal. Maukah kau menolongku?” “duh, maaf aku pun tak memiliki rumah. Tapi kau boleh menebang semua dahan rantingku untuk membangun rumahmu,” kata pohon apel. Kemudian anak lelaki itu menebang semua dahan dan ranting pohon apel itu dan pergi dengan gembira. Pohon apel itu juga merasa bahagia melihat anak lelaki itu senang, tapi anak lelaki itu tak pernah kembali lagi. Pohon apel itu merasa kesepian dan sedih. Pada suatu musin panas, anak lelaki itu datang lagi. Pohon apel merasa sangat bersukacita menyambutnya. “ayo bermain lagi denganku,” kata pohon apel. “aku sedih,” kata anak lelaki itu. “aku sudah tua dan ingin hidup tenang. Aku ingin pergi berlibur dan berlayar. Maukah kau memberi aku sebuah kapal untuk pesiar?” “duh, maaf aku tak punya kapal, tapi kau boleh memotong batang tubuhku dan menggunakannya untuk membuat kapal yang kau mau. Prgilah berlayar dan bersenang-senanglah.” Kemudian, anak lelaki itu memotong batang pohon apel dan membuat kapal yang diidamkannya. Ia lalu pergi berlayar dan tak pernah datang lagi menemui pohon apel itu. Akhirnya, anak lelaki itu datang lagi setelah bertahun-tahun kemudian. “maaf anakku,” kata pohon apel itu. “aku sudah tidak memiliki buah apel lagi untukmu.” “tak apa. Aku pun sudah tak memiliki gigi untuk menggigit buah apelmu,” jawab anak lelaki itu. “aku juga tak memiliki batang dan dahan ayng bisa kau panjat,” kata pohon apel. “sekarang aku sudah terlalu tua untuk itu,” jawab anak lelaki itu. “aku benar-benar tak memiliki apa-apa lagi yang bisa kuberikan padamu. Yang tersisa hanyalah akar-akarku yang sudah tua san sekarat ini,” kata pohon apel itu sambil menitikkan air mata. “aku tak memerlukan apa-apa lagi sekarang,” kata anak lelaki. “aku hanya membutuhkan tempat untuk beristirahat. Aku sangat lelah setelah sekian lama meninggalkanmu.” “oooh, bagus sekali. Tahukah kau, akar-akar pohon tua adalah tempat yang terbaik untuk berbaring dan beristirahat. Mari, marilah berbaring di pelukan akar-akar pohon. Pohon apel itu sangat gembira dan tersenyum sambil menitikkan airmatanya. Ini adalah cerita tentang kita semua. Pohon apel itu adalah orang tua kita. Ketika kita muda, kita senang bermain dengan ayah dan ibu kita. Ketika kita tumbuh besar kita meninggalkan mereka, dan hanya datang ketika kita memerlukan sesuatu atau dalam kesulitan. Tak peduli apapun, orang tua kita akan selalu ada di sana untuk memberikan apa yang bisa mereka berikan untuk membuat kita bahagia. Anda mungkin berpikir bahwa anak lelaki itu telah bertindak sangat kasar pada pohon itu, tetapi begitulah cara kita memperlakukan orang tua kita.

Mari kita mencintai orang tua kita seperti mereka dengan tulus dan setia menyayangi kita.

cahaya hikmah, edisi 03/2006cahaya hikmah, edisi 03/2006

kalung Anisa

[801867_knotted_165000.jpg]

"kalung Anisa"
ini cerita tentang Anisa, seorang gadis kecil yang ceria berusia lima tahun


Pada suatu sore, Anisa menemani ibunya berbelanja di suatu supermarket. ketika sedang menunggu giliran membayar, anisa melihat sebentuk kalung mutirara mungil berwarna putih berkilauan, tergantung dalam sebuah kotak berwarna pink yang sangat cantik. Kalung itu nampaknya sangat indah, sehingga anisa sangat ingin meilikinya. Tapi…. Dia tahu, pasti ibunya akan keberatan. Seperti biasanya, sebelum berangkat ke supermarket, dia sudah berjanji tidak akan meminta apapun selain yang sudah disetujui untuk dibeli.

Dan tadi ibunya sudah menyetujui untuk membelikannya kaos kaki ber-renda yang cantik.namun karena kalung itu sangat indah, diberanikannya bertanya. “Ibu, bolehkah anisa memiliki kalung ini? Ibu boleh kembalikan kaos kaki yang tadi…” sang buda segera mengambil kotak kalung dari tangan anisa. Dibaliknya tertera harga Rp. 15.000.

Dilihatnya mata anisa yang memandangnya dengan penuh harap dan cemas. Sebenarnya dia bisa saja membelikan kalung itu, namun ia tidak mau bersikap tidak konsisten…”oke…anisa, kamu boleh memiliki kalung ini. Tapi kembalikan kaki yang kau pilih tadi. Dan karena harga kalung ini lebih mahal dari kaos kaki itu, ibu akan potong uang tabunganmu untuk minggu depan. Setuju?” anisa mengangguk lega, dan segera berlari riang mengembalikan kaos kaki ke raknya. “terimakasih…, ibu” anisa sangat menyukai dan menyayangi kalung mutiaranya.menurutnya, kalung itu membvuatnya nampak cantik dan dewasa. Dia merasa secantik ibunya. Kalung itu tak pernah lepas dari lehernya, bahkan ketika tidur.

Kalung itu hanya dilepasnya jika dia mandi atau berenang. Sebab, kata ibunya, jika basah, kalung itu akan rusak, dan membuat lehernya menjadi hijau… Setiap malam sebelum tidur, ayah anisa membacakan cerita pengantar tidur. Pada suatu malam, ketika selesai membacakan sebuah cerita, ayah bertanya “anisa…, anisa saying enggak sama ayah?” “tentu dong…. Ayah pasti tahu aklau anisa saying ayah1” “kalau begitu, berikan kepada ayah kalung mutiaramu…” “yah…, jangan dong ayah ! ayah boleh ambil “si ratu” boneka kuda dari nenek…! Itu kesayanganku juga “ya sudahlah sayang,… ngga apa – apa!.” Ayah mencium pipi anisa sebelum keluar dari kamar anisa. Kira – kira seminggu berikutnya, setelah selesai membacakan cerita, ayah bertanya lagi, “anisa…, anisa sayang nggak sih, sama ayah ?” “ayah, ayah tahu bukan kalau anisa sayang sekali pada ayah ?”.

“kalau begitu, berikan pada ayah kalung mutiaramu”. “jangan ayah…tapi kalau ayah amu, ayah boleh ambil boneka Barbie ini..”kata anisa seraya menyerahkan boneka Barbie yang selalu menemaninya bermain.

Beberapa malam kemudian, ketika ayah masuk ke kam,arnya, anisa sedang duduk di atas tempat tidurnya. Ketika didekati, anisa rupanay sedang menangis diam – diam. Kedua tangannya tergenggam di atas pangkuan air mata membasahi pipinya…”ada apa anisa, kenapa anisa?” tanpa berucap sepatah pun, anisa membuka tangannya. Di dalamnya melingkar cantik kalung mutiara kesayangannya “kalau ayah mau… ambillah kalung anisa” ayah tersenyum mengerti, diambilnya kalung itu dari tangan mungil anisa. Kalung itu dimasukkan ke dalam kantong celana. Dan dari kantong yang satunya, dikeluarkan sebentuk kalung mutiara putih… sama cantiknya dengan kalung yang sangat disayangi anisa…”anisa… ini untuk anisa. Sama bukan? Memang begitu nampaknya, tapi kalung ini tidak akan membuat lehermu menjadi hijau”.

Ya…, ternyata ayah memberikan kalung mutiara asli untuk menggantikan kalung mutiara imitasi milik anisa.

Demikian pula halnya dengan Allah SWT. Terkadang Dia meminta sesuatu dari kita, karena Dia berkenan untuk menggantikannya dengan yang lebih baik. Namun, kadang – kadang kita seperti atau bahkan lebih naïf dari anisa : menggenggam erat sesuatu yang kita anggap amat berharga, dan oleh karenanya tidak ikhlas bila kehilangan. Untuk itulah perlunya sikap ikhlas, karena kita yakin tidak akan Allah mengambil sesuatu dari kita jika tidak akan menggantinya dengan yang lebih baik.


cahaya hikmah, edisi 03/2006

MAAFKANLAH AKU, KAWAN

a hikmah, edisi 04/2007MAAFKANLAH AKU, KAWAN

Dua orang sahabat karib sedang berjalan melintasi gurun pasir. Di tengah perjalanan, mereka bertengkar, dan salah seorang menampar temannya. Orang yang kena tampar merasa sakit hati, tapi dengan tanpa berkata-kata, dia menulis di atas pasir : HARI INI, SAHABAT TERBAIKKU MENAMPAR PIPIKU.

Mereka terus berjalan, sampai menemukan sebuah oasis, dimana mereka memutuskan untuk mandi. Orang yang pipinya kena tampar dan terluka hatinya, mencoba berenang namun nyaris tenggelam, dan berhasil diselamatkan oleh sahabatnya.

Ketika dia mulai siuman dan rasa takutnya sudah hilang, dia menulis di sebuah batu : HARI INI, SAHABAT TERBAIKKU MENYELAMATKAN NYAWAKU. Orang yang menolong dan menampar sahabatnya, bertanya, “kenapa setelah saya melukai hatimu, kau menulisnya diatas pasir, dan sekarang kamu menulis di batu?” temannya sambil tersenyum menjawab, “ketika seorang sahabat melukai kita, kita harus menulisnya di atas pasir agar angin maaf datang berhembus dan menghapus tulisan tersebut. Dan bila sesuatu yang luar biasa terjadi, kita harus memahatnya di atas batu hati kita, agar tidak bisa hilang tertiup angin.”

Cerita diatas, bagaimanapun tentu saja lebih mudah dibaca dibanding diterapkan. Begitu mudahnya kita memutuskan sebuah pertemanan “hanya” karena sakit hati atas sebuah perbuatan atau perkataan yang menurut kita keterlaluan hingga menyakiti hait kita. Sebauh sakit hati lebih perkasa utnuk merusak dibanding begitu banyak kebaikan untuk menjaga. Mungkin ini memang bagian dari sifat buruk kita.

Karena itu, seseorang pernah memberitahu saya apa yang harus saya lakukan ketika saya sakit hati. Beliau mengatakan ketika sakit hati yang paling penting adalah melihat apakah orang yang menyakiti hati kita itu tidak kita sakiti terlebih dahulu.

Bukankah sudah menjadi kewajaran sifat orang untuk membalas dendam? Maka sungguh sangat bisa jadi kita telah melukai hatinya terlebih dahulu dan dia menginginkan sakit yang sama seperti yang dia rasakan. Bisa jadi juga sakit hati kita karena kesalahan kita sendiri yang salah dalam menafsirkan perkataan atau perbuatan teman kita. Bisa jadi kita tersinggung oleh perkataan sahabat kita yang dimaksudkannya sebagai gurauan.

Namun demikian, orang yang bijak akan selalu mengajari muridnya utnuk memaafkan kesalahan-kesalahan sadaranya yang lain. Tapi ini akan sungguh sangat berat. Karena itu beliau mengajari kami untuk “menyerahkan” sakit itu kepada Allah –yang begitu jelas dan pasti mengetahui bagaimana sakit hati kita- dengan membaca do’a, “Ya Allah, balaslah kebaikan siapapun yang telah diberikannya kepada kami dengan balasan yang jauh dari yang mereka bayangkan. Ya Allah, ampuni kesalahan-kesalahan saudara-saudara kami yang pernah menyakiti hati kai.”

Bukankah Rasulullah pernah berkata, “Tiga hal diantara akhlak ahli surga adalah memaafkan orang yang telah menganiayamu, memberi kepada orang yang mengharamkanmu, dan berbuat baik kepada orang yang berbuat buruk kepadamu”.



Karena itu, saudara-saudaraku, mungkin aku pernah menyakiti hatimu dan kau tidak membalas, dan mungkin kau menyakiti hatiku karena aku pernah menyakitimu. Namun dengan ijin-Nya aku berusaha memaafkanmu. Tapi yang aku takutkan kalian tidak mau memaafkan. Sungguh, saudara-saudaraku, dosa-dosaku kepada Tuhanku telah menghimpit kedua sisi tulang rusukku hingga menyesakkan dada. Saudara-saudaraku, jika kalian tidak sanggup mendoakan aku agar aku “Ada” di hadapan-Nya, maka ikhlaskan segala kesalahan-kesalahanku. Tolong jangan kau tambahkan kehinaan pada diriku dengan mengadukan kepada Tuhan bahwa aku telah menyakiti hatimu.

cahaya hikmah, edisi 04/2007

indahnya berprasangka baik

Indahnya

Berprasangka Baik

Dua laki-laki bersaudara bekerja disebuah pabrik kecap dan sama-sama belajar agama Islam untuk sama-sama mengamalkan ilmunya dalam kehidupan sehari-hari semaksimal mungkin. Mereka berjalan kaki mengaji kerumah gurunya yang jaraknya sekitar 10 KM dari rumah peninggalan orangtua mereka.


Suatu ketika sang kakak berdo’a memohon rezeki untuk membeli sebuah mobil supaya dapat dipergunakan untuk sarana angkutan dia dan adiknya bila pergi mengaji. Allah mengabulkannya, tak lama kemudian sebuah mobil dapat dia miliki dikarenakan mendapatkan bonus dari perusahaannya bekerja. Lalu sang kakak berdo’a memohon seorang istri sempurna, Allah mengabulkannya, tak lama kemudian sang kakak bersanding dengan seorang gadis yang cantik serta baik perangai. Kemudian berturut-turut sang kakak berdo’a memohon kepada Allah akan sebuah rumah yang nyaman, pekerjaan yang layak, dan lain-lain dengan itikad supaya lebih ringan dalam mendekatkan diri kepada Allah. Dan Allah selalu mengabulkan semua do’anya itu. Sementara itu sang adik tidak ada perubahan sama sekali, hidupnya tetap sederhana, tinggal di rumah peninggalan orang tuanya yang dulu ditempati bersama dengan kakaknya. Namun, karena kakaknya seringkali sibuk dengan pekerjaannya sehingga tidak dapat mengikuti pengajian, dan sang adik seringkali harus berjalan kaki untuk mengaji kerumah guru mereka. Suatu saat sang kakak merenungkan dan membandingkan perjalanan hidupnya dengan perjalanan hidup adiknya, dan dia teringat adiknya selalu membaca selembar kertas apabila dia berdo’a menandakan adiknya tidak pernah hafal bacaan untuk berdo’a. Lalu datanglah ia kepada adiknya untuk menasihati adiknya supaya selalu berdo’a kepada Allah dan berupaya untuk membersihkan hatinya, karena dia merasa adiknya masih berhati kotor sehingga do’a-do’anya tiada di kabulkan oleh Allah azza wa jalla. Sang adik terenyuh dan merasa sangat bersyukur sekali mempunyai kakak yang begitu menyayanginya, dan dia mengucapkan terimakasih atas nasehat itu. Suatu saat sang adik meninggal dunia, sang kakak merasa sedih karena samapi meninggalnya adiknyaitu tidak ada perubahan pada nasibnya sehingga dia merasa yakin kalau adiknya itu meninggal dalam keadaan kotor hatinya sehubungan do’anya tak pernah terkabul. Sang kakak membereskan rumah peninggalan orang tuanya sesuai dengan amanah adiknya untuk dijadikan sebuah mesjid. Tiba-tiba matanya tertuju pada selembar kertas yang terlipat dalam sajadah yang biasa di pakai oleh adiknya yang berisi tulisan do’a diantaranya Al-Fatihah, Shalawat, do’a untuk guru mereka, do’a selamat dan ada kalimah di akhir do’anya : “Yaa, Allah. Tiada sesuatupun yang luput dari pengetahuan Mu, Ampunilah aku dan kakak ku, kabulkanlah segala do’a kakak ku, bersihkanlah hati ku dan berikanlah kemudahan hidup untuk kakakku di dunia dan akhirat,” sang kakak berlinang air mata dan haru biru memenuhi dadanya, tak dinyata adiknya tak pernah satukali pun berdo’a untuk memenuhi nafsu duniawinya.



cahaya hikmah, edisi 06/2006

KEKAYAAN, KESUKSESAN, DAN KASIH SAYANG


KEKAYAAN, KESUKSESAN, DAN KASIH SAYANG

Suatu ketika, ada seorang wanita yang kembali pulang kerumah, dan ia melihat ada 3 orang pria berjanggut yang duduk di halaman depan. Wanita itu tidak mengenal mereka semua. Wanita itu berkata : “aku tidak mengenal anda, tapi aku yakin anda semua pasti sedang lapar. Mari amsuk kedalam, aku pasti punya sesuatu untuk mengganjal perut.” Pria berjanggut itu lalu balik bertanya, “apakah suamimu sudah pulang?” wanita itu menajwab, “belum, dia sedang keluar.” “oh, kalau begitu, kami tidak ingin masuk. Kami akan menunggu sampai suami mu kembali,” kata pria itu. Di waktu senja, saat keluarga itu berkumpul, sang isteri menceritakan semua kejadian tadi. Sang suami, awalnya bingung dengan kejadian ini, lalu ia berkata pada interinya, “sampaikan pada mereka, aku telah kembali, dan mereka semua boleh masuk untuk menikmati makan malam ini.” Wanita itu kemudian keluar dan mengundang mereka utnuk masuk ke dalam. “Maaf, kami semua tak bisa masuk bersama-sama,” kata pria itu hampir bersamaan. “Lho, kenapa? Tanya wanita itu karena merasa heran. Salah seorang pria itu berkata, “nama dia kekayaan,” katanya sambil menunjuk seorang pria berjanggut di sebelahnya, dan “sedangkan yang ini bernama kesuksesan, sambil memegang bahu pria berjanggut lainnya. Sedangkan aku sendiri bernama kasih sayang. Sekarang, coba tanya kepada suamimu, siapa diantara kami yang boleh masuk kerumahmu.” Wanita itu kembali masuk ke dalam, dan memberitahu pesan pria di luar. Suaminya pun merasa heran. “Ohho... menyenangkan sekali. Baiklah, kalau begitu, coba kamu ajak si kekayaan masuk kedalam. Aku ingin rumah ini penuh dengan kekayaan.” Isterinya tak setuju dengan pilihan itu. Ia bertanya, “sayangku, kenapa kita tak mengundang si kesuksesan saja? Sebab sepertinya kita perlu dia utnuk membantu keberhasilan panen ladang pertanian kita.” Ternyata anak mereka mendengarkan percakapan itu. Ia pun ikut mengusulkan siapa yang akan masuk ke dalam rumah. “bukankah lebih baik jika kita mengajak si kasih sayang yang masuk ke dalam ? rumah kita ini akan nyaman dan penuh dengan kehangatan kasih sayang.” Suami-istri itu setuju dengan pilihan buah hati mereka. “baiklah, ajak masuk si kasih sayang ini kedalam. Dan malam ini, si kasih sayang menjadi teman santap malam ktia.” Wanita itu kembali ke luar, dan bertanya kepada 3 pria itu. “siapa diantara anda yang bernama kasih sayang ? ayo, silakan masuk, anda menjadi tamu kita malam ini.” Si kasih sayang bangkit, dan berjalan menuju beranda rumah. Ohho.. ternyata, kedua pria berjanggut lainnya pun ikut serta. Karena merasa ganjil, wanita itu bertanya kepada si kekayaan dan si kesuksesan. “aku hanya mengundang si kasih sayang yang masuk ke dalam, tapi kenapa kamu ikut juga? Kedua pria yang ditanya itu menjawab bersamaan.


“kalau anda mengundang si kekayaan, atau si kesuksesan, maka yang lainnya akan tinggal di luar. Namun, karena anda mengundang si kasih sayang, makan, kemana pun kasih sayang pergi, kami akan ikut selalu bersamanya. Dimana ada kasih sayang, kami akan ikut selalu bersamanya. Dimana ada kasih sayang, maka kekayaan dan kesuksesan juga akan ikut serta. Sebab, ketahuilah, sebenarnya kami berdua ini buta, dan hanya kasih sayang yang bisa melihat. Hanya dia yang menunjukkan kita pada jalan kebaikan, kepada jalan yang lurus. Maka, kami butuh bimbingannya saat berjalan. Saat kami menjalani hidup ini.”

cahaya hikmah, edisi 04/2007cahaya hikmah, edisi 04/2007

WANITA BISU, TULI, BUTA, DAN LUMPUH YANG ENGKAU CINTAI


WANITA BISU, TULI, BUTA, DAN LUMPUH YANG ENGKAU CINTAI

Seorang laki-laki yang saleh bernama Tsabit bin ibrahim sedang berjalan di pinggiran kota Kufah. Tiba-tiba dia melihat sebuah apel jatuh keluar pagar sebuah kebun buah-buahan. Melihat apel ayng merah ranum itu tergeletak di tanah terbitlah air liur tsabit, terlebih-lebih di ahri yang sangat panas dan di tengah rasa lapar dan ahus mendera. Maka tanpa berpikir panjang dipungut dan dimakannyalah buah apel yang terlihat sangat lezat itu. Akan tetapi baru setengahnya di makan ia teringat bahwa buah apel itu bukan miliknya dan dia belum mendapat ijin pemiliknya.

Maka ia segera pergi kedalam kebun buah-buahan itu dengan maksud hendak menemui pemiliknya agar menghalalkan buah apel yang terlanjur dimakannya. Di kebun itu ia bertemu dengan seorang lelaki. Maka langsung saja ia berkata, “aku sudah memakan setengah dari buah apel ini. Aku berharap anda menghalalkannya.” Orang itu menjawab, “aku bukan pemilik kebun ini. Aku hanya khadamnya yang ditugaskan merawat dan mengurusi kebunnya.” Dengan nada menyesal Tsabit bertanya lagi, “dimana rumah pemiliknya ? aku akan menemuinya dan minta agar dihalalkan apel yang telah kumakan ini.” Pengurus kebun itu memberitahukan, “apabila engkau ingin pergi kesana maka engakau harus menempuh perjalanan sehari semalam.”

Tsabit bin ibrahim betekad akan pergi menemui si pemilik kebun itu. Katanya kepada orang tua itu, “tidak mengapa. Aku akan tetap pergi menemuinya, meskipun rumahnya jauh. Aku telah memakan apel yang tidak halal bagiku karena tanpa seijin pemiliknya. Bukankah Rasulullah Saw sudah memperingatkan kita lewat sabdanya : “siapa yang tubuhnya tumbuh dari yang haram, maka ia lebih layak menjadi umpan api neraka.”

Tsabit pergi juga kerumah pemilik kebun itu, dan setibanya disana dia langsung mengetuk pintu. Setelah si pemilik rumah membukakan pintu, Tsabit langsung memberi salam dengan sopan, seraya berkata, “wahai tuan yang pemurah, saya sudah terlanjur makan setengah dari buah apel tuan yang jatuh ke luar kebun tuan. Karena itu sudikah tuan menghalalkan apa yang sudah kumakan itu ?” lelaki tua yang ada di hadapan Tsabit mengamatinya dengan cermat. Lalu dia berkata tiba-tiba, “tidak, aku tidak bisa menghalalkannya kecuali dengan satu syarat.” Tsabit merasa khawatir dengan syarat itu karena takut ia tidak bisa memenuhinya. Maka segera ia bertanya, “apa syarat itu tuan ?” orang itu menjawab, “engkau harus mengawini putriku !”

Tsabit bin ibrahim tidak meahami apa maksud dan tujuan lelaki itu, maka dia berkata, “apakah karena hanya aku makan setengah buah apelmu yang jatuh ke luar kebunmu, aku harus mengawini putrimu ?” tetapi pemilik kebun itu tidak menggubris pertanyaan Tsabit. Ia malah menambahkan, katanya, “sebelum pernikahan dimulai engkau harus tahu dulu kekurangan putriku itu. Dia seorang yang buta, bisu, dan tuli. Lebih dari itu ia juga seorang gadis yang lumpuh !”

Tsabit amat terkejut dengan keterangan si pemilik kebun. Dia berpikir dalam hatinya, apakah perempuan semacam itu patut ia persunting sebagai isteri gara-gara ia memakan setengah buah apel yang tidak dihalalkan kepadanya ? kemudian pemilik kebun itu menyatakan lagu, “selain syarat itu aku tidak bisa menghalalkan apa yang telah kau makan !”

Namun Tsabit kemudian menjawab dengan mantap, “aku akan menerima pinangannya dan perkawinannya. Aku telah bertekad akan mengadakan transaksi dengan Allah Rabbul ‘Alamin. Untuk itu aku akan memenuhi kewajiban-kewajiban dan hak-hakku kepadanya karena aku amat berharap Allah selalu meridhaiku dan mudah-mudahan aku dapat meningkatkan kebaikan-kebaikanku di sisi Allah Ta’ala.” Maka pernikahan pun dilaksanakan. Pemilik kebunitu menghadirkan dua saksi yang akan menyaksikan akad nikah mereka. Sesudah perkawinan usai, Tsabit dipersilakan masuk menemui isterinya. Sewaktu Tsabit hendak masuk kamar pengantin, dia berpikir akan tetap mengucapkan salam walaupun isterinya tuli dan bisu, karena bukankah malaikat Allah yang berkeliaran dalam rumahnya tentu tidak tuli dan bisu juga. Maka ia pun mengucapkan salam, “Assalamu’alaikum...”

Tak dinyana sama sekali wanita yang ada di hadapannya dan kini resmi menjadi isterinya itu menjawab salamnya dengan baik. Ketika Tsabit masuk hendak menghampiri wanita itu, dia mengulurkan tangan utnuk menyambut tangannya. Sekali lagi Tsabit terkejut karena wanita yang kini menjadi isterinya itu menyambut uluran tangannya.

Tsabit sempat terhentak menyaksikan kenyataan ini. “kata ayahnya dia wanita tuli dan bisu tetapi ternayta dia menyambut salamnya dengan baik. Jika demikan berarti wanita yang ada di hadapanku ini dapat mendengar dan tidak bisu. Ayahnya juga mengatakan bahwa dia lumpuh tetapi ternyata dia menyambut kedatanganku dengan ramah dan mengulurkan tangan dengan mesra pula,” kata Tsabit dalam hatinya. Tsabit berpikir mengapa ayahnya menyampaikan berita-berita yang bertentangan dengan kenyataan yang sebenarnya?

Setelah Tsabit duduk disamping isterinya, dia bertanya, “ayahmu mengatakan kepadaku bahwa engkau buta. Mengapa ?” wanita itu kemudian berkata, “ayahku benar, karena aku tidak pernah melihat apa-apa yang diharamkan Allah.” Tsabit bertanay lagi, “ayahmu juga mengatakan bahwa engkau tuli. Mengapa?” wanita itu menajwab, “ayahku benar, karena aku tidak pernah amu mendengar berita dan cerita orang yang tidak membuat ridha Allah. Ayahku juga mengatakan kepadamu bahwa aku bisu dan lumpuh, bukan?” tanya wanita itu kepada Tsabit yang kini sah menjadi suaminya. Tsabit mengagguk perlahan mengiyakan pertanyaan isterinya. Selanjutnya wanita itu berkata, “ aku dikatakan bisu karena dalam banyak hal aku hanya menggunakan lidahku utnuk menyebut asma Allah Ta’ala saja. Aku juga dikatakan lumpuh karena kakiku tidak pernah pergi ke tempat-tempat yang bisa menimbulkan kegusaran Allah Ta’ala.”

Tsabit amat bahagia mendapatkan istri yang ternyata amat saleh dan wanita yang akan memelihara dirinya dan melindungi hak-haknya sebagai suami suami dengan baik. Dengan bangga ia brkata tentang istrinya, “ketika kulihat wajahnya........ Subhanallah, dia bagaikan bulan purnama di malam yang gelap.”

Tsabit dan isterinya yang salihah dan cantik rupawan itu hidup rukun dan berbahagia. Tidak lama kemudian mereka dikaruniai seorang putra yang ilmunya memancarkan hikmah ke penjuru dunia. Itulah Al Imam Abu Hanifah An Nu’man bin Tsabit.



cahaya hikmah, edisi 04/2007

KISAH 3 PEMUDA DI DALAM GUA

KISAH 3 PEMUDA DI DALAM GUA


Ketika tiga orang pemuda sedang berpergian, mereka tertahan oleh hujan dan berlindung di dalam gua di sebuah gunung. Sebongkah besar batu jatuh dari gunung melewati mulut gua tersebut dan menutupinya. Mereka berkata satu sama lain,
Pikirkanlah perbuatan baik yang pernah engkau lakukan di jalan allah, dan berdo’alah kepada Allah dengan menyertakan perbuatan-perbuatan itu sehingga Allah akan membebaskanmu dari kesulitan yang kau hadapi.


Salah satu di antara mereka berkata, Ya Allah! Aku memiliki kedua orangtua yang telah tua renta, dan aku memiliki anak-anak yang masih kecil yang aku telah memberikan susu yang aku miliki kepada kedua orang tuaku terlebih dahulu sebelum memberikannya kepada anak-anakku. Suatu hari, aku pergi jauh untuk mencari tempat merumput ( bagi domba-dombaku ), dan tidak kembali kerumah hingga larut malam dan menemukan kedua orang tuaku sedang tidur. Aku mengisi persediaan makanan dengan susu seperti biasanya dan membawa bejana susu tersebut serta meletakkannya di atas kepala mereka, dan aku pun tidak ingin membangunkan mereka dari ridurnya, dan aku pun tidak ingin memberikan susu tersebut kepada anak-anakku sebelum orang tuaku, walaupun anak-anakku sedang menangis (kelaparan) di bawah kakiku.

Maka keaadanku dan mereka tersebut berlanjut sampai dini hari. (Ya Allah!) Apabila engkau menganggapnya sebagai perbuatan yang kulakukan semata-mata hanya karena Engkau, maka tolonglah bukakan sebuah lubang agar kami dapat melihat langit. Maka Allah membukakan untuk mereka sebuah lubang yang dengannya mereka dapat melihat langit.

Kemudian pemuda yang kedua berkata, Ya Allah! Aku memiliki seorang saudara sepupu yang aku cintai seperti halnya gairah pria mencintai seorang wanita. Aku telah mencoba merayunya tetapi ia menolak hingga aku membayarnya hingga seratus dinar. Maka aku pun bekerja keras sampai dapat mengumpulkan seratus dinar dan aku pergi menemuinya dengan uang itu. Namun ketika aku duduk diantara kedua kakinya, ia berkata : Wahai hamba Allah! Takutlah kepada Allah! Jangan merusakku kecuali dengan cara yang sah (dengan perkawinan)! Maka aku pun meninggalkannya. Ya Allah! Apabila engkau menganggapnya sebagai perbuatan yang kulakukan demi engkau semata, maka biarkanlah batu tersebut bergerak sedikit lagi untuk mendapatkan lubang yang lebih besar. Maka Allah menggeser batu tersebut untuk menjadi lubang yang lebih besar.

Dan pemuda yang terakhir (ketiga) berkata, Ya Allah! Aku mempekerjakan seorang budak dengan upah sebanding dengan satu Faraq beras, dan ketika ia telah selesai dengan tugasnya, ia meminta upah, tetapi ketika aku memberikan upah kepadanya, ia menyerah dan menolak untuk menerimanya. Kemudian aku tetap memberikan beras tersebut kepadanya (beberapa kali) hingga aku dapat membeli dengan harga produksi, beberapa ekor sapi, dan gembalanya. Setelah itu, budak tersebut datang kepadaku dan berkata : (Wahai hamba Allah!) takutlah kepada Allah, dan jangan berbuat tidak adil kepadaku dan berikanlah upahku. Aku berkata (padanya): Pergilah dan ambillah sapi-sapi itu beserta gembalanya. Maka ia pun mengambilnya dan pergi. (Maka, Ya Allah!) Apabila engkau menganggapnya sebagai perbuatan yang kulakukan semata-mata demi Engkau, maka geserlah bagian yang tersisa dari abtu tersebut.

Maka kemudian Allah membebaskan mereka (dari kesulitannya) dan seluruhnya dari mulut gua tersebut.

Cahaya hikmah, edisi 07/2007

ORANG BAIK DAN ORANG DENGKI

ORANG BAIK DAN ORANG DENGKI

Ada seorang lelaki yang setiap hari mengunjungi raja. Setelah bertemu raja, ia selalu berkata, ”orang yang berbuat baik akan mendapat balasan, dan orang yang berbuat buruk, cukup keburukan itu sebagai balasannya.”


Ada seseorang yang dengki melihat keakraban lelaki itu dengan raja. ”Lelaki itu memiliki kedudukan yang dekat dengan raja, setiap hari ia bertemu raja,” pikir si pendengki dengan perasaan kurang senang. Si pendengki kemudian menemui raja dan berkata, ”Lelaki yang setiap hari menemuimu, jika keluar dari sini selalu berbicara buruk tantang kamu. Ia juga berkata bahwa bau mulutmu busuk.” Raja terdiam.

Sekeluarnya dari kerajaan, pendengki duduk di tepi jalan yang biasa dilalui oleh lelaki yang akrab dengan raja. Ketika si lelaki itu lewat dalam perjalanannya menemui raja. Ia menghadangnya, ”Kemarilah, singgahlah kerumahku.”

Setelah temannya singgah kerumahnya, si pendengki menawarkan bawang merah dan bawang putih, dan memaksanya agar ia memakannya. Karena dipaksa, ia akhirnya mau juga memakannya untuk melegakan hati orang itu. Bau bawang merah dan bawang putih itu tentu tidak mudah hilang.

Selesai berkunjung ke tempat si pendengki, lelaki itu sebagaimana biasa mengunjungi raja. Sewaktu berjabatan dengan raja, ia menutup mulutnya agar raja tidak mencium bau mulutnya. ”Rupanya benar perkataan orang itu, ia benar-benar menganggqap mulutku bau,” pikir raja. Sang raja kemudian memikirkan suatu rencana jahat. Lelaki itu kemudian duduk dan berkata sebagaimana biasa, ”Orang yang berbuat baik akan mendapat balasan, dan orang yang berbuat buruk, cukup keburukan itu sebagai balasannya.”

Setelah merasa waktu berkunjungnya cukup, ia kemudian pamit kepada raja. Raja berkata, ”Bawalah surat ini dan serahkanlah pada fulan.” Surat itu berisi, ”Jika sampai kepadamu pembawa surat ini, maka sembelih dan kulitilah dia, kemudian isilah tubuhnya dengan jerami.”

Lelaki tadi keluar membawa surat raja. Di tengah jalan ia dihadang oleh si pendengki.

”Apa yang kamu bawa?” tanyanya. ”Surat raja untuk fulan. Surat ini beliau tulis dengan tangannya sendiri. Biasanya beliau tidak pernah menulis surat sendiri, kecuali dalam urusan pembagian hadiah.” ”Berikanlah surat itu kepadaku, aku ini sedang butuh uang,” pintanya.

Ia kemudian menceritakan kesulitan hidupnya. Karena kasiha, surat itu kemudian di serahkan kepada si pendengki. Si pendengki menerimanya dengan senag hati. Setelah sampai di tempat tujuan, ia menyerahkan surat itu kepada teman raja. ”Masuklah kesini, raja menyuruhku membunuhmu,” kata teman raja. ”Yang dimaksudkan bukan aku, coba tunggulah sebentar biar kujelaskan,” katanya ketakutan. ”Perintah raja tak bisa ditunda,” kata teman raja. Ia lalu membunuh, menguliti dan mengisi tubuh si pendengki dengan jerami.

Keesokan harinya, lelaki itu datang sebagaimana biasa dan berkata, ”Orang yang berbuat baik akan mendapat balasan, dan orang yang berbuat buruk, cukup keburukan itu sebagai balasannya.” Raja heran melihatnya masih hidup. Setelah diselidiki, terbongkarlah keburukan si pendengki.

”Tidak ada sesuatu yang terjadi antara aku dengannya, hanya saja kemarin ia mengundangku kerumahnya dan memaksaku makan bawang merah dan putih. Waktu aku menemuimu kututup mulutku agar kamu tidak mencium bau tidak sedap dari mulutku. Sekeluarnya dari sini, ia menemuiku dan menanyakan titipanmu,” kemudian lelaki itu menceritakan semua yang terjadi.

Mendengar jalannya cerita, tahulah raja bahwa orang itu dengki kepada sahabatnay. ”Benar ucapanmu, orang yang berbuat baik akan mendapat balasan, dan orang yang berbuat buruk, cukup keburukan iru sebagai balasannya.”

Kedengkian di hati orang itu telah membunuh dirinya sendiri. Dengki itu merusak amal Dengki memakan kebaikan seperti api memusnahkan kayu bakar. (HR Ibnu Majah)

Kedengkian seseorang hanya akan berakinat buruk bagi orang itu sendiri.

Cahaya hikmah, edisi 07/2007

Bukan Dua Kaki


Bukan Dua Kaki

Shofa masih sibuk mengaduk-aduk masakan yang ada dalam panic. Tiba-tiba ia teringat, ini sudah jam 1 lewat. Segera ia menyalakan radio kecil yang berada di atas lemari makan dekat kompor. Shofa hampir tak pernah ketinggalan acara-acara yang diisi Ustadz Hanif. Setiap jam 5 pagi, sehabis Subuh, adalah acara rutin Shofa mendengarkan kuliah Subuh di Radio Al-Quds. Shofa bahkan hafal jam berapa dan acara apa saja yang diisi oleh Ustadz Hanif. Hal ini sudah berlangsung tiga tahun lebih.

Entah mengapa, Shofa merasa cocok sekali dengan ustadz yang satu ini. Kalau bicara tak pernah bertele-tele dan selalu mengena di hati. Apa saja yang dibahas pasti actual, sesuai dengan masalah yang terjadi di sekitar. Kalau bicara tentang aqidah, Ustadz Hanif selalu tegas, tidak bisa ditawar-tawar. Tapi kalau membahas masalah ibadah, dengan sabar Ustadz Hanif menjelaskan satu persatu pemecahan dari berbagai pendapat ulama. Biasanya ia merekomendasikan salah satu pemecahan yang punya dasar paling kuat. Walau begitu, ia tetap menyerahkan kepada pendengar, pendapat mana yang akan dipakai. Suatu penyelesaian yang cantik. Tidak fanatic terhadap satu pendapat tertentu.

“Shofa belum pulang?” sapa Bu Arif, pengurus TPA tempat Shofa mengajar. Shofamenoleh, “Belum Bu. Masih memeriksa pekerjaan anak-anak.” “Bisa mampir ke rumah? Bapak mau bicara. Katanya pentingtuh!”

“Sekarang Bu?”

“Ya, kalau Shofa sedang tidak repot.”

Shofa membereskan kertas-kertas yang berserakan di atas karpet masjid lalu berjalan mengikuti Bu Raif. Rumah Bu Arif tidak jauh dari masjid tempat Shofa dan beberapa orang temannya mengajar anak-anak TPA. Hanya beberapa puluh meter saja. Pak Arif dan Bu Arif adalah orang yang peduli dengan masalah keagamaan dikompleks itu. Mereka mempelopori dibukanya TPA. Pak Arif juga selalu menghimbau bapak-bapak di kompleks untuk shalat berjamaah.

“Assalamu’alaikum,” ucap Shofa dan Bu Arif berbarengan. “Wa’alaikum salam,” jawab Pak Arif dari dalam. “Silahkan masuk nak Shofa. Bagaimana nak Shofa, keadaan TPA sekarang?”

“Alhamdulillah Pak. Anak-anak semakin rajin. Jarang ada yang bolos. Mereka cepat menyerap apa yang saya ajarkan.” Jawab Shofa. “Bagus! Bagus! Alhamdulillah.” Kata Pak Arif. “Begini nak Shofa, Bapak ingin bicara dengan nak Shofa bukan mau membahas TPA. Ada hal yang lain”

Pak arif terdiam. “Begini nak Shofa……. Apakah nak Shofa sudah siap menikah?”

Shofa tersenyum. “Niat sudah ada. Usia saya sudah cukup Pak. Tapi…… belum ada jodohnya.” “Hmmmm…… Begitu ya,” Pak Arif berdehem sambil mengelus-elus jenggotnya. “Bapak punya teman baik. Dia sangat sholeh dan sedang mencari pendamping hidup. Bapak dan Ibu berasa nak Shofa cocok dengan dia.”

“Ah Pak Arif bisa saja. Bagaimana Bapak tahu saya cocok dengan dia?” Tanya Shofa tersipu.

“Lho…. Bapak dan Ibu kan sudah lama memperhatikan nak Shofa. Nak Shofa ini gadis yang shalehah dan pandai menjaga diri. Begitu pula dengan teman Bapak ini. Dia shaleh dan berakhlak baik. Nah…. Kalau begini, apa bukan cocok namanya? Iya tho Bu?” jelas Pak Arif.

“Iya…. Iya!” Bu Arif manggut-manggit menimpali suaminya.

“Kalau nak Shofa setuju, Bapak bisa ajak teman Bapak kesini untuk dipertemukan dengan Shofa,” Pak Arif melanjutkan. “Bagaimana nak Shofa?”

“Bapak ini kok langsung main Tanya. Bapak kan belum cerita yang mau dikenalkan ini siapa, bagaimana,”tukas Bu Arif

“Wah…….Dari tadi Bapak belum cerita ya? Teman Bapak ini masih muda. Lulusan S1 dan S2 dari Al-Azhar Kairo. Dia juga hafidz Al-Qur’an.”

“Hafidz Qur’an?” gumam Shofa dalam hati. Salah satu do’a yang ia panjatkan adalah mendapatkan pasangan hidup yang hafal Al-Qur’an, karena ia sendiri sedang berusaha menjadi Hafidzhah. “Sehari-harinya dia bekerja di Lembaga Pengembangan Dakwah, mengajar di beberapa tempat, sering mengisi ceramah. Dia mengisi acara di radio Al-Quds,” papar Pak Arif. “Radio Al-Quds? Saya pendengar setia Radio Al-Quds lho pak. Namanya siapa pak,mungkin saja saya pernah mendengar, :kata Shofa. “Namanya Hanif Ibrahim.”

Deg! Jantung Shofa serasa berhenti berdetak selama sepersekian detik. Nama itu demikian dikenalnya dalam tiga tahun terakhir ini. Nama itu adalah salah satu tempatdirinya menimba ilmu tentang ke-Islaman lewat radio. Tausiyah-tausiyah melalui radio itu pula yang membuat Shofa jadi banyak berpikir, lalu berhijrah dan memutuskan untuk menjadi muslimah yang kaffah.

Bu Arif menangkap adanya perubahan pada rona wajah Shofa. “Ada apa Shofa?” “Saya sering mendengarkan beliau ceramah di radio.”

“Nah…. Jadi sebetulnya sudah kenal tho, walaupun Cuma dari radio, “Pak Arif terkekeh. “Bagaimana, kapan nak Shofa siap bertemu Hanif?” “Kapan saja, terserah Bapak. Tapi saya harus cerita dulu kepada Ibu tentang masalah ini,” jawab Shofa. “Ohhh….. ibumu sudah tahu. Kami sudah cerita. Malah ibumu bilang, kami disuruh langsung tanya saja ke nak Shofa. Ibumu setuju kok,” ujar Pak Arif.

Sepulangnya dari rumah kedua orangtua yang sudah dianggapnya keluarga itu, Shofa bagai tak percaya apa yang baru saja terjadi. “Benarkah Ustadz Hanif jodohku?” tanyanya dalam hati. Walaupun belum pernah bertemu, tapi Shofa merasa telah sangat mengenal Hanif. Diam-diam sebentuk kekaguman telah bersemayam dalam hatinya. Tidak ada cara lain bagi Shofa selain mengadukan permasalahannya ini kepada Allah. Dihabiskannya malam-malam panjang di atas sajadah dengan bermunajat.

Dua bulan kemudian, tibalah saat pertemuan Shofa dengan Hanif. Hari itu Shofa tampak manis. Tubuhnya dibalut gamis biru dan jilbab lebar berwarna putih. Ia berjalan menuju rumah Pak Arif dengan penuh kemantapan hati, buah dari istikharahnya.

“Assalamu’alaikum,” Shofa mengucap salam di depan pintu. “Wa’alaikumussalam. Nak Shofa ayo masuk. Pak Arif belum datang. Sedang menjemput Hanif,” jawab Bu Arif. Sambil menunggu, Bu Arif memberikan wejangan bagaimana menjadi istri shalehah dengan mengutip beberapa ayat dan hadits. Shofa mendengarkan dengan takzim. Sesekali mengangguk.

Tiba-tiba, pintu ruang tamu terbuka lebar. Lalu muncul sesuatu yang tak disangka-sangka. Sebuah kursi roda yang berjalan tersendat karena terbentur pintu, sesosok tubuh dengan satu kaki yang duduk di atas kursi roda sambil tersenyum. Shofa terhenyak, memandang tak percaya. “Inilah Ustadz Hanif?” Berbagai gejolak rasa menyergap dengan cepat. Shofa berusaha menenangkan perasaannya. Suasana hening. Shofa bagai mampu mendengar suara detak jantungnya sendiri.

“Nak Shofa, ini Hanif yang Bapak ceritakan dulu,” kata Pak Arif memecah kesunyian.

“Assalamu’alaikum dik Shofa,” kata Hanif. “Wa’alaikumssalam,” jawab Shofa. Ah, suaranya tidak berbeda dengan di radio. Tetap berkharisma.

“Alhamdulillah, Allah mengijinkan kita untuk bertemu hari ini. Pak Arif mungkin sudah cerita, saya memang punya niat untuk melaksanakan sunnah Rasulullah yaitu menikah. Saya minta dicarikan calon oleh Pak Arif. Cuma….. memang keadaan saya seperti ini. Sebulan yang lalu saya kecelakaan.. mobil saya tabrakan dengan truk. Tangan kiri saya lumpuh dan kaki kiri harus diamputasi.

Apapun yang terjadi sudah kehendak Allah. Kaki saya memang tidak bisa kembali. Tapi tangan kiri saya sedang diterapi. Kata dokter kemungkinan besar bisa pulih. Insya Allah, saya pun ingin tidak terlalu lama bergantung pada kursi roda. Kalau sudah membaik, saya akan menggunakan kruk saja.” Kata-kata mengalir deras dari bibir Hanif.

Shofa mengangkat wajahnya sedikit dan melihat sekilas kea rah Hanif. “Subhanallah. Wajahnya tenang sekali. Bahkan berseri-seri. Ada keikhlasan yang terpancar dari wajahnya.” Bathin Shofa.

“Saya tidak heran jika dik Shofa tidak berkenan dengan keadaan saya. Inilah saya. Mungkin saya yang terlalu berani tetap berniat menikah dengan kekurangan fisik saya. Tapi, justru dengan kondisi ini saya sangat membutuhkan kehadiran seorang istri.”

Shofa diam tak bergeming. Di hadapannya sekarang, duduk seorang laki-laki yang memiliki kelebihan-kelebihan yang didambakannya selama ini. Sosok seorang suami yang sempurna. Ilmu agamanya bagus, shaleh, berakhalak muloia, dan seorang hafidzh. Cita-cita Shofa adalah memiliki anak-anak yang menjadi generasi penghafal dan pengamal Al-Qur’an. Bukanlah ustadz Hanif adalah sosok yang tepat? Kekurangannya hanya satu, fisiknya cacat tak sempurna.

“Hanif, mungkin nak Shofa belum bisa mengambil keputusan cepat-cepat. Dia tentunya perlu menimbang-nimbang. Kita beri saja waktu, mudah-mudahan nak Shofa bisa segera memberikan jawaban. Begitu ya nak Shofa?” Pak Arif berusaha menengahi suasana senyap di antara mereka.

Shofa masih saja diam tak menjawab. Sibuk berdialog dengan batinnya. Tiba-tiba saja Shofa mengangkat wajahnya. “Saya sudah shalat istikharah sejak pertama kali Pak Arif mau mengenalkan saya dengan ustadz Hanif.” “Silahkan dik Shofa, saya akan coba menjawab,” kata Hanif.

“Untuk dapat membawa istri dan anak-anaknya ke dalam surga, apakah seorang laki-laki harus mempunyai dua kaki?” Tanya Shofa. Hanif tersenyum. “Tentu saja tidak. Bukan butuh dua kaki. Yang dibutuhkan adalah landasan aqidah, ibadah, dan akhlak yang lurus dan kuat. Dan juga kemampuan untuk mendidik.” Shofa memandang bergantian ke arah Pak Arif, Bu Arif dan Hanif. Bibirnya membiaskan senyum yang lebar. “Saya udah mantap. Saya tidak membutuhkan suami dengan dua kaki.” “Alhamdulillah!” berbarengan Pak Arif, Bu Arif, dan Hanif berseru.

Resepsi pernikahan baru saja usai. Shofa mendorong kursi roda Hanif menuju kamar pengantin. Kedua pengantin itu berwajah cerah ceria. Hanif begitu tampan dan gagah dengan jas dan kopiah hitam. Shofa tampak cantik, bergaun putih dan jilbab yang diberi rangkaian melati.

Hanif meletakkan tangannya di atas kening istrinya, lalu membaca doa, “Dengan nama Allah, jauhkanlah kami dari godaan syetan dan dekatkanlah dengan apa yang Engkau rizkikan, anak-anak kepada kami.”

Shofa menggamit dan mencium tangan suaminya dengan takzim. “Kak Hanif, boleh Shofa mengutarakan sesuatu?” Tanya Shofa.

“Boleh. Apa itu?” Hanif tersenyum lebar. “Shofa cinta Kak Hanif karena Allah,” Shofa bicara sambil menunduk malu-malu.

“Kak Hanif juga cinta dik Shofa karena Allah.” Hanif menyentuh dagu Shofa, mengangkat wajahnya. Mereka bertatapan. Lekat. Ada debur yang menggelora di jiwa mereka berdua. “Lho kok nunduk. Kita sudah resmi suami istri. Pandang kak Hanif dong!” Hanif menggoda Shofa. Shofa memandang Hanif tersipu.

“Ayo kita shalat dulu,” kata Hanif. “Shofa Bantu kak Hanif wudhu ya,” Shofa langsung beranjak dari duduknya dan mendorong kursi roda kekasih jiwanya ke kamar mandi.

Bersama percikan air wudhu yang menetes, Allah tebarkan rahmat dan cinta di antara kedua makhluk kecintaanNya.

Terinspirasi dari Syekh Ahmad Yasin yang tetap berjihad dari kursi roda hingga syahidnya.

Cahaya Hikmah, edisi 22/2008

INDAHNYA MENAHAN MARAH


INDAHNYA MENAHAN MARAH

“Siapa yang menahan marah, padahal ia dapat memuaskan pelampiasannya, maka kelak pada hari kiamat, Allah akan memanggilnya di depan sekalian makhluk. Kemudian, disuruhnya memilih bidadari sekehendaknya.”

(HR. Abu Dawud At-Tirmidzi)

Tingkat keteguhan seseorang dalam menghadapi kesulitan hidup memang berbeda-beda. Ada yang mampu menghadapi persoalan yang sedemikian sulit dengan perasaan tenang. Namun, ada pula orang yang menghadapi persoalan kecil saja ditanggapinya dengan begitu berat. Semuanya bergantung pada kekuatan mana’wiyah (keimanan) seseorang.

Pada dasarnya, tabiat manusia yang beragam: keras dan tenang, cepat dan lambat, bersih dan kotor, berhubungan erat dengan keteguhan dan kesabarannya saat berinteraksi dengan orang lain. Orang yang memiliki keteguhan dan kesabarannya saat berinteraksi dengan orang lain. Orang yang memiliki keteguhan iman akan menyelusuri lorong-lorong hati orang lain dengan respon pemaaf, tenang, dan lapang dada. Adakalanya, kita bisa merasa begitu marah dengan seseorang yang menghina diri kita. Kemarahan kita begitu memuncak seolah jiwa kita terlempar dari kesadaran. Kita begitu merasa tidak mampu menerima penghinaan itu. Kecuali, dengan marah atau bahkan dengan cara menumpahkan darah. Na’udzubillah.

Menurut riwayat, ada seorang Badwi datang menghadap Nabi SAW. Dengan maksud ingin meminta sesuatu pada beliau. Beliau memberinya, lalu bersabda, “Aku berbuat baik padamu. “Badwi itu berkata, “Pemberianmu tidak bagus.” Para sahabat merasa tersinggung lalu ngerumuninya dengan kemarahan. Namun, Nabi memberi isyarat agar mereka bersabar. Kemudian, Nabi SAW. Pulang ke rumah. Nabi kembali dengan membawa barang tambahan untuk diberikan ke Badwi. Nabi bersabda pada Badwi itu, “Aku berbuat baik padamu?” Badwi berkata, “Ya, semoga Allah membalas kebaikan Tuan, keluarga dan kerabat.”

Keesokan harinya, Rasulullah SAW. Bersabda kepada para sahabat, “Nah, kalau pada waktu Badwi itu berkata yang sekasar engkau dengar, kemudian engkau tidak bersabar lalu membunuhnya. Maka, ia pasti masuk neraka. Namun, karena saya bina dengan baik, maka ia selamat.”

Beberapa hari setelah itu, si Badwi mau diperintah untuk melaksnakan tugas penting yang berat sekalipun. Dia juga turut dalam medan jihad dan melaksanakan tugasnya dengan taat dan ridha. Rasulullah SAW memberikan contoh kepada kita tentang berlapang dada. Ia tidak panic menghadapi kekasaran seorang Badwi yang memang demikianlah karakternya. Kalau pun saat itu, dilakukan hukuman terhadap si Badwi, tentu hal it bukan kezhaliman. Namun, Rasulullah SAW. Tidak berbuat demikian. Beliau tetap sabar menghadapinya dan memberikan sikap yang ramah dan lemah lembut. Pada saat itulah, beliau SAW. Ingin menunjukkan pada kita bahwa kesabaran dan lapang dada lebih tinggi nilainya daripada harta benda apapun. Harta, saat itu, ibarat sampah yang bertumpuk yang dipakai untuk suguhan unta yang ngmuk. Tentu saja, unta yang telah mendapatkan kebutuhannya akan dengan mudah dapat dijinakkan dan bisa digunakan untuk menempuh prjalanan jauh.

Adakalanya, Rasulullah SAW. Juga marah. Namun, marahnya tidak melampaui batas kemuliaan. Itu pun ia lakukan bukan karena masalah pribadi melainkan karena kehormatan agama Allah. Rasulullah SAW. Bersabda, “Memaki-maki orang muslim adalah fasik (dosa), dan memeranginya adalah kufur (keluar dari islam).” (HR. Bukhari) Sabdanya pula, “Bukanlah seorang mukmin yang suka mencela, pengutuk, kata-katanya keji dan kotor.” (HR. Turmudzi)

Seorang yang mampu mengendalikan nafsu ketika marahnya berontak, dan mampu menahan diri di kala mendapat ejekan, maka orang seperti inilah yang diharapkan menghasilkan kebaikan bagi dirinya maupun masyarakatnya.

Seorang Hakim yang tidak mampu menahan marahnya, tidak akan mampu memutuskan perkara dengan adil. Dan, seorang pemimpin yang mudah tersulut nafsu marahnya, tidak akan mampu memberikan jalan keluar bagi rakyatnya. Justru, ia akan senantiasa memunculkan permusuhan di masyarakatnya. Begitu pun pasangan suami-isteri yang tidak memiliki ketenangan jiwa. Ia tidak akan mampu melayarkan laju bahtera hidupnya. Karena, masing-masing tidak mampu memejamkan mata atas kesalahan kecil pasangannya.

Bagi orang yan gimannya telah tumbuh dengan suburnya dalam dadanya. Maka, tumbuh pula rasa kesadarannya dan kemurahan hatinya. Kesabarannya pun bertambah besar dalam menghadapi sesuatu masalah. Tidak mudah memarahi seseorang yang bersalah dengan begitu saja, sekalipun telah menjadi haknya.

Orang yang demikian, akan mampu menguasai dirinya, menahan amarahnya, mengekang lidahnya dari pembicaraan yang tidak patut. Wajib baginya, melatih diri dengan cara membersihkan dirinya dari penyakit-penyakit hati. Seperti, ujub dan takabur, riya, sum’ah, dusta, pengadu domba dan lain sebagainya. Dan menyertainya dengan amalan-amalan ibadah dan ketaatan kepada Allah, demi meningkatkan derajat yang tinggi di sisi Allah SWT.

Dari Abdullah bin Shamit, Rasulullah SAW. Bersabda, “Apakah tiada lebih baik saya beritahukan tentang sesuatu yang dengannya Allah meninggikan gedung-gedung dan mengangkat derajat seseorang?”

Para sahabat menjawab, “Baik, ya Rasulullah SAW bersabda, “Berlapang dadalah kamu terhadap orang yang membodohi kamu. Engkau suka memberi maaf kepada orang yang telah menganiaya kamu. Engkau suka memberi kepada orang yang tidak pernah memberikan sesuatu kepadamu. Dan, engkau mau bersilaturahim kepada orang yang telah memutuskan hubungan dengan engkau.” (HR. Thabrani)

Sabdanya pula, “Bahwasanya seorang hamba apabila mengutuk kepada sesuatu, naiklah kutukan itu ke langit. Lalu, dikunci pintu langit-langit itu buatnya. Kemudian, turunlah kutukan itu ke bumi, lalu dikunci pula pintu-pintu bumi itu baginya. Kemudian, berkeliaranlah ia kekanan dan kekiri. Maka, apabila tidak mendapat tempat baru, ia pergi kepada yang dilaknat. Bila layak dilaknat (artinya kalau benar ia berhak mendapat laknat), tetapi apabila tidak layak, maka kembali kepada orang yang mengutuk (kembali ke alamat si pengutuk).” (HR. abu Dawud)

Cahaya hikmah, edisi 22/2008

[X]

comment here...


ShoutMix chat widget

chat room

About Me

My photo
Blitar, Jawa Timur, Indonesia
A HEART dies when it is not able to share its FEELINGS.., but a HEART Kills itself when another Heart doesnot Understand its Feelings...

Followers

Plurk