Duhai sayang...
Bekahan hati pujaan ibu seorang
Apa kabar dirimu saat ini, nak?
Anakku...
Inilah suara ahti ibu utnukmu
Tanda cinta tiada tepi, walau engkau telah jauh dari sisiku
Anakku sayang...
Izinkan aku bertutur tentang dirimu, nak. Kepada semua orang, kuingin bercerita tentang betapa namamu selalu menggoreskan berjuta kenangan. Engkau belahan jiwa yang pernah tak kuharapkan awal kehadirannya. Namun, ternyata dari dirimu jua aku dapat belajar tentang makna ikhlas dan sabar akan sebuah keniscayaan.
13 Desember 1996
Oee....oee... Ya Allah, amanahMu telah lahir utnuk menyapa dunia. Ini ibu, sayang. Kemarilah, agar dapat kau hirup air susu beraroma surga. Akan aku tawarkan pula cinta seorang ibunda. Lengking tangismu terdengar indah, nak, seperti bayi-bayi lainnya. Namun entahlah, gerakan reflek kedua bola mata itu sepertinya tak sama.
1997
Setahun telah berlalu. Engaku terlihat berbeda, tak seperti kedua kakak perempuanmu. Ada apa denganmu, nak? Kudekap dirimu, biar dapat aku alirkan kekuatan cinta seorang ibu. Bersabarlah saat begitu banyak alat-alat menyiksa tubuh kecilmu, nak. Jangan! Jangan kau tatap aku dengan osrot mata bertanya, mengapa? Kalaulah engkau tahu, aku pun tak tega melihat engkau diperlakukan seperti mitu.
Namun syukurlah... Engkau diperkirakan normal, walau harus mengalami beberpa kali pemeriksaan.
Tapi aku ibumu, dan dari rahim ini engkau ada di dunia. Batin ini tak dapat dibohongi, karena engkau dan aku disatukan oleh ikatan hati. Kubiarkan air mata ini terus beruah, ketika engkau yang masih kecil kembali lagi diperiksa. Syaraf, otak, juga pembuluh darah. Lagi, alat-alat canggih itu menyakitimu, nak.
Anakku sayang...engkau pasti sakit. Kalaulah boleh, biar saja ibu yang merasakan itu. Tapi bertahanlah, karena selalu ada ibi disisimu.
Mei 1998
Astaghfirullah...Jakarta resah, merah putih gelisah. Kerusuhan terjadi dimana-mana. Orang tuamu ini pun terkena damapaknya. Bapakmu yang bekerja dipabrik tekstil diberhentikan dari pekerjaannya. Tak lama kemudian, kita juga haurs pindah dari rumah kotrakan karena anak pemilik rumah ini mau menempatinya. Tak cukup hanya itu, sayang. Ternyata hasil pemeriksaan terbaru membawa kabar buruk, dirimu mengalami kelainan kromosom dengan translokasi Robertson.
Nak...Air mata ini rasanya taka kan pernah mengering. Tak kunjung usai cobaan yang datang menghampiri kita. Semoga ini tanda Allah sayang kepada hamba-hambaNya.
1999
Nak... dirimu mulai terlihat gagah. Lihatlah, engkau mulai belajar menapak meski dengan bantuan kettler, karena kedua tungkai kakimu membentuk X dan tak sama tingginya. Melangkahlah terus sayang, walau goyah. Ucapkan kata yang kau bisa, karena aku abhagia mendengarnya. Tataplah dunia, dengan juling bola mata dan tebalnya kacamata. Bukankah dengan itu pun dapat kau lihat keindahan alam semesta?
Tahun Ajaran 2000-2001
Alhamdulillah...syukur tak henti kuucapkan kepada Allah. Begitu banyak orang yang menyayangimu, nak. Sahabat dan saudara begitu berlimpah. Persahabatan memang indah, karena saat resah kita dapat berbagi duka. Biaya besar untuk pendidikan di sekolah terapi khusus untuk anak sepertimu, seperti menjadi begitu mudah. Kadang aku sering bertanya, mengapa mereka begitu memperhatikanmu, sayang. Tapi kutahu jawabannya, hanya cinta yang dapat mengikat hati-hati kita.
Juni 2003
Waktu terus bergulir lamban. Setiap saat, kutatap wajahmu ketika lelap. Perlahan, kucium engkau dengan mesra. Tak lupa aku bersyukur melihat engkau tumbuh dan berkembang, meski semakin jelas tampak berbeda. Dirimu semakin mengisi setiap sudut hatiku. Melahirkan kasih putih yang berlimpah ruah. Menciptakan rasa cinta yang begitu membuncah. Rasa itu semakin hari membuat aku jadi khawatir kehilanganmu, nak.
Namun....adakah seorang ibu yang tak takut kehilangan buah hatinya? Kepada Allah jua kumohonkan do’a, agar IA selalu menjaga dirimu, sayang.
Jum’at, 11 juli 2003
Hari ini, engkau mengeluh kepalamu pusing. Tak perlu khawatir, kata dokter yang memeriksamu dua hari setelah itu. Namun besoknya tubuhmu menggigil. Apakah engkau keracunan obat, nak? Reguk-lah, air kelapa hijau yang kuberikan pasamu. Ternayta dirimu terkena demam berdarah, ketika selasa menjelang maghrib kubawa engkau ke rumah sakit.
Ya Allah....Ternayta engkau harus rawat inap ICU, sayang. Cobalah untuk istirahat, pejamkan mata di ruangan serba putih itu.
Rabu, 16 Juli 2003 : Pukul 4-5
Aduh.... terdengar di dini hari ini engkau beteriak, sakit. Kejang! Tubuhmu bagai menggelepar. Sabar dan cobalah untuk tabah, sayang. Namun kurasakan aura sakratul maut itu perlahan mulai merenggut engkau dari aku.
Mari-lah kutuntun, nak. Ikuti apa kata ibu. Laa ilaha alla Allah... Ricky anak ibu, laa ilaha illa Allah...
Kemudian, matamu menatapku. Duhai, inikah tanda perpisahan itu?
Pukul 5.40
Akhirnya.... usai sudah perjalanan hidupmu di dunia fana. Pergilah dengan tenang. Biarkan jiwa sucimu melayang, didekap dengan selimut kasih sayang para malaikat. Ibu, bapak dan juga kakak-kakakmu ikhlas, nak.
Kelak, tak akan pernah engkau dengar teman-temanmu berteriak bahwa kau orang gila. Karena engkau sehat dan normal, sayang. Kalaulah dirimu terlihat berbeda dimata mereka, bukankah engkau pun tak pernah menginginkannya?
Anakku sayang.... suatu saat, pernah tak kuharapkan kehadiranmu di rahim ibu. Sering pula aku menangis karena kehendak-Nya menitipkan engkau padaku. Bila menurutkan kata hati ini, sekarang pun aku ingin menangisi kepergianmu, nak. Tapi aku malu kepada Allah, karena IA lebih tahu tentang makna cinta. Berapa juga besarnya yang ada pada manusia, tapi Allah-lah Sang Pemilik Cinta.
Selamat jalan, sayang....bermainlah di alammu sana, bercanda riang penuh tawa.
Semoga pula Allah mengampuni segala dosa yang pernah kulakukan. Percayalah, betapa sebenarnya ibu teramat sayang kapadamu. Tunggulah ibu, nak. Nanti akan kembali kupeluk engkau sepenuh hatiku.